Jakarta (MI) : Bom Bali 2002 yang membunuh 202 orang dan mencederai 240 lainnya di
salah satu tujuan wisata paling tenang di dunia menjadi sebuah tamparan
adanya terorisme di Indonesia.
Negeri ini mulai menangani terorisme secara lebih mendesak, teratur,
dan terkoordinasi, seperti yang dilakukan Amerika Serikat setelah
serangan 11 September.
Dua belas tahun kemudian, upaya penanggulangan terorisme Indonesia memaksa para teroris untuk mengalihkan fokus.
Karena para teroris tidak mampu melancarkan serangan yang menarik
perhatian besar dan menambahkan gengsi tujuan mereka - yaitu serangan
berskala besar dan berprofil tinggi terhadap orang asing - mereka harus
puas dengan serangan skala kecil terhadap warga setempat, terutama polisi dan pasukan kontra terorisme.
Kunci perubahan ini adalah lumpuhnya Jemaah Islamiyah, yaitu afiliasi al-Qaeda,
yang ciri khasnya adalah serangan berprofil tinggi, oleh pasukan kontra
terorisme. Kebanyakan pemimpin Jemaah Islamiyah telah dibunuh atau
dipenjara.
Serangan berprofil tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini hanyalah
pemboman di hotel Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta pada tahun 2009
yang menyebabkan tujuh kematian dan 50 korban cedera. Namun, skalanya
sama sekali tidak mendekati skala bom Bali 2002.
Pasukan kontra terorisme juga menggagalkan plot pemboman kedutaan
besar Singapura dan Myanmar di Jakarta dalam beberapa tahun terakhir.
Brigjen Tito Karnavian, wakil ketua Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) Indonesia, berkata negara ini sedang menghadapi para
teroris generasi ketiga.
“Mereka bukan veteran perang Afganistan” yang bertempur dengan
al-Qaeda dan Taliban melawan pasukan Sekutu "atau mereka yang dilatih
oleh veteran perang," kata Karnavian. “Mereka adalah orang-orang yang
telah meradikalisasi diri sendiri.”
Ada sebuah kekhawatiran baru, yaitu para radikal Indonesia pergi ke
Suriah untuk bertempur dengan pasukan oposisi melawan rezim Bashar
al-Assad. Masalahnya adalah setelah konflik Suriah berakhir, mereka akan
kembali ke Indonesia dengan watak yang dibuat keras oleh pertempuran,
dengan maksud menghasut kekerasan, seperti yang dilakukan veteran Jemaah
Islamiyah dari konflik Afganistan.
Indonesia selama ini berhasil melawan pemberontakan karena struktur
kontra terorismenya berkembang dalam satu dekade terakhir ini,
melibatkan lebih banyak sumber daya dan memastikan perencanaan serta
koordinasi yang lebih baik.
Beberapa tonggak penting dalam perkembangan ini adalah:
• Membentuk satuan elit kepolisian kontra terorisme, Densus 88, dengan bantuan A.S. dan Australia, menyusul bom Bali;
• Melibatkan militer Indonesia dalam upaya penanggulangan terorisme pada tahun 2013. Sebelumnya, kontra terorisme hanya merupakan lingkup polisi
. Menambahkan militer ke dalam satuan lebih dari menggandakan jumlah
personel yang bisa digunakan dalam upaya kontra terorisme - dari 350.000
polisi menjadi 780.000 personel gabungan polisi dan militer;
• Membentuk lembaga kontra terorisme nasional, BNPT, pada tahun 2010
untuk memastikan koordinasi yang lebih baik di antara para pemain
penting dalam upaya ini: polisi, militer, yudisial dan masyarakat umum.
Peran koordinasi BNPT mirip dengan peran Departemen Keamanan Dalam
Negeri Amerika Serikat;
• Mulai mengikutsertakan militer Indonesia dalam latihan kontra
terorisme multilateral dengan pasukan dari Amerika Serikat, Australia,
para anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, Tiongkok, dan
negara-negara lainnya;
• Mengamandemen UU Indonesia untuk menjatuhkan hukuman yang lebih
lama kepada terpidana teroris, untuk menangani kejahatan finansial
terkait teroris seperti pencucian uang, dan untuk menutup celah hukum
yang bisa membantu para teroris.
Pasukan A.S. dan Australia membantu pelatihan
Pasukan kontra terorisme A.S. dan Australia membantu Indonesia
mengorganisir dan melatih Densus 88, satuan elit kontra terorisme
beranggotakan 300 anggota Polri.
Kedua negara yang membantu memiliki motivasi yang kuat. Serangan
teroris 11 September masih segar di benak pihak Amerika, yang terjadi
hanya sembilan bulan sebelum pemboman Bali pada bulan Mei 2002. Secara
menyakitkan, pihak Australia juga ingat bahwa 88 dari 202 korban tewas
dalam pemboman Bali berasal dari negara mereka.
Indonesia memutuskan untuk melibatkan militer dalam upaya kontra
terorismenya selama tahun-tahun menjelang pembentukan BNPT pada tahun
2010. Namun, pasukan bersenjata ini tidak bergabung dengan gerakan ini
sampai tahun 2013, setelah dasarnya terbentuk.
Dalam laporan tahun 2010 mengenai rencana Indonesia untuk melibatkan
militer dalam kontra terorisme, wartawan koresponden Straits Times
Indonesia, Wahyudi Soeriaatmadja, mengutip Panglima Angkatan Darat
Pramono Edhie Wibowo yang mengatakan: “Terorisme adalah masalah setiap
orang.”
Kehadiran militer di seluruh negeri
Melibatkan pihak militer merupakan sesuatu yang masuk akal karena
mereka berlokasi di seluruh Indonesia yang berbeda dengan Polri, menurut
para pejabat. Kehadiran mereka akan membantu khususnya dalam hal
intelijen.
Ketua BNPT Ansyaad Mbai mengatakan Indonesia akan mengikuti contoh
Amerika yang memberi wewenang kepada warga sipil dalam upaya kontra
terorisme. Artinya, polisi akan memimpin upaya, dan militer berfungsi
sebagai sumber daya tambahan yang berharga.
Karena militer Indonesia baru resmi menjadi bagian upaya kontra
terorisme hanya tujuh bulan yang lalu, masih terlalu dini untuk
memastikan apakah terjadi koordinasi atau masalah persaingan di antara
Polri dan militer.
Ketika Indonesia memungkinkan pasukan bersenjatanya untuk memulai
upaya kontra terorisme tahun lalu, militer segera mulai berpartisipasi
dalam latihan multilateral.
Justru militer mengorganisir latihan kontra terorisme besar yang
melibatkan 17 negara lainnya pada pertengahan bulan September 2013.
Sejumlah 872 pasukan elit kontra terorisme ikut serta dalam latihan lima
hari di daerah Sentul.
Pasukan ini harus menanggapi dua skenario - pemboman teroris terhadap
sebuah kapal tangki minyak dan teroris yang menyerang daerah yang
dipadati warga sipil.
Panglima militer Indonesia Jend. Moeldoko berkata bahwa para teroris
semakin mahir menggunakan teknologi - dan pihak militer memiliki
kemampuan teknis untuk mengatasi ancaman yang lebih mutakhir.
“Dinamika perkembangan keamanan di dunia saat ini perlu diperhatikan
oleh semua unsur keamanan, terutama militer," kata Moeldoko, yang
seperti banyak orang Indonesia, hanya menggunakan satu nama.
Sumber : Apdforum
No comments:
Post a Comment