Tuesday, May 28, 2013

Pakar : Filipina tampaknya kecewa dengan ASEAN


Jakarta (MI) : Pakar hubungan internasional dari Pusat Studi ASEAN FISIP Universitas Indonesia, Makmur Keliat, mengatakan ada kemungkinan sikap vokal Filipina belakangan ini terkait sengketa wilayah di Laut China Selatan merupakan bentuk kekecewaan terhadap ASEAN.

"Filipina tampaknya kecewa dengan ASEAN, karena sejauh eskalasi sengketa Laut China Selatan berlangsung tidak ada pernyataan yang sangat tegas dari ASEAN untuk membela Filipina," kata Makmur saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa.

Sejauh ini, lanjut Makmur, belum ada, ASEAN belum menunjukkan pernyataan yang mengecam China maupun Taiwan ataupun pembelaan terhadap Filipina.

Makmur mengacu kepada rangkaian peristiwa beberapa pekan terakhir dari penembakan yang menewaskan nelayan Taiwan oleh penjaga pantai Filipina, protes Taiwan atas pengiriman kapal-kapal angkatan laut Filipina ke pulau-pulau di Laut China Selatan yang disengketakan serta pernyataan tekad Filipina untuk mempertahankan apa yang menjadi hak mereka sebagai respon atas aksi kapal-kapal perang China mengitari pulau karang di Laut China Selatan, yang diduduki marinir Filipina.

"Jadi Filipina sepertinya merasa bahwa mereka berada dalam posisi yang harus menyandarkan diri pada mekanisme nasionalnya sendiri dan tidak berupaya mendesak ASEAN," kata Makmur.

"Bahkan mungkin Filipina putus harapan dengan ASEAN terkait keinginan menyelesaikan konflik sengketa tersebut," ujar dia menambahkan.

Terlebih lagi, Makmur menilai bahwa di dalam tubuh ASEAN sendiri terdapat konflik sengketa wilayah secara internal oleh Filipina dengan Malaysia atau Brunei Darussalam contohnya.

Sementara itu dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation, Makarim Wibisono, mengatakan ekspresi yang dimunculkan Filipina bukan tidak mungkin dipicu keinginan penyelesaian secara lebih cepat, akan tetapi ia menekankan bahwa kekerasan bukan jalan ekspresi yang tepat.

"Bisa tidak puas, bisa supaya ingin lebih cepat, tetapi ekspresi ketidakpuasan itu tidak selalu harus dengan kekerasan," kata dia.

Di sisi lain, Makmur menilai bahwa posisi cenderung lebih solid justru diperlihatkan China dan Taiwan yang memiliki pijakan argumen serupa terkait klaim wilayah Laut China Selatan.

"Klaim soal Laut China Selatan, Kepulauan Spratly khususnya, posisi China dan Taiwan itu sebenarnya sama, dalam pengertian kedua negara merasa mewarisi pemerintahan yang ada sebelum terjadinya Perang Dunia II," kata dia.

"Jadi China dan Taiwan itu sama-sama mengklaim kepulauan itu sebagai wilayah kedaulatan mereka," ujarnya menambahkan.

Oleh karena itu, sementara Filipina belum mendapat angin segar dari ASEAN, tindakan Taiwan justru setidaknya tidak mendapati respon negarif dari China.

"Itu ketika Taiwan berhadapan dengan Filipina," ujarnya.

Pada pekan lalu, Presiden Filipina Benigno Aquino mengumumkan anggaran sebanyak 1,82 miliar dolar untuk mempertahankan wilayah maritimnya dari para "pengganggu".

Dalam komentar terselubung yang dinilai mengacu ke China, Benigno kala berpidato pada peringatan ulang tahun ke-115 angkatan lautnya, bersumpah angkatan bersenjata akan diberikan kebutuhan penting untuk melindungi kedaulatan Filipina.

"Kita memiliki pesan yang jelas untuk dunia : Filipina untuk warga Filipina, dan kami memiliki kemampuan untuk melawan gangguan yang memasuki wilayah kami," katanya kepada pasukan angkatan laut.

