Jakarta (MI) : Setiap tahun Amerika Serikat, melalui
Departemen Luar Negerinya, rutin menerbitkan laporan soal hak asasi
manusia di berbagai negara. Kondisi HAM di Indonesia pun tak luput dari
sorotan Deplu AS dalam 12 bulan terakhir.
Dalam laporan yang telah dimuat di laman resmi Deplu AS dan telah diluncurkan Menlu John Kerry, pada paragraf awal Washington memberi penilaian positif atas Indonesia sebagai negara yang menunjung demokrasi multipartai. Contohnya pada Pemilu 2009, yang memilih kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI.
"Para pemantau domestik dan internasional menilai bahwa pemilu parlemen dan presiden pada 2009 lalu merupakan pemilihan yang bebas dan adil. Pihak berwenang pada umumnya telah menerapkan kendali yang efektif atas kekuatan keamanan," demikian laporan itu, yang disusun oleh tim pimpinan pejabat sementara Asisten Menlu AS bidang Demokrasi, HAM, dan Tenaga Kerja, Uzra Zeya.
Selanjutnya, laporan tersebut memberi beberapa kritik atas kondisi HAM di Indonesia. "Ada beberapa contoh di mana elemen-elemen pasukan keamanan terlibat dalam pelanggaran HAM," lanjut Deplu AS.
Pemerintah Indonesia pun dinilai gagal menerapkan investigasi yang transparan dan kredibel atas beberapa kasus pembunuhan yang melibatkan aparat keamanan.
Washington menyorot kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakat Cebongan di Yogyakarta oleh belasan oknum prajurit Kopassus Grup 2 pada 23 Maret 2013, yang menewaskan empat tahanan yang diduga terlibat pembunuhan atas seorang anggota Kopassus.
Pengadilan militer hanya menghukum 12 serdadu berpangkat rendah yang menjadi pelaksana lapangan. "Namun, kalangan kelompok pembela HAM mencurigai bahwa ada perwira senior Kopassus Grup 2 yang mendesak polisi untuk memindahkan para tahanan ke fasilitas yang kurang aman dan entah itu menyuruh para anak buah untuk bertindak maupun membiarkan adanya serangan itu," lanjut laporan HAM AS.
Laporan itu juga memaparkan kritik dari para pegiat HAM dan Komnas HAM kepada polisi, termasuk Densus 88, karena menerapkan kekerasan yang berlebihan atas para tersangka kasus terorisme. "Kurangnya investigasi yang transparan atas dugaan tindak kekerasan yang berlebihan itu mempersulit upaya konfirmasi terhadap fakta yang sesungguhnya, dan keterangan polisi sering berlawanan dengan pernyataan para saksi," tulis laporan itu.
Pemerintah AS lantas menyajikan contoh kasus pada 22 Juli 2013 saat aparat Densus 88 menembak mati dua tersangka teroris dan menahan dua lainnya di Tulungagung, Jawa Timur. Menurut laporan polisi, salah satu dari tersangka menembak ke arah polisi. Namun, saksi mata mengabarkan bahwa para tersangka tidak menunjukkan perlawanan dan langsung ditembak tanpa peringatan.
Pemerintah RI, lanjut laporan Deplu AS itu, juga dianggap tidak selalu melindungi hak-hak reliji dan sosial kaum minoritas serta membiarkan kesenjangan para warga secara ekonomi. "Pemerintah juga menerapkan pasal penghianatan dan penghinaan untuk membatasi kebebasan berekspresi atas para pendukung kemerdekaan di Papua dan Papua Barat dan para kelompok minoritas keagamaan," lanjut laporan AS.
Laporan itu juga menyorot korupsi, kesewenang-wenangan atas tahanan di penjara, kondisi di penjara yang memprihatinkan, penyelundupan manusia, pekerja anak, dan kurangnya pemenuhan hak dan standar atas para tenaga kerja di Indonesia.
Tanggapan Indonesia
Bagaimana tanggapan kalangan pejabat dan politisi di Indonesia? Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, menyatakan bahwa laporan AS itu bisa diterima sebagai bahan tambahan untuk evaluasi ke dalam. Namun, dia juga memberi beberapa catatan penting atas AS.
"Sebagai negara yang menyebut dirinya negara demokrasi, apakah memang AS juga siap jika dievaluasi mengenai apa yang mereka lakukan? Di Irak? Di Afghanistan? Di penjara Guantanamo?," kata Djoko saat dihubungi VIVAnews hari ini.
Menurut dia, demokrasi itu harus saling menghormati, berimbang. Djoko melihat laporan AS itu berdasarkan penilaian sepihak Pemerintah AS terhadap pelaksanaan penegakan HAM di negara lain.
