Merdeka (MI) : Setelah ditangkap, Usman dan Harun dijebloskan ke dalam Penjara Changi. Menurut dokumen pengadilan diperoleh merdeka.com,
awalnya mereka tidak berseragam dan boleh berbaur dengan tahanan
Indonesia lainnya. Namun setelah vonis mati dibacakan Hakim J. Chua,
keduanya menghuni sel terpisah.
Sejumlah sumber menyebutkan sel dihuni Usman dan Harun masing-masing berukuran 1,6x2,4 meter. Ruangan ini tidak dilengkapi kipas angin dan lampu. Hanya ada satu lubang berteralis di bagian atas sebagai sirkulasi udara dan masuknya sinar. Di tengah sel terdapat ranjang semen dan di pojokan terdapat lubang untuk buang hajat.
"Penjara di Singapura saat itu masih buruk sekali dan terkenal kejam. Fasilitas minim," kata Humphrey Djemat saat ditemui di kantornya, lantai sembilan Plaza Gani Djemat, dua pekan lalu. "Beda dengan kondisi penjara mereka sekarang, bagus dan teratur." Dia mendapat cerita itu dari ayahnya, mendiang Gani Djemat, menjenguk Usman dan Harun di Changi.
Sejumlah sumber menyebutkan sel dihuni Usman dan Harun masing-masing berukuran 1,6x2,4 meter. Ruangan ini tidak dilengkapi kipas angin dan lampu. Hanya ada satu lubang berteralis di bagian atas sebagai sirkulasi udara dan masuknya sinar. Di tengah sel terdapat ranjang semen dan di pojokan terdapat lubang untuk buang hajat.
"Penjara di Singapura saat itu masih buruk sekali dan terkenal kejam. Fasilitas minim," kata Humphrey Djemat saat ditemui di kantornya, lantai sembilan Plaza Gani Djemat, dua pekan lalu. "Beda dengan kondisi penjara mereka sekarang, bagus dan teratur." Dia mendapat cerita itu dari ayahnya, mendiang Gani Djemat, menjenguk Usman dan Harun di Changi.
Gani Djemat ketika itu menjabat atase militer di Kedutaan besar
Republik Indonesia di Singapura. Dia mendapat tugas dari atasannya,
Wakil Duta Besar Abdul Rahman Ramli (kemudian menjabat direktur utama
Pertamina).
Buruknya kondisi Penjara Changi merupakan warisan dari Jepang menjadikan tempat penahanan itu sebagai kamp tawanan perang selama Perang Dunia Kedua. Saat itu terdapat tiga ribu tahanan sipil, melebihi kapasitas penjara untuk 600 orang.
Changi adalah penjara keempat di Singapura dibangun setelah Bras Basah, Pearl's Hill, dan Outram. Changi beroperasi sejak 1936 ini dibangun Inggris lantaran angka kejahatan di Singapura kian meningkat. Hingga kini, cuma tinggal Changi masih bertahan dan telah dimodernisasi 14 tahun lalu.
Sulit membayangkan betapa Usman dan Harun sungguh kesepian. Setidaknya, perasaaan itu diungkapkan oleh Usman dalam surat kepada kakaknya bertanggal 9 April 1968. Dia sangat mengharapkan balasan atas semua surat telah dia kirim. "...Rasa rindu jang pada hakekatnja perasaan itu sangat dirasakan sekali di dalam sanubari..."
Simak pula kebahagiaan Harun saat menerima surat balasan dari kakaknya tinggal di Tanjung Priok, Jakarta Utara. "Surat kakanda bertanggal 28 Agustus 1968 telah adinda terima dengan senang hati," tulis Harun dalam surat balasannya tiga hari kemudian.
Keduanya mengirim surat hampir saban bulan, terutama ditujukan buat orang tua. Surat-surat ini seolah menjadi satu-satu cara mereka melepas rasa rindu. Isinya menunjukkan mereka seolah tengah berbicara langsung dengan keluarga tercinta.
Namun Usman dan Harun tidak pernah menceritakan tidak enaknya hidup dalam penjara. Mereka selalu bilang dalam surat keadaan mereka baik-baik saja dan menyenangkan. Lewat surat itu pula, mereka mengabarkan perkembangan kasus membelit mereka.
Buruknya kondisi Penjara Changi merupakan warisan dari Jepang menjadikan tempat penahanan itu sebagai kamp tawanan perang selama Perang Dunia Kedua. Saat itu terdapat tiga ribu tahanan sipil, melebihi kapasitas penjara untuk 600 orang.
