JAKARTA (MI) : TNI Angkatan Darat bekerja sama dengan Surya University mengembangkan
15 teknologi alat utama sistem senjata (alutsista). Pengembangan
teknologi itu diharapkan mampu mengurangi ketergantungan negara dalam
pengadaan alutsista dari negara lain.
Kepala Staf TNI AD Jenderal Budiman mengatakan, proses pengembangan
teknologi ini sudah berjalan sejak enam bulan terakhir. Riset yang
dilakukan TNI AD dan Universitas Surya itu meliputi nano satellite, gyrocopter, UAV (Unmananned Aerial Vehicles) autopilot atau pesawat tanpa awak (drone), simulasi tembak laser, dan GPS Tracking System APRS (Automatic Package Reporting System).
"Dengan memproduksi sendiri, banyak keuangan negara yang kita hemat.
Ini perkembangan Litbang TNI dengan Universitas Surya untuk mendorong
para prajurit mengembangkan dan untuk memperbesar hasil," kata Budiman
saat peluncuran hasil riset alutsista di Mabes TNI AD, Senin (7/4/2014).
Budiman menjelaskan, salah satu kelebihan pengembangan teknologi
alutsista adalah Indonesia dapat memproduksi alat dengan harga relatif
jauh lebih murah. Ia mencontohkan, teknologi GPS Tracking System APRS
hanya menghabiskan anggaran sekitar Rp 5 juta. Adapun harga peralatan
impor mencapai Rp 500 juta. "Kalau produksi sendiri kita bisa menghemat
hingga seperseratus dari harga beli dari luar," ujarnya.
Selain dari sisi harga, keuntungan lainnya adalah meminimalkan
kemungkinan penyadapan terhadap alutsista tersebut. Pengembangan
teknologi Indonesia ini juga dapat menghindari pembelian peralatan yang
mungkin berkualitas lebih rendah dari harga sebenarnya.
"Risiko kalau kita beli di luar, pasti alat terhebatnya dipakai sendiri. Layer kedua dia berikan kepada sekutunya dan layer ketiga baru diberikan kepada kita," katanya.
Sementara itu, Rektor Surya University Prof Yohanes Surya mengatakan,
sejak awal pihaknya menyambut baik niat TNI AD yang ingin melakukan
pengembangan terhadap alutsista miliknya. Ia menuturkan, pada tahun
2010, hanya ada sekitar 13 teknologi asal Indonesia yang dipatenkan
secara internasional. Hal itu sangat jauh jika dibandingkan dengan
produk Korea Selatan (10.446), China (16.403), dan Amerika Serikat
(48.896).
Ia mengatakan, sebetulnya Indonesia memilih banyak ahli atau pakar
teknologi. Namun, karena kurangnya perhatian dari pemerintah, maka tidak
sedikit dari mereka yang akhirnya justru memilih untuk tinggal di luar
negeri.
"Ambil contoh pada riset pembuatan nano satellite. Kita punya ahli yang hebat dan bahkan kita sudah sejajar dengan negara-negara tertentu," katanya.
Ia berharap, melalui kerja sama ini maka terjadi proses transfer
teknologi dari universitas ke TNI AD. Menurutnya, tentara dapat dilatih
untuk belajar membuat satelit kecil tersebut dari nol. Prajurit bahkan
bisa merakit, menyolder, membuat program elektronika, membuat program
komputer sampai membuat wadah nano satellite sendiri.
kenapa ngga dari dulu kembangkan drone. mending indonesia fokus aja ke pesawat tempur drone. di masa depan prospek drone sangat bagus dalam menjaga kedaulatan indonesia
ReplyDelete