Kompasiana (MI) : Presiden
ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, mengkritik
keputusan Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang membeli 120 tank Leopard
dari Jerman. Menurut Habibie, tank Leopard tak cocok sebagai alutsista
pertahanan Indonesia.
“Kita
impor tank Leopard itu untuk apa? Itu kan untuk negara padang pasir,
bukan negara maritim. Skenario perang berubah, sekarang pembuat tank itu
mencari orang yang mau bayar besi tuanya. Pakai dong otaknya,” ujar
Habibie dalam seminar “Uji Publik Capres 2014: Mencari Pemimpin Muda
Berkualitas” yang diadakan The Habibie Center, di Jakarta, Rabu, 26 Maret siang yang ditulis Kompas.com.
Habibie mempertanyakan berat tank yang mencapai 60 ton. Alat seberat
itu, tidak akan cocok untuk dioperasikan di Indonesia. ”Belum tentu bisa
lewat jembatan, tidak kuat nanti jembatannya. Dan, saya dengar akan
datang langsung 120 (unit), mau taruh di mana?” ujarnya.
Habibie meyakini bahwa pihak Kementerian Pertahanan sudah mengetahui
mengenai kondisi-kondisi teknis itu. Namun, menurut dia, Kemenhan
sepertinya lebih mementingkan unsur ekonomi dibandingkan unsur teknis
dari pembelian tank itu.
“Itu
otak ekonomi, otak dagang, mumpung murah, jadinya dibeli. Saya tidak
mau kritik siapa pun juga, saya cuma mau peringatkan anak cucu
intelektual saya,” katanya.
Kementerian Pertahanan membeli 42 unit tank tempur utama Leopard 2A4 dan
61 unit tank tempur utama Leopard Revolution. Kemhan juga mendatangkan
50 unit tank tempur medium Marder yang kesemuanya berasal dari pabrikan
asal Jerman, Rheinmenttal. Komisi I DPR dan Kemhan sudah sepakat
menganggarkan dana 280 juta dollar AS untuk membeli alutsista yang
diperuntukkan TNI AD tersebut.
Apa
yang disampaikan BJ Habibie itu sudah lama dilontarkan oleh banyak
pihak yang tidak ingin alutsista TNI maju seperti negara-negara lain di
Malaysia dan Singapura yang sudah lama memiliki Tank Leopard. Kritikan
soal Tank Leopard kini muncul kembali, dan keluar dari bibir mantan
Presiden RI BJ Habibie jelang Pemilu 2014. Banyak yang tidak paham soal
pengadaan alutsista TNI, termasuk mungkin mantan Presiden BJ Habibie.
Apa motivasinya berbicara demikian?
Perlu masyarakat ketahui, modernisasi
alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI dilakukan untuk
membangun postur pertahanan dalam negeri. Komitmen membangun tersebut
pernah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua tahun silam di
Bandung. Mengapa baru sekarang TNI bisa memperbarui alutsista?
Pertanyaan
ini begitu penting karena ada tiga alasan. Pertama, Indonesia mengalami
krisis ekonomi yang cukup berat. Kedua, keuangan negara belum mampu
membeli alutsista yang baru dan modern akibat terpaan krisis. Ketiga,
TNI memprioritaskan kebutuhan rakyat yang mendesak dibandingkan membeli
senjata baru.
Dengan
ketiga alasan tersebut, maka tidak mengherankan jika Indonesia
tertinggal dengan negara-negara lain dalam hal persenjataan militer
dalam kurun 20 tahun belakangan. Kini, dengan kondisi perekonomian
negara yang kian membaik, Pemerintah mendukung upaya memperbarui
alutsista TNI.
Bahkan,
Presiden Yudhoyono menyambut baik kerja sama antara perusahaan dalam
dengan luar negeri. Hal itu seperti yang dilakukan PT Dirgantara
Indonesia yang bekerja sama dengan Airbus Military. Kedua perusahaan ini
memproduksi alat-alat tempur, contohnya pesawat CN-295.
Kerjasama
antara dua perusahaan di atas, sangat menguntungkan Indonesia.
Keterlibatan perusahaan dalam negeri akan meningkatkan alih teknologi.
Sehingga tidak menutup kemungkinan di masa depan, perusahaan-perusahaan
strategis nasional akan mampu memproduksi alat-alat tempur secara
mandiri.
Hal
lain yang tidak kalah penting adalah informasi kepada masyarakat
mengapa alutsista TNI menjadi sangat penting. Alutsista TNI merupakan
sarana pendukung inti bagi prajurit TNI menjalankan operasi perang dan
non perang. Bisa dibayangkan jika prajurit TNI tidak memiliki senjata
yang canggih dan moderen, sementara musuh memiliki persenjataan yang
lengkap dan mutakhir. Kondisi seperti itu akan melemahkan sistem
pertahanan secara menyeluruh.