Changi adalah penjara keempat di Singapura dibangun setelah Bras Basah, Pearl's Hill, dan Outram. Changi beroperasi sejak 1936 ini dibangun Inggris lantaran angka kejahatan di Singapura kian meningkat. Hingga kini, cuma tinggal Changi masih bertahan dan telah dimodernisasi 14 tahun lalu.
Sulit membayangkan betapa Usman dan Harun sungguh kesepian. Setidaknya, perasaaan itu diungkapkan oleh Usman dalam surat kepada kakaknya bertanggal 9 April 1968. Dia sangat mengharapkan balasan atas semua surat telah dia kirim. "...Rasa rindu jang pada hakekatnja perasaan itu sangat dirasakan sekali di dalam sanubari..."
Simak pula kebahagiaan Harun saat menerima surat balasan dari kakaknya tinggal di Tanjung Priok, Jakarta Utara. "Surat kakanda bertanggal 28 Agustus 1968 telah adinda terima dengan senang hati," tulis Harun dalam surat balasannya tiga hari kemudian.
Keduanya mengirim surat hampir saban bulan, terutama ditujukan buat orang tua. Surat-surat ini seolah menjadi satu-satu cara mereka melepas rasa rindu. Isinya menunjukkan mereka seolah tengah berbicara langsung dengan keluarga tercinta.
Namun Usman dan Harun tidak pernah menceritakan tidak enaknya hidup dalam penjara. Mereka selalu bilang dalam surat keadaan mereka baik-baik saja dan menyenangkan. Lewat surat itu pula, mereka mengabarkan perkembangan kasus membelit mereka.
Usman menyampaikan kabar terakhir melalui surat bertanggal 16 Oktober
1968, sehari menjelang pelaksanaan hukuman gantung. Dia meminta
keluarga mengikhlaskan kematiannya. "Ananda menghaturkan berita duka ke pangkuan bunda+keluarga semua di sini, pelaksanaan hukuman mati telah diputuskan pada 17 Oktober 1968," tulis Usman.
Harun memberi kabar dua hari lebih dulu ketimbang Usman. "Ibundaku yang dikasihani ini surat terakhir dari ananda Tohir."
Koak gagak maklumat tamat
Suasana gelisah begitu terasa di balik dinding rumah bilik bambu di
Dukuh Jatiwangi, Desa Jatisaba, Purbalingga, Jawa Tengah. Rabu malam, 16
Oktober 1968, stasiun Radio republik Indonesia terus mengabarkan berita
rencana pelaksanaan hukuman gantung besok terhadap Janatin bin Muhammad
Ali alias Usman dan Tahir bin Mandar alias Harun bin Said di Penjara
Changi, Singapura.
Tiga saudara kandung Usman khusyuk mendengarkan kabar itu melalui radio transistor Philips berwarna putih dibelikan Usman sebelum dia melaksanakan misi pengeboman atas gedung MacDonald House, 10 Maret 1965. Rodiyah, Muhammad Chalimi, dan adik mereka Turiyah seolah tidak bosan mendengar berita ulangan sejak pukul tujuh malam itu.
Chalimi menyimak informasi itu sembari duduk di atas kursi kayu panjang bersama anaknya. Sedangkan Rodiyah sedang menyusui anak keduanya sambil berbaring bersama Turiyah.
"Malam itu, kami tidak bisa tidur. Saya bersama kakak dan adik terus mendengar kabar terbaru tentang rencana eksekusi Janatin akan dilakukan pada 17 Oktober pagi oleh pemerintah Singapura," kata Rodiyah saat ditemui di rumahnya, Selasa dua pekan lalu. Mendekati tengah malam, ketiga kakak adik ini berunding memilih orang tepat untuk menyampaikan kabar duka itu ibu mereka, Rukiah.
Rukiah tidak ikut merubung saat itu. Namun kegelisahan terlihat jelas dari gerak geriknya menahan rindu mendalam terhadap Janatin. Sampai-sampai ibu jari dan telunjuk Rukiah tidak lepas dari tasbih tergantung di pergelangan tangannya. Dia berzikir buat Janatin.
"Malam itu ibu mondar mandir dari ruang belakang ke depan sambil menggenggam tasbih," kenang Rodiah. "Ibu sepertinya merasakan kegelisahan terhadap jantung hatinya."
