Kompasian (MI) : Saat ini Komisi I Bidang Pertahanan DPR RI sedang sibuk membahas dan mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU Komcad) yang mencantumkan pasal yang mewajibkan seluruh warga negara Indonesia ikut wajib militer.
Bunyi pasal dalam RUU tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 6 ayat 3, yang berbunyi:
“Komponen cadangan disusun dalam bentuk satuan tempur yang disesuikan dengan struktur organisasi Angkatan sesuai masing-masing matra.”
Selanjutnya dalam Pasal 8 tentang Pengangkatan Anggota Komponen Cadangan.
Pasal 8 ayat 1 berisi:
“Pegawai negeri sipil, pekerja dan/ atau buruh yang telah memenuhi persyaratan wajib menjadi anggota komponen cadangan”
Pasal 9 Persyaratan umum untuk menjadi anggota komponen cadangan yakni :
a.) warga negara Indonesia yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ;
b.) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.) setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
d.) sehat jasmani dan rohani.
Selanjutnya pada Pasal 38, 40, 41 dijelaskan hukuman berupa sanksi pidana, bagi mereka yang secara sengaja dan terbukti sengaja mencoba mengelak dari kewajiban ini. Paling lama hukuman nya adalah 2 (dua) tahun penjara!
Sebenarnya hak dan kewajiban bela negara sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi:
” Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.“
Selanjutnya lebih tegas mengenai WAJIB MILITER (WAMIL) ini lebih ditegaskan dalam pasal 30 (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan“
Manfaat bagi Negara
Indonesia saat ini dianggap sebagai negara dengan kekuatan raksasa dalam hal militer di mata dunia. Sehingga negara-negara besar seperti RRC, Australia dan Amerika Serikat sering harus berhitung ulang jika ingin mengobarkan perang maupun invasi ke dalam wilayah Republik Indonesia.
Kalaupun negara jiran Malaysia sering mencari gara-gara dalam soal Hankam dengan Indonesia, selama ini, belum ada sejarahnya mereka menang perang secara militer. Bahkan dalam perang Kalimantan Utara tahun 1960-an pum, yang akhirnya memukul mundur TNI dan pasukan sipil Kalimantan Utara, adalah tentara Inggris dari Divisi “Gurkha”, Tentara Diraja Malaysia lebih banyak menyokong di garis belakang saja.
Terakhir kemenangan atas aneksasi kepulauan Sipadan-Ligitan, itu didapatkan dengan cara diplomatik, bukan dengan cara mengadu kekuatan alutsista militer, walau patroli AL dan polisi laut TDM sering coba-coba usil menggertak KRI dan Kapal Patroli Laut TNI AL maupun Polairud Indonesia.
Mengapa?
Karena kekuatan personil militer profesional kita memang hanya 460.000 jiwa. Namun negara-negara asing, memperhitungkan juga bahwa populasi penduduk Indonesia adalah sekitar 245 juta jiwa, dengan jumlah personil yang memenuhi syarat untuk dimobilisasi menjadi tentara cadangan sekitar 120 juta jiwa !
Bahkan hal ini diakui oleh CIA World Factbook (salah satu narasumber tersahih jika ingin mengetahui informasi penting tentang suatu negara demi kepentingan intelijen).
Nah, sekarang apakah benar ada sekitar 120 juta jiwa yang siap dimobilisasi mendadak saat keadaan darurat perang di Republik Indonesia tercinta ini?
Belum tentu, wong jangankan cara menggunakan senjata, …..bagaimana caranya mengenakan seragam militer yang memenuhi standar TNI ataupun vest anti peluru, mungkin masih ratusan juta jiwa di Indonesia ini yang sama sekali masih buta bagaimana caranya.
Belum lagi bicara strategi tempur. Kita ini sudah puluhan tahun tidak pernah menghadapi perang militer secara fisik. Bahkan sebagian besar dari generasi muda Indonesia saat ini sudah terlahir dalam era digital, yang bebas dari perang, paling hanya tawuran anak sekolah atau tawuran warga antar kampung yang bermodalkan senjata tajam ataupun senjata api rakitan.
Beda dengan kakek-kakek dan oragtua kita di era ‘45 (revolusi kemerdekaan) dahulu, sebelum berperang melawan Belanda, mereka memang sudah terlahir dalam kondisi perang, terjajah. Bahkan sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ratusan ribu pemuda Indonesia sempat dilatih militer dalam organisasi PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang, yang awalnya memang akan dimobilisasi sebagai tentara cadangan Jepang dalam Perang Asia Pasifik mereka, bukan hanya untuk di Indonesia (mirip tentara Gurkha Nepal nya Inggris dalam perang 10 November 1945 di Surabaya).
Jadi dengan adanya Wajib Militer ini bagi negara adalah akan lebih mudah mendapatkan tenaga siap tempur untuk dimobilisasi setiap saat dalam keadaan darurat perang.
Meskipun kita telah hidup damai selama 60 tahun lebih, dan negara yang paling mengancam Indonesia saat ini, yaitu Malaysia pun, hubungan diplomatik dan warga negara nya masih berjalan baik-baik saja dengan Indonesia, jauh dari tanda-tanda akan saling perang fisik.
Lebih baik bersiap, daripada baru mencari di saat keadaan telah genting.
Manfaat bagi Warga Negara
Saya pernah “dikirim” ikut pelatihan militer di Secapa POLRI Sukabumi selama dua minggu di tahun 2003 oleh perusahaan tempat saya bekerja dahulu. Meskipun saya seorang staf accounting di perusahaan itu dan perusahaan kami adalah perusahaan yang bergerak di bidang airline sipil tak ada hubungannya dengan masalah kemiliteran, bersama-sama rekan-rekan back office lainnya kami dikirim dalam program outbound ke sana sebenarnya.