Dengan dukungan masyarakat, TNI kini sudah memiliki alat-alat tempur baru dan modern. Di antaranya adalah, Sukhoi
Su-30MK2, pesawat angkut CN-295, pesawat Super Tucano EMB-314,
helicopter Bell 412 EP, Tank Amfibi BMP-3F, Panser Amfibi BTR-4, pesawat
CN-235 MPA dan pesawat latih T-50.
Ke
depan, TNI masih akan terus memanfaatkan uang negara secara optimal dan
bertanggungjawab. Pembelian sejumlah alutsista baru masih akan terus
dilakukan. Beberapa alutsista yang masih dalam proses adalah Main Battle Tank Leopard, meriam armed Howitzer, rudal arhanud Mistral, helicopter serbu Fennec AS 555 AP dan AS 550 C3, multi launcher rocket system Astros II, multi role light Fregate, dan helikopter Apache.
Tidak seluruh alutsista TNI berasal dari luar. Ada beberapa produksi dalam negeri yang digunakan TNI, antara lain: Panser
Anoa Pindad, Kapal Cepat Rudal (KCR), Kapal Angkut Tank, Kapal Bantu
Cair Minyak, Pesawat CN-235 dan C-212, Helikopter NAS-332 Super Puma dan
beberapa persenjataan dan amunisi.
Pengawasan Ketat Pembelian Alutsista TNI
Kementerian
Pertahanan dan TNI tidak pernah bermain-main dalam pengawasan pembelian
alutsista. Pemerintah sadar pertanggungjawaban yang begitu besar karena
uang yang digunakan untuk membeli alutsista berasal dari rakyat. Oleh
sebab itu, setiap proses pengadaan alutsista diawasi oleh banyak pihak.
Ada
banyak institusi yang dilibatkan dalam pengadaan alutsista TNI.
Pihak-pihak tersebut terbagi menjadi organisasi induk, tim evaluasi
spesifikasi teknis, panitia pengadaan, tim evaluasi pengadaan dan tim
perumus kontrak.
Organisasi
induk beranggotakan Menteri Pertahanan, Sekjen Kemhan, Panglima TNI dan
tiga Kepala Staf Angkatan. Secara umum, organisasi ini memiliki tugas
menentukan kebijakan program pengadaan dan rencana kebutuhan alutsista
TNI. Selain itu, monitoring dan proses pengadaan juga menjadi cakupan
kerja organisasi induk.
Sementara
pengawasan dilakukan Irjen Kemhan, Irjen TNI, Dirjen Strategi
Pertahanan dan Dirjen Perencanaan Pertahanan. Adapun pejabat pembuat
komitmen dilakukan Kepala Badan Sarana Pertahanan, Mabes TNI dan tiga
Kepala Staf Angkatan. Dengan melibatkan banyak pihak, maka sangat kecil
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan alutsista
TNI.
Apakah
hanya internal Kemhan dan TNI yang dilibatkan dalam proses pengadaan
alutsista? Jawabnya tidak. Karena faktanya, Kemhan senantiasa
berkoordinasi dengan pihak-pihak lain, seperti Kementerian Keuangan,
Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS), Badan Usaha Milik
Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).
Terkait
dengan pinjaman luar negeri, Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan
Kementerian Keuangan. Metode yang dilakukan adalah penunjukan langsung.
Metode ini menjadi penting karena terkait strategi pertahanan,
kerahasiaan dan penanganan darurat.
Meski
penunjukan langsung, namun ada proses ketat seperti penilaian
kualifikasi dan penyampaian penawaran. Kedua proses ini dilakukan agar
pihak yang ditunjuk langsung untuk menyediakan dana pinjaman,
benar-benar kompeten dan memiliki syarat yang dibutuhkan.
Lalu bagaimana dengan pengadaan alutsista di atas Rp 100 miliar? Jawabnya adalah Kementerian Pertahanan akan melaksanakan sidang
Tim Evaluasi Pengadaan (TEP). Jika melalui pinjaman luar negeri, maka
dananya berasal dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE). Hasil
penetapan penyedia akan disampaikan ke Kementerian Keuangan untuk
kemudian diproses.
Dengan
gambaran di atas, menjadi bukti bahwa proses pengadaan alutsista TNI
demikian panjang dan melibatkan banyak pihak. Ada banyak tim yang
mengawal proses pengadaan, mulai dari awal hingga akhir. Seperti tim
pengawas negosiasi angkutan dan asuransi, tim satuan tugas, tim
kelaikan, tim inspeksi pra pengiriman barang, tim uji fungsi atau uji
terima, inspeksi komodor, tim pemeriksa (inname dan anname) dan tim penerima.