Akhirnya sekitar pukul 12 malam, ketiga saudara kandung ini memilih Rodiyah buat memberitahu sang ibu tentang informasi didapat dari radio. Rukiah waktu itu hendak melaksanakan salat tahajud. "Ibu sangat tabah, beliau tidak menangis. Hanya mengucap, 'innalillahi wa innailaihi rajiun' dan istigfar sambil bertasbih'," tutur Rodiyah berkaca-kaca.
Menjelang pagi suasana rumah masih terasa muram. Rukiah sudah selesai salat subuh. Dia mendengar bunyi parau gagak bertengger di pohon kelapa terdengar Rukiah. "Saat itu ibu langsung memanggil nama Usman, 'Jan...Jan..' dan sempat menitikkan air mata," kata Rodiah.
Seketika itu juga, tangisan menggema dari dalam rumah berlantai tanah itu hingga terdengar oleh tetangga. "Saya, kakak, dan adik saya menangis. Sampai keponakan juga ikut menangis walau tidak tahu ada peristiwa apa," ujar Rodiah.
Koak gagak pagi itu seolah membenarkan kabar hayat Janatin telah tamat.
Tiga saudara kandung Usman khusyuk mendengarkan kabar itu melalui radio transistor Philips berwarna putih dibelikan Usman sebelum dia melaksanakan misi pengeboman atas gedung MacDonald House, 10 Maret 1965. Rodiyah, Muhammad Chalimi, dan adik mereka Turiyah seolah tidak bosan mendengar berita ulangan sejak pukul tujuh malam itu.
Chalimi menyimak informasi itu sembari duduk di atas kursi kayu panjang bersama anaknya. Sedangkan Rodiyah sedang menyusui anak keduanya sambil berbaring bersama Turiyah.
"Malam itu, kami tidak bisa tidur. Saya bersama kakak dan adik terus mendengar kabar terbaru tentang rencana eksekusi Janatin akan dilakukan pada 17 Oktober pagi oleh pemerintah Singapura," kata Rodiyah saat ditemui di rumahnya, Selasa dua pekan lalu. Mendekati tengah malam, ketiga kakak adik ini berunding memilih orang tepat untuk menyampaikan kabar duka itu ibu mereka, Rukiah.
Rukiah tidak ikut merubung saat itu. Namun kegelisahan terlihat jelas dari gerak geriknya menahan rindu mendalam terhadap Janatin. Sampai-sampai ibu jari dan telunjuk Rukiah tidak lepas dari tasbih tergantung di pergelangan tangannya. Dia berzikir buat Janatin.
"Malam itu ibu mondar mandir dari ruang belakang ke depan sambil menggenggam tasbih," kenang Rodiah. "Ibu sepertinya merasakan kegelisahan terhadap jantung hatinya."
Akhirnya sekitar pukul 12 malam, ketiga saudara kandung ini memilih Rodiyah buat memberitahu sang ibu tentang informasi didapat dari radio. Rukiah waktu itu hendak melaksanakan salat tahajud. "Ibu sangat tabah, beliau tidak menangis. Hanya mengucap, 'innalillahi wa innailaihi rajiun' dan istigfar sambil bertasbih'," tutur Rodiyah berkaca-kaca.
Menjelang pagi suasana rumah masih terasa muram. Rukiah sudah selesai salat subuh. Dia mendengar bunyi parau gagak bertengger di pohon kelapa terdengar Rukiah. "Saat itu ibu langsung memanggil nama Usman, 'Jan...Jan..' dan sempat menitikkan air mata," kata Rodiah.
Seketika itu juga, tangisan menggema dari dalam rumah berlantai tanah itu hingga terdengar oleh tetangga. "Saya, kakak, dan adik saya menangis. Sampai keponakan juga ikut menangis walau tidak tahu ada peristiwa apa," ujar Rodiah.
Koak gagak pagi itu seolah membenarkan kabar hayat Janatin telah tamat.
Dua sahabat setali gantungan
Kamis subuh, 17 Oktober 1968. Suasana hening
masih menyelimuti Penjara Changi, Singapura. Namun kondisi Usman dan
Harun tentu sebaliknya. Perasaan mereka campur aduk: sedih dan kecewa.
Sehabis salah subuh, sipir membuka pintu sel mereka. Rupanya Usman dan Harun kesatria sejati. Mereka tetap tegar. Sepasang petugas penjara mengapit masing-masing Usman dan Harun menuju sebuah ruang khusus terletak di tengah kompleks Penjara Changi. Di sanalah mereka bakal menjemput ajal.