Dalam program tersebut saya bahkan mendapat penghargaan sebagai salah satu lulusan terbaik dan termuda.
Manfaatnya terasa hingga kini, saya menjadi orang yang lebih disiplin dalam hidup.
Di kantor, saya menjadi orang yang sangat menghargai time table, program-program kerja yang saya lakukan selalu saya program terlebih dahulu di awal, dan saya selalu berusaha memenuhi tenggat waktu yang saya janjikan sendiri pada atasan, jadi bukan cuma sekedar menyelesaikan pekerjaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, saya amat menjunjung tinggi disiplin hidup bersih.
Saya amat pantang buang sampah sembarangan di jalan, bila perlu menenteng sampah hingga beberapa meter demi mencari tempat sampah. Meskipun itu hanya selembar tisau (hehehe…konyol juga ya?)
Sholat Subuh pun hampir tak pernah kesiangan sudah 10 tahun terakhir ini.
Mandi dan sarapan pagi saya selalu ada jam nya, tidak pernah lebih telat daripada jam 8 pagi, dan masing-masing hanya saya lakukan dalam tenggat waktu sekitar 5 menit.
Setidaknya jika berada dalam kondisi perang, saya sudah tahu bagaimana caranya cepat mengenakan seragam militer, bersiap apel dalam hitungan menit, dalam kondisi bugar,
Hanya mungkin yang perlu di re-fresh adalah cara menggunakan senjata api, karena dulu di Secapa POLRI, saya hanya diberi senapan kayu rakitan untuk latihan anggota sipil (non Polri). Belum pernah diajar menggunakannya. Menembak pun saya bisanya karena belajar dari Shooting Gallery yang pernah ada di Blok M Plaza, bukan latihan militer….hehehehe.
Itulah gunanya ikut wajib militer lagi, meskipun kini usia saya sudah hampir mencapai kepala 4, dan telah memiliki anak, namun hasil kedisiplinan latihan selama ini, rasanya Insya Allah fisik saya masih cukup kuat jika harus masuk Wamil….tanpa bermaksud menyombongkan diri lho.
Mengutip anggota Komisi I yang juga mantan Menpora, Hayono Isman mengatakan bahwa “Supir taksi di Singapura saja, tahu harus berbuat apa saat perang”
Seorang WN Singapore yang saya temui di Orchard Road, Singapore, pernah menjawab pertanyaan saya mengapa warga Singapura yang terdiri berbagai ras, bisa hidup bersih, tertib dan disiplin.
Jika bicara karena mereka jajahan Inggris, toh warga dari ras Tionghoa di Hong Kong, atau warga India di negara asalnya yang juga jajahan Inggris, hidup dalam kondisi tak disiplin, jorok, dan agak sulit diatur.
Begitu juga ras Tionghoa di RRC yang katanya negara komunis yang terkenal disiplin militernya, ternyata banyak juga pelanggaran hukumnya.
Ia menjawab “Karena hampir semua dari kami WN Singaura, pernah merasakan hidup di barak militer yang keras dan displin dalam program Wajib Militer !”
Makanya kita tidak pernah mendengar ada siswa-siswa sekolah di Singapura yang tawuran ataupun warga .
Ini mungkin juga baik untuk mendidik dan melatih pengendalian “amarah dan emosi” para siswa sekolah dan generasi muda yang suka tawuran, agar tahu apa artinya “bertempur” yang sebenarnya itu. Agar tidak sembarangan dalam hidup.
Mungkin saja dengan meningkatnya kedisplinan warga Indonesia sepulang dari program Wamil, akan menekan angka tindak-tanduk cari gara-gara yang sering menjadi pemicu tawuran siswa antar sekolah dan tawuran antar warga, cara-cara pengecut yang beraninya berkelahi jika rame-rame ajak teman, bukanlah caragentleman.
Sementara di Wamil, kita akan dilatih untuk how to survive fighting by our own (alias mempertahankan hidup kala kondisi terdesak tinggal sendirian menghadapi musuh).
Mudah-mudahan pelatihan seperti ini tidak akan menambah jumlah orang yang sok jago terutama preman-preman, namun justru akan menambah jumlah orang yangrendah hati karena tahu sebenarnya ia mampu membela dirinya sendiri tapi tidak untuk menyerang saudara sebangsa se tanah air, namun itu semua simpanan untuk bertempur melawan “musuh negara”.
Dampak keseluruhanyang diharapkan akibat warga negara yang sebagian besar, militer maupun sipil memiliki tingkat kedisiplinan, kesiagaan, kewaspadaan yang tinggi, akan menghilangkan kebiasaan hidup seenak udel gue yang seringkali menjadi pemicu kasus tawuran, vandalisme, sekaligus juga meningkatkan kualitas kehidupan warga seperti yang terjadi di Korea Selatan, dan Singapore, dimana hasil wajib militer telah meningkatkan kedisplinan warga, mudah diatur, tertib dan bersih dalam segala hal, akibatnya negara merek menjadi obyek wisata mancanegara yang nyaman, meskpiun pesona alam nya tidak sebanyak Indonesia.
Perekonomian negara mereka pun melesat maju, karena memang semua warga negara yang hidup displin tersebut menjadi memiliki nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, sehingga seorang bankir profesional sekalipun siap memiliki mental “tempur” yang kuat dalam menghadapi persaingan internasional, walaupun dunia perbankan sejatinya berbeda dengan dunia militer.
Sumber : Kompasiana
No comments:
Post a Comment