Presiden merincikan sebesar 75 milar peso atau 1,82 miliar dolar AS (sekitar Rp17,5 triliun) dalam program modernisasi militer menjadi prioritas untuk meningkatkan kemampuan angkatan laut, yang dinilai terlemah di Asia Tenggara.

Dia mengatakan pada 2017, Filipina akan memiliki dua kapal pengawal baru, helikopter dengan kemampuan anti serangan kapal selam, tiga kapal cepat untuk patroli pantai dan delapan kendaraan serbu amfibi.

Tantangan ASEAN Cegah kekerasan dalam sengketa perairan

 

Direktur ASEAN Foundation, Makarim Wibisono, mengatakan ASEAN di tengah peningkatan ketegangan dalam sengketa perairan di Laut China Selatan antara Filipina, China dan Taiwan beberapa pekan terakhir memiliki tantangan mencegah munculnya penggunaan kekerasan.

"(Mencegah penggunaan kekerasan) itu yang harus diutamakan, itu menjadi tantangan bagi ASEAN," kata Makarim saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Menurut Makarim, sengketa perairan di Laut China Selatan berdasar pada klaim dengan pijakan argumen yang berbeda sehingga akan sulit mencapai titik temu, oleh karena itu fokus ASEAN harus menjaga perbedaan yang ada tidak menciptakan ketegangan berlarut.

"Kalau sekarang ini masalahnya tetap pada bagaimana mengusahakan Laut China Selatan itu merupakan wilayah yang tanpa ada penggunaan senjata dan kekerasan. Ini kesempatan ASEAN untuk mendorong pihak-pihak terkait agar bersedia maju di bidang itu," kata dia.

ASEAN sebetulnya sudah membuat draf nol Kode Tata Berperilaku (CoC), yang juga menjadi salah satu amanat yang diatur dalam Deklarasi Tata Berperilaku (DoC)

Pada awal Mei, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, setelah bertemu dengan Menlu RI Marty Natalegawa, memastikan komitmen untuk mencapai kemajuan dalam pembahasan DoC --yang disusun pada 2002-- menuju CoC.

Proses pembahasan akan dilakukan secara bertahap. Kedua belah pihak juga menginisiasi beberapa hal, diantaranya, adalah pembentukkan kelompok kerja ASEAN dan China di tingkat Direktur Jenderal. China juga menginginkan CoC disepakati oleh semua pihak.

Oleh karena itu, Makarim berpendapat bahwa sebaiknya ASEAN terus berkonsentrasi untuk segera menuntaskan mekanisme CoC.

"Kalau sudah dituntaskan siapa-siapa yang menggunakan kekerasan berarti telah mengambil langkah yang melanggar Coc itu tadi, sementara sekarang tidak ada norma-norma yang mengikat semua pihak dalam sengketa Laut China Selatan," ujar dia.

Sementara itu, pada Kamis (23/5) Filipina mengungkapkan tekadnya untuk mempertahankan apa yang menjadi hak mereka, sebagai respon atas aksi kapal-kapal perang China yang berpatroli di pulau karang di Laut China Selatan yang diduduki oleh marinir Filipina.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Filipina Raul Hernandez mengatakan Kamis, kapal perang China bersama dua kapal patroli dan satu armada kapal nelayan masih berada di dekat dangkalan tersebut.

"Mereka seharusnya tidak berada di sana. Mereka tidak berhak untuk berada di sana.. tak ada seorangpun meragukan kesungguhan rakyat Filipina untuk mempertahankan hak kami di wilayah tersebut," kata Hernandez kepada AFP.

"Angkatan Laut dan penjaga pantai kami diberi mandat untuk menegakkan hukum di Filipina," katanya.

Sebelumnya pada pekan lalu, Presiden Filipina Benigno Aquino mengumumkan anggaran sebanyak 1,8 miliar dolar untuk mempertahankan wilayah maritimnya.



Sumber : Antara

1 comment:

  1. Filipina kalau mau hrs beli kapal KCR buatan Indonesia dg roket C - 705, utk memperkuat perairan laut filipina dan dg pembelian alutsista dr Indonesia maka akan ada aliansi antar laut bagian timur dan laut bagian barat. Negara2 bagian barat akan terusik dg tumbuhnya kapal2 KCR filipina.

    ReplyDelete