"Mereka tegar sekali, berjalan dengan sikap sempurna sebagai prajurit," kata Humphrey Djemat saat ditemui merdeka.com dua pekan lalu di kantornya, lantai sembilan Plaza Gani Djemat, Jakarta Pusat. "Jadi tidak benar mereka dibius lalu urat nadi mereka dipotong."
Humphrey mendapat cerita dari mendiang ayahnya, Gani Djemat. Ketika eksekusi itu dilaksanakan, Gani Djemat hadir sebagai perwakilan keluarga. Jabatannya saat itu adalah atase militer di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura.
Masih menurut cerita Gani Djemat, kata Humphrey, prosesi hukuman gantung berlangsung sekitar dua jam, dimulai pukul enam pagi. "Mereka digantung bergantian memakai satu tali gantungan. Wajah mereka ditutup," ujar Humphrey.
Sebelum pelaksanaan hukuman mati itu, Gani Djemat empat kali menemui Usman dan Harun di tahanan. Sayangnya pertemuan dilakoni pihak Kedutaan Indonesia boleh dibilang sangat terlambat. Namun bukan kesalahan mereka. Tapi pihak Singapura memang baru memberitahu soal Usman dan Harun secara resmi dua bulan sebelum mereka digantung.
Sejak itu Gani Djemat ditugasi atasannya, Wakil Duta Besar Abdul Rahman Ramli, mengurus masalah kedua anggota Korps Komando Operasi tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu. Biasanya Gani menemui keduanya di ruangan khusus sekitar sejam.
Gani terus terang mengakui sangat terkejut melihat ketegaran Usman dan Harun. Mereka berkeyakinan melaksanakan tugas negara dan bukan teroris. "Hebat benar dua orang itu. Saya nggak nyangka. Saya pikir waktu ketemu pertama kali semangat mereka akan hilang dan putus asa," tutur Humphrey.
Sehabis salah subuh, sipir membuka pintu sel mereka. Rupanya Usman dan Harun kesatria sejati. Mereka tetap tegar. Sepasang petugas penjara mengapit masing-masing Usman dan Harun menuju sebuah ruang khusus terletak di tengah kompleks Penjara Changi. Di sanalah mereka bakal menjemput ajal.
"Mereka tegar sekali, berjalan dengan sikap sempurna sebagai prajurit," kata Humphrey Djemat saat ditemui merdeka.com dua pekan lalu di kantornya, lantai sembilan Plaza Gani Djemat, Jakarta Pusat. "Jadi tidak benar mereka dibius lalu urat nadi mereka dipotong."
Humphrey mendapat cerita dari mendiang ayahnya, Gani Djemat. Ketika eksekusi itu dilaksanakan, Gani Djemat hadir sebagai perwakilan keluarga. Jabatannya saat itu adalah atase militer di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura.
Masih menurut cerita Gani Djemat, kata Humphrey, prosesi hukuman gantung berlangsung sekitar dua jam, dimulai pukul enam pagi. "Mereka digantung bergantian memakai satu tali gantungan. Wajah mereka ditutup," ujar Humphrey.
Sebelum pelaksanaan hukuman mati itu, Gani Djemat empat kali menemui Usman dan Harun di tahanan. Sayangnya pertemuan dilakoni pihak Kedutaan Indonesia boleh dibilang sangat terlambat. Namun bukan kesalahan mereka. Tapi pihak Singapura memang baru memberitahu soal Usman dan Harun secara resmi dua bulan sebelum mereka digantung.
Sejak itu Gani Djemat ditugasi atasannya, Wakil Duta Besar Abdul Rahman Ramli, mengurus masalah kedua anggota Korps Komando Operasi tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu. Biasanya Gani menemui keduanya di ruangan khusus sekitar sejam.
Gani terus terang mengakui sangat terkejut melihat ketegaran Usman dan Harun. Mereka berkeyakinan melaksanakan tugas negara dan bukan teroris. "Hebat benar dua orang itu. Saya nggak nyangka. Saya pikir waktu ketemu pertama kali semangat mereka akan hilang dan putus asa," tutur Humphrey.
Selama dua bulan itu pula, Gani ikut mengupayakan mengubah hukuman
mati buat Usman dan Harun, termasuk meminta maaf dari keluarga korban.
Tetap saja vonis Hakim J. Chua dari Pengadilan Tinggi Singapura tidak
mampu diganti.
Hingga akhirnya kedua sahabat itu menjemput ajal di satu tali gantungan.
Hingga akhirnya kedua sahabat itu menjemput ajal di satu tali gantungan.
Sumber : Merdeka
No comments:
Post a Comment