Masyarakat
bisa membayangkan betapa banyak tim yang mengawasi proses pengadaan
alutsista TNI dari awal hingga akhir. Itu semua dilakukan agar
spesifikasi barang atau jasa yang dibeli sesuai dengan yang ada dalam
isi kontrak. Pemerintah pun memberikan syarat ketat untuk pembelian
alutsista TNI dari luar negeri. Standardisasi internasional menjadi
syarat mutlak yang tidak bisa ditawar lagi.
Oleh sebab itu, Pemerintah hanya berhubungan dengan pihak-pihak yang langsung memproduksi senjata di luar negeri. Tidak berhubungan dengan pihak ketiga yang tidak memiliki keterkaitan dengan pengadaan senjata.
Pembelian alutsista dari luar negeri pun mengacu pada tiga alasan. Pertama, produksi alutsista dalam negeri belum memenuhi persyaratan. Kedua, alutsista yang dibutuhkan belum bisa diproduksi di dalam negeri. Ketiga, volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan tiga alasan di atas, maka pengadaan alutsista TNI dari luar negeri tidak bisa dielakkan. TNI tidak mungkin menunggu lama pengadaan alutsista jika mengandalkan produksi dalam negeri. Pengadaan impor pun disertai dengan pemilahan barang dan alih teknologi. Pemilahan barang diperlukan karena harus disandarkan pada asas kebutuhan yang paling mendasar. Sementara alih teknologi menjadi penting karena akan meningkatkan pengetahuan persenjataan modern.
Oleh
sebab itu, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro senantiasa meminta
masukan Panglima TNI terkait pengadaan alutsista. Hal itu menjadi
penting karena sejatinya yang menggunakan dan memahami senjata adalah
TNI sendiri. Payung hukum yang digunakan Menhan untuk mengadakan
alutsista baru adalah Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2010.
Transparansi
dan akuntabilitas menjadi dua hal yang sangat penting bagi Kementerian
Pertahanan dan TNI. Kementerian ini mengeluarkan Peraturan Menteri
Pertahanan (Permenhan) Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Alutsista TNI.
Permenhan
tersebut menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengadaan agar kemudian
prosesnya tepat sasaran, terbuka, transparan, adil dan diketahui oleh
banyak pihak. Tidak hanya peraturan, Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro bersama perwira tinggi TNI, BPKP & LKPP mendeklarasikan
anti korupsi pada 6 Januari 2011.
Hal
ini menjadi unik, karena deklarator dilakukan langsung oleh pejabat
tinggi negara. Bukan dilakukan oleh aktivis LSM, mahasiswa, para
pengamat atau media massa. Deklarasi ini mendapat sambutan baik dari
anggota Komisi I DPR RI Mahfudz Shiddik. Menurutnya, Kemhan dan TNI
menjadi contoh baik pemberantasan korupsi.
Penyusunan Kontrak Pengadaan
Begitu
pentingnya proses pengadaan alutsista sehingga membuat Kementerian
Pertahanan memperhatikan betul penyusunan kontrak. Dalam pembelian
impor, proses transaksi melalui surat kredit berdokumen atau letter of
credit (L/C). Sistem transaksi ini menjadi penting karena pihak penjual
dan pembeli mengadakan negosiasi jual beli barang hingga mencapai
kesepakatan. Kedua belah pihak pun harus menyerahkan jaminan pelaksanaan
dan jaminan uang muka. Di dalam kontrak pun dapat dilampirkan beberapa
dokumen penting seperti surat pelimpahan wewenang, pernyataan tentang
batas akhir ekspor, embargo dan penggunaan materi kontrak.
Dengan
proses yang demikian penting, maka Kementerian Pertahanan dan TNI harus
membuat kontrak kerja sama dengan pihak produsen senjata. Kementerian
Pertahanan berpedoman pada Standar Dokumen Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (SDPBJP) dalam menyusun kontrak tersebut. Kementerian akan
membuat klausul khusus jika ada pengaturan kontrak yang tidak terdapat
dalam standar tersebut.
Berdasarkan
pengalaman, beberapa klausul khusus mencakup kodifikasi materi sistem
nomor sediaan nasional (NSN), klaikan materi, angkutan dan asuransi,
pembebasan bea dan masuk pajak, serta alih teknologi.
Begitu
banyaknya klausul khusus sehingga mendapat perhatian serius dari
Pemerintah. Hal lain yang menjadi klausul khusus adalah sertifikat
kemampuan dan kondisi khusus sesuai kebutuhan kontrak, dan jaminan
pemeliharaan.