Mantan Pangliman TNI itu pun menanggapi laporan AS soal kasus Cebongan. Ini harus dilihat latar belakang yang membuat kasus itu terjadi.
"Bagaimana sekelompok orang mengintimidasi warga membabi-buta? Itu juga melanggar HAM. Lalu apa tindakan yang diambil pimpinan TNI setelah kasus itu? Mendorong proses hukum. Dan harap dicatat, bahwa proses hukum dan pengadilan di Indonesia lebih terbuka. Lebih transparan. Dikawal melalui pers yang bebas. Apakah hal seperti ini terjadi di AS? Jika terjadi peradilan terhadap anggota militer?," kata Djoko.
Soal Sampang, lanjut Djoko, yang terjadi bukan pengusiran, seperti yang disebut dalam laporan HAM AS, melainkan melindungi agar warga Syiah tidak jadi korban lagi. "Kok pakai istilah diusir?" kata Djoko.
Sementara itu, wakil ketua Komisi I DPR RI bidang pertahanan dan luar negeri, TB Hasanudin, menilai bahwa laporan HAM AS itu menggambarkan masih ada yang perlu diperbaiki oleh pemerintah RI dan aparat keamanan.
"Soal kasus Cebongan, saya kira itu produk era Orde Baru. TNI masih belum sepenuhnya reformis, bahkan untuk kasus pembunuhan sekalipun masih berusaha ditutupi," kata Hasanudin.
Begitu pula soal kasus di Papua. Masih maraknya kasus kekerasan di sana karena belum ada penyelesaian yang matang dari pemerintah. "SBY tidak punya konsep yang jelas dalam mencari solusi penyelesaiannya, [akhirnya] jadi liar," kata politisi dari PDIP itu.
Dalam laporan yang telah dimuat di laman resmi Deplu AS dan telah diluncurkan Menlu John Kerry, pada paragraf awal Washington memberi penilaian positif atas Indonesia sebagai negara yang menunjung demokrasi multipartai. Contohnya pada Pemilu 2009, yang memilih kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI.
"Para pemantau domestik dan internasional menilai bahwa pemilu parlemen dan presiden pada 2009 lalu merupakan pemilihan yang bebas dan adil. Pihak berwenang pada umumnya telah menerapkan kendali yang efektif atas kekuatan keamanan," demikian laporan itu, yang disusun oleh tim pimpinan pejabat sementara Asisten Menlu AS bidang Demokrasi, HAM, dan Tenaga Kerja, Uzra Zeya.
Selanjutnya, laporan tersebut memberi beberapa kritik atas kondisi HAM di Indonesia. "Ada beberapa contoh di mana elemen-elemen pasukan keamanan terlibat dalam pelanggaran HAM," lanjut Deplu AS.
Pemerintah Indonesia pun dinilai gagal menerapkan investigasi yang transparan dan kredibel atas beberapa kasus pembunuhan yang melibatkan aparat keamanan.
Washington menyorot kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakat Cebongan di Yogyakarta oleh belasan oknum prajurit Kopassus Grup 2 pada 23 Maret 2013, yang menewaskan empat tahanan yang diduga terlibat pembunuhan atas seorang anggota Kopassus.
Pengadilan militer hanya menghukum 12 serdadu berpangkat rendah yang menjadi pelaksana lapangan. "Namun, kalangan kelompok pembela HAM mencurigai bahwa ada perwira senior Kopassus Grup 2 yang mendesak polisi untuk memindahkan para tahanan ke fasilitas yang kurang aman dan entah itu menyuruh para anak buah untuk bertindak maupun membiarkan adanya serangan itu," lanjut laporan HAM AS.
Laporan itu juga memaparkan kritik dari para pegiat HAM dan Komnas HAM kepada polisi, termasuk Densus 88, karena menerapkan kekerasan yang berlebihan atas para tersangka kasus terorisme. "Kurangnya investigasi yang transparan atas dugaan tindak kekerasan yang berlebihan itu mempersulit upaya konfirmasi terhadap fakta yang sesungguhnya, dan keterangan polisi sering berlawanan dengan pernyataan para saksi," tulis laporan itu.
Pemerintah AS lantas menyajikan contoh kasus pada 22 Juli 2013 saat aparat Densus 88 menembak mati dua tersangka teroris dan menahan dua lainnya di Tulungagung, Jawa Timur. Menurut laporan polisi, salah satu dari tersangka menembak ke arah polisi. Namun, saksi mata mengabarkan bahwa para tersangka tidak menunjukkan perlawanan dan langsung ditembak tanpa peringatan.
