Tuesday, February 18, 2014

Polemik ToT Saab Gripen NG

Saab Gripen NG Swedia
Saab Gripen NG Swedia

JKGR (MI) : Transfer of Technology (ToT) hanya bisa terjadi dengan jalan joint development dan/atau mendatangkan tenaga ahli dengan jumlah yang memadai. ToT “100%” seperti yang ditawarkan Saab Swedia untuk pesawat tempur Gripen NG  hakekatnya hanya karoseri. ToT karoseri ini tidak akan membikin kita bisa mengembangkan pesawat sendiri nantinya, namun paling banter hanya akan menambah lapangan pekerjaan. Dan penambahan pekerja pun nggak seberapa dibanding cost yang akan dikeluarkan, alias MUBAZIR.

ToT Gripen hanya akan menimbulkan bencana bagi kapasitas produksi untuk IFX. Pemerintah tidak mungkin invest membuat 2 jalur produksi untuk IFX dan Gripen. Invest 2 jenis man power juga mahal yang hanya akan menciptakan jebakan over supply man power di masa mendatang karena produksi kedua jenis pesawat ini hanya sedikit. Jangankan 2 jalur produksi, saya belum yakin apakah IFX akan dirakit akhir di PT DI Bandung, mengingat panjang landasan udara Husein sepertinya pas-pasan untuk fighter sekelas IFX (need correction).

Dengan budget yang kecil, pengadaan pesawat yang cukup berwarna hanya akan meningkatkan biaya perawatan. AS mulai meninggalkan sekian jenis pesawat yg sangat berwarna menjadi pesawat tunggal yang bisa menjawab banyak tuntutan dengan melahirkan keluarga F-35.

Gripen kemampuannya rata-rata, kelasnya setara FA-50 Korea. Lebih tepat di kelas 12 ton pemerintah pakai terus keluarga T-50 dan FA-50 Golden Eagle. Di kelas 20-an ton pakai F-16 kemudian beralih ke IFX. Kelas 35 ton-an pakai keluarga Flanker/Fullback. ToT dengan joint development di kelas 20-an ton (KFX/IFX) sangat strategis, karena berada di tengah-tengah antara kelas 12-an ton dengan 30-an ton, sehingga future RI punya fleksibilitas untuk mengembangkan fighter sendiri di kelas 12-an ton dan 30-an ton.

Penggunaan Eurofighter Typhoon, meskipun ini pesawat bagus tapi mahal, juga tidak banyak manfaatnya. Typhoon hanya bermanfaat jika RI punya gesekan dalam hubungan dengan China. Inggris cs tentu saja tidak akan support jika Typhoon dipakai untuk menyerang sekutunya: Australia, Singapore, Malaysia, dann lain-lainl. Sekali dua kali Typhoon bisa gelut dengan F-35 tetangga, tapi tidak dijamin untuk perang berkepanjangan sekian ronde. Typhoon hanya akan menyandera Indonesia, agar budget militer besar hanya untuk barang pajangan.
Gripen NG
Gripen NG
Tawaran ToT Gripen hanya omomg kosong, sebagai pemanis agar pesawatnya laku. Skema ini tidak jelek, tapi cocoknya untuk negara yang industri pesawatnya masih pemula. Contohnya Malaysia, biar menyerap tenaga kerja. Bagi RI fase ToT semacam ini sudah lewat. Real ToT pesawat untuk makin mandiri buat pesawat adalah di joint development di IFX/KFX. Tahun 80-an RI sudah ToT membuat heli BO105, Super Puma, hingga torpedo SUT, termasuk airframe nya dibubut di Bandung. Dan sekarang tetap saja kita kesulitan mengembangkan sendiri benda-benda ini, karena ToT memang tidak mungkin mentransfer kemampuan agar bisa mengembangkan sendiri.

Gripen adalah light fighter berteknologi jadul (lama) yang tidak bakal dipakai untuk future medium weight stealth fighter IFX/KFX. Korea kebingungan dengan teknologi ToT jadul ini? Lah pesawat sekelasnya yang lebih baru, FA-50, isinya apa? Kalau tidak dipakai di KFX IFX, buat apa bela-belain keluar miliaran US$ utk ToT Gripen ini? Misal benar mengajarkan engineer sampai mandiri, Indonesia mau pakai di mana? Belum keluar maintenance cost sepanjang masa hanya untuk light fighter yang kelasnya duplikasi dengan Golden Eagle. Jangan KEMARUK, tapi lihat implikasi cost dan benefit untuk kemandirian.

Bagi Swedia, ini terakhir kesempatan obral ToT Gripen ke RI. Saat ini resource RI baik itu cost dan engineer terserap ke IFX. Sekalinya pesawat IFX operasional, RI tiba tiba akan langsung naik kelas di kancah industri pesawat tempur canggih dunia. Teknologi Gripen pun terlibas dan tinggal menjadi masa lalu. RI kalau kemudian akan mengembangkan pesawat baru minimal berbasis IFX, sementara Gripen hanya sekedar literatur pustaka. Dengan IFX/KFX, RI dan Korsel akan mengisi segment pasar yg saat ini juga diincar Swedia. Apa kata dunia, RI sudah bisa buat IFX yang canggih kok masih ToT karoseri Gripen yang lebih light dan jadul. Bad image for RI, but good image for Sweden.

Tahukah anda, tak lama N250 berhasil first flight 1995an kemudian saham Fokker anjlok hingga pabrik ini tutup 1997-an?

Kini begitu PT DI akan menyelesaikan N219, Airbus memindahkan seluruh produksi NC212 nya ke PT DI. Perlu disadari, N219 pesaing langsung 212 dan Airbus tidak ingin kehilangan pasar di Asia Pasifik. Bagi RI, keuntungan dari lisensi (ToT) 212 kecil, tapi cukup penting di masa sulit sekarang. Kalau mau untung besar ya develop pesawat sendiri, bukan sekedar karoseri ToT. Good luck N219, IFX, New N250 dan sebagainya. (written by WH).
Sumber : JKGR

4 comments:

  1. Pemikiran yg bgus. Sy dukung. TNI khususnya pemerintah jgn sampai terpancing tawaran gripen, pelajari dan cermati.hati2 jebakan barat..

    ReplyDelete
  2. Analisis yang sangat menarik, terimakasih,
    sebagai warga negara, sebenarnya saya hanya menginginkan Indonesia sebagai negara yg berdaulat termasuk dalam hal alutsista pesawat tempur,
    mari kita mengawal program ini, supaya program IFX dapat tercapai, karna selama ini saya kurang percaya dg wakil2 rakyat yg sangat sedikit kontribusinya utk kemajuan Alutsista TNI, "NKRI harga mati"

    ReplyDelete
  3. semoga proyek IFX jadi, brjalan dngn baik dn brhasil spt yg dharapkan ,, amin

    ReplyDelete
  4. he he sudah rafale aja khabarnya mereka( Dassault ) juga bersedia membantu pengembangan ifx di negeri ini

    ReplyDelete