Keikutsertaan
DPR menjadi penting karena proses pembelian senjata berkaitan dengan
keberlangsungan pertahanan negara. Di parlemen, setiap proses transaksi
membutuhkan tanda bintang. Tanda bintang di DPR menunjukkan berapa besar
urgensi pembelian alutsista TNI.
Proses
penandatanganan kontrak pun dibatasi waktu. Untuk pengadaan barang,
perbaikan, pemeliharaan suku cadang dan penambahan bekal, paling lambat
tandatangan kontrak di bulan ke enam. Sementara untuk pengembangan
kekuatan alutsista TNI dilakukan di akhir bulan ke-9.
Pengendalian dan Sanksi dalam Pengadaan Alutsista
Meski
sudah diterapkan peraturan yang ketat, tidak menutup kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan anggaran. Untuk mengatasi masalah tersebut,
Kementerian Pertahanan akan menerapkan sanksi tegas kepada semua pihak
yang diduga terlibat dugaan korupsi. Ada sanksi tegas yang akan
dijatuhkan kepada semua pihak yang berusaha bermain-main dalam proses
pengadaan alutsista TNI.
Secara
umum, ada lima perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi. Pertama, upaya
mempengaruhi panitia pengadaan alutsista TNI sehingga melanggar
peraturan perundang-undangan. Kedua, bersekongkol dengan Penyedia Alutsista TNI lain untuk mengatur harga. Ketiga, membuat atau menyampaikan dokumen atau keterangan
lain yang tidak benar. Keempat, mengundurkan diri dari pelaksanaan
kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kelima,
pengalihan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain.
Sanksi yang dijatuhkan berupa denda dan memasukkannya ke daftar hitam (black list). Denda yang dijatuhkan kepada penyedia alutsista TNI sebesar 1/1000 dari harga kotrak untuk setiap hari keterlambatan.
Sementara
daftar hitam akan diserahkan ke LKPP. Pihak-pihak yang sudah masuk
daftar hitam tidak diperkenan untuk mengikuti pengadaan alutsista di
masa mendatang. Daftar Hitam Nasional dimutakhirkan setiap saat dan
dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.
Untuk
menghindari sanksi tersebut, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wajib
memberikan laporan secara berkala terkait realisasi pengadaan alutsista
TNI. Laporan diberikan kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna
anggaran, dalam hal ini Kementerian Pertahanan.
Jika
ditemukan penyalahgunaan anggaran, maka laporan akan ditembus ke Wakil
Menteri Pertahanan dan Inspektorat Jenderal (Irjen) instansi terkait.
Tembusan ini penting karena posisi Wamenhan sebagai Ketua High Level Committee (HLC) melaksanakan pengendalian dan pengawasan pengadaan Alutsista TNI pada skema pembiayaan dan skema pengadaan.
Laporan
yang diterima tidak serta merta diterima begitu saja. Proses cek dan
ricek terhadap laporan tetap akan dilakukan. Audit akan dilakukan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan
alutsista TNI. Oleh sebab itu pengawasan terhadap panitia pengadaan
alutsista wajib dilakukan. Pengawasan juga disertai dengan audit
terhadap semua pihak. Audit dilakukan sebelum kontrak dilakukan dan
setelah proses pengadaan selesai.
Sumber : Kompasiana
Habibi g salah. .maksut prnyataanx adalah kesalahan dalam memilih tank leopard
ReplyDelete. .seharusx yg dibeli adalah kapal perang dan pesawat tempur. .bukan tank. .pake otak donk dalam menyanggah pendapat orang. .jadi orang harus menelaah dulu. .
Ngerti....Harus kapal perang dan Pesawat Tempur canggih....apalagi Boleh Tank kendaraan Pake anti-Rudal, anti-penyandapan,dll
ReplyDeletememang benar.. namun kelas berat kita nyata nya belum punya.. mungkin kita sedikit intip teknologi leopard ini,.. selanjut nya kita dapat membuat tank ringan dengan segala kecanggihan nya.., enak atau bagus nya ya kita coba pesen dulu atau nyobain rasa nya seperti apa..,kalo enak ya beli..
ReplyDeletemungkin saja pilihan leopard ini untuk area titik pertahanan.. denger2 nya tembakan nya akurat.., kalo buat nguber and nyebur2 kali masih banyak yang laen seperti contoh tank scorpion, dan jenis lain nya yang lebih ringan..
thanks.. he..3x
@agung ekawijaaya
ReplyDeleteKomentar anda betul. Gara2 intip teknologi tank leopard akhirnya prototype tank medium selesai thun 2016. Yang bekerja sama dengan turki. Bahkan tank medium ini lebih canggih lagi karena dilengkapi meriam 120 mm,Dll