Pemerintah RI, lanjut laporan Deplu AS itu, juga dianggap tidak selalu melindungi hak-hak reliji dan sosial kaum minoritas serta membiarkan kesenjangan para warga secara ekonomi. "Pemerintah juga menerapkan pasal penghianatan dan penghinaan untuk membatasi kebebasan berekspresi atas para pendukung kemerdekaan di Papua dan Papua Barat dan para kelompok minoritas keagamaan," lanjut laporan AS.
Laporan itu juga menyorot korupsi, kesewenang-wenangan atas tahanan di penjara, kondisi di penjara yang memprihatinkan, penyelundupan manusia, pekerja anak, dan kurangnya pemenuhan hak dan standar atas para tenaga kerja di Indonesia.
Tanggapan Indonesia
Bagaimana tanggapan kalangan pejabat dan politisi di Indonesia? Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, menyatakan bahwa laporan AS itu bisa diterima sebagai bahan tambahan untuk evaluasi ke dalam. Namun, dia juga memberi beberapa catatan penting atas AS.
"Sebagai negara yang menyebut dirinya negara demokrasi, apakah memang AS juga siap jika dievaluasi mengenai apa yang mereka lakukan? Di Irak? Di Afghanistan? Di penjara Guantanamo?," kata Djoko saat dihubungi VIVAnews hari ini.
Menurut dia, demokrasi itu harus saling menghormati, berimbang. Djoko melihat laporan AS itu berdasarkan penilaian sepihak Pemerintah AS terhadap pelaksanaan penegakan HAM di negara lain.
Mantan Pangliman TNI itu pun menanggapi laporan AS soal kasus Cebongan. Ini harus dilihat latar belakang yang membuat kasus itu terjadi.
"Bagaimana sekelompok orang mengintimidasi warga membabi-buta? Itu juga melanggar HAM. Lalu apa tindakan yang diambil pimpinan TNI setelah kasus itu? Mendorong proses hukum. Dan harap dicatat, bahwa proses hukum dan pengadilan di Indonesia lebih terbuka. Lebih transparan. Dikawal melalui pers yang bebas. Apakah hal seperti ini terjadi di AS? Jika terjadi peradilan terhadap anggota militer?," kata Djoko.
Soal Sampang, lanjut Djoko, yang terjadi bukan pengusiran, seperti yang disebut dalam laporan HAM AS, melainkan melindungi agar warga Syiah tidak jadi korban lagi. "Kok pakai istilah diusir?" kata Djoko.
Sementara itu, wakil ketua Komisi I DPR RI bidang pertahanan dan luar negeri, TB Hasanudin, menilai bahwa laporan HAM AS itu menggambarkan masih ada yang perlu diperbaiki oleh pemerintah RI dan aparat keamanan.
"Soal kasus Cebongan, saya kira itu produk era Orde Baru. TNI masih belum sepenuhnya reformis, bahkan untuk kasus pembunuhan sekalipun masih berusaha ditutupi," kata Hasanudin.
Begitu pula soal kasus di Papua. Masih maraknya kasus kekerasan di sana karena belum ada penyelesaian yang matang dari pemerintah. "SBY tidak punya konsep yang jelas dalam mencari solusi penyelesaiannya, [akhirnya] jadi liar," kata politisi dari PDIP itu.
Sumber : VIVAnews
jawabannnya mantab... knapa protes orang lain, kalau dirinya sendiri melanggar di irak, afganistan, bahkan di negaranya sendiri para siswa bebas bawa senjatan menembak babi buta di sekolah..... asu seperti pepatah gajah di pelupuk mata tdk tampak. semuanya bohong, semuanya demi kepentingan ekonomi asu sendiri.
ReplyDeleteham taek asu a , sm aja dgn pbb itu semuanya bonekanya amerika, kalau ham di dirikan bener'' untuk menjaga hak'' manusia dan kalau pbb di dirikan bener'' untuk menjaga perdamaian dunia,,,
ReplyDeletelalu knp mereka diam sja dgn kekerasan yg terjadi di afrika tengah, knp mereka diam saja dgn pembantaian yang dilakukan israel kepada orang'' palestina? dan masih banyak lg kejadian'' yg lain drpd yg terjadi di indonesia, hanya karena segelintir kasus krn membunuh seorang preman....
Khusus di Papua harus diselidiki lebih mendalam. Jangan-jangan pemberontakan-pemberontakan di Papua merupakan misi dari negara lain, didanai dan disuplay segala sesuatunya dari negara lain.
ReplyDeleteSebagai contoh lepasnya Timor Timur merupakan Misi dari Portugal.
Dari laporan amrik diatas klo saya pahami mempunyai pesan/motifasi sebagai berikut :
ReplyDelete1. Mengharapkan pemilu tahun 2014 di Indonesia adalah orang yg pro amrik & sekutu, jika hal tersebut tidak tercapai maka dari laporan (HAM) yg mereka buat ini bisa digunakan sebagai dasar untuk menyerang pemerintahan baru RI yg tidak pro sekutu. (mereka akan memberikan publikasi ke dunia bahwa pemili th 2014 tidak demokratis seperti pemilu 2009).
2. Mereka (amrik dalm laporan HAM ini) menyoroti kasus pelanggaran oleh TNI/Militer Indonesia, ini terkait dengan bangkitnya Militer Indonesia dan yg saat ini dalam peningkatan alutsista lebih condang ke blok Timur (Rusia dan China).
3, Tentang densus 88, amrik mulai mebuka ke tidak terbukaan lembaga kepolisian ini dalam operasional, (yg sebenarnya amrik dan sekutunya sendiri lah yg menghidupkan densus 88 untuk menghancurkan Islam garis keras di Indonesia yg dianggap membahayakan kepentingan mereka khususnya di Indonesia. Namun secara politis saat ini Polisi Indonesia telah putus kongsi dengan kebijakan mereka melalui negara beneka nya yakni ausie maka dipublikasikan kesalahan prosedur operasional dari polisi dengan maksud untuk mengadu domba antara polisi dan masyarakat Muslim Indonesia. Yg sy kawatirkan adalah dulu densus 88 mereka bentuk dan mulai sekarang mereka kan mengadu domba dengan masyarakat Muslim Indonesia yang tujuannya untuk membuat kekisruhan di Indonesia.
4. HAM amrik mengangkat isu HAM Papua yg maksudnya untuk mempublikasikan masalah Papua dengan tujuan memanaskan situasi Papua yg saat ini relatif kondusif. yang perlu dicermati adalah a. kontrak freeport sebentar lagi habis, b. kebijakan RI tentang UU tambang di Indonesia yg menurut amrik merugikan mereka. c. kekayaan SDA Papua yg melimpah membuat mereka pengen menguasai dengan cara memisahkan Papua dari NKRI.
Itulah bebrapa hal yg perlu dicermati oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, apa yg mereka publikasikan pastif ada motif yg tujuannya untuk kepentingan mereka. Itulah amerika dan sekutunya yg membesarkan negaranya dengan cara menjajah dan pertumpahan darah (ini adalah FAKTA).
Tanggapan Pemerintah RI melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto sudah sangat bagus dan pas, tapi tanggapan TB Hasanudin (wakil Komisi I DPR) sangat terbawa arus oleh kepentingan amrik tanpa melihat motif nya, dan klo tidak hati2 ini membahayakan.
Kita bisa lihat jawaban seorang nasionalis dan seorang oplosan politik. Politikus selalu mencari celah saat kondisi yg menguntungkan baginya.
ReplyDeletejalan aja pak.. yg th kondisi indonesia yah org indonesia.
ReplyDeleteindonesia sudah banyak belajar dr apa saja yg telah terjadi di negara ini.. selama bangsa ini bisa&mau belajar akan membawa perubahan pak.. ga ada negara yg betul2 sempurna.. terus saja berusaha menjadi lebih baik..asal jgn putus asa.. jayalah bangsaku... jayalah nusantaraku.. jayalah negeriku.. jayalah INDONESIA ku...
HAM hrs ditegakkan spt AS(kasus kamp Bastion di Afghanistan adalah tahanan orang2 islam dr Afghanistan ditahan tanpa pemeriksaan hukum, hal ini bertentangan dg Piagam PBB maupun sendi2 negara demokratis yg mengedepankan hukum sesuai piagam PBB setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yg sama dan Ini adalah dasar negara2 demokratis AS sdh melanggarnya), Australia (rasial thd suku Aborigin tdk mengakui pribumi masuk dlm konstitusional) dan mahkamah internasional hrs menuntut mantan presiden Josh Bush termasuk konstitusional AS mengenai militer AS yg melampaui hukum Internasional/traktat yg menggerakkan pasukan berlaku diluar negeri yg penuh rasis penjajahan termasuk Australia hrs dituntut semua pejabat maupun senat yg rasis dlm kontitusional Australia tdk mengakui pribumi yaitu Aborigin sbg warganegara australia (kasus KOGAYA penduduk Aborigin yg dipisahkan secara sistimatis dr orang tuanya utk di didik dg orang2 kulit putih akhirnya sdh dewasa mencari orang tuanya sampai masuk ke pengadilan australia) saya menghimbau masyarakat Internasional yg menghargai HAM agar menegakkan utk keadilan dunia Internasional. Jadi AS/australia ndak usah ikut campur dlm negeri NKRI. Merdeka.......................
ReplyDelete