Merdeka (MI) : Tentara Papua Nugini membakar kapal nelayan Indonesia. Mereka pun memerintahkan awak kapal nelayan tersebut berenang.
Dari sepuluh nelayan hanya lima yang kembali dan ditemukan oleh Marinir TNI di pos terdepan paling Timur Indonesia. Belum jelas bagaimana nasib lima nelayan lainnya. Diduga, kelima orang tersebut tewas tenggelam karena tak mampu berenang sampai ke daratan.
Ada cerita menarik dari anggota Kopassus yang pernah bertugas menjaga Kedutaan Besar Republik Indonesia di Port Moresby. Suasana di Port Moresby sangat mencekam. Angka kriminalitas sangat tinggi. Masyarakat di sana hobi mabuk-mabukan.
Kisah ini dimuat dalam buku Kopassus untuk Indonesia yang ditulis Iwan Santosa dan EA Natanegara dan diterbitkan R&W.
Sejak tahun 1993 dengan pertimbangan tersebut, pemerintah Indonesia merasa perlu mengirimkan Kopassus untuk menjaga KBRI dan Wisma KBRI.
Dulu sebelum ada Kopassus, tak ada yang berani menegur staf lokal KBRI yang merupakan warga Papua Nugini. Pernah terjadi saat ditegur, seorang staf lokal malah mengajak teman-temannya mengeroyok staf KBRI.
Serka Margono, anggota Kopassus pernah bertugas di sana sekitar tahun 1993-1994. Dia menceritakan ada seorang staf lokal yang kurang ajar. Suatu hari staf itu datang dengan mata merah dan mulut bau alkohol. Dia duduk di bawah tiang bendera KBRI dengan mata nyalang, seolah menantang. Serka Margono pun mencoba menegur.
"Saya tegur sekali, dua kali, dia tidak mau pergi. Saya mengambil air dan saya siram dia. Saya ajak berkelahi, dia tidak berani. Dia kemudian pergi ngeloyor sambil ngomel-ngomel," kata Margono.
Kondisi rawan di Port Moresby memang mengharuskan anggota Kopassus selalu siaga. Pertokoan hanya buka hingga pukul 18.00 WIB. Setelah itu hanya perampok yang berkeliaran di jalan yang sepi.
"Walhasil, perusahaan-perusahaan yang mampu selalu menyewa tenaga petugas keamanan swasta," kata Margono.
Dari sepuluh nelayan hanya lima yang kembali dan ditemukan oleh Marinir TNI di pos terdepan paling Timur Indonesia. Belum jelas bagaimana nasib lima nelayan lainnya. Diduga, kelima orang tersebut tewas tenggelam karena tak mampu berenang sampai ke daratan.
Ada cerita menarik dari anggota Kopassus yang pernah bertugas menjaga Kedutaan Besar Republik Indonesia di Port Moresby. Suasana di Port Moresby sangat mencekam. Angka kriminalitas sangat tinggi. Masyarakat di sana hobi mabuk-mabukan.
Kisah ini dimuat dalam buku Kopassus untuk Indonesia yang ditulis Iwan Santosa dan EA Natanegara dan diterbitkan R&W.
Sejak tahun 1993 dengan pertimbangan tersebut, pemerintah Indonesia merasa perlu mengirimkan Kopassus untuk menjaga KBRI dan Wisma KBRI.
Dulu sebelum ada Kopassus, tak ada yang berani menegur staf lokal KBRI yang merupakan warga Papua Nugini. Pernah terjadi saat ditegur, seorang staf lokal malah mengajak teman-temannya mengeroyok staf KBRI.
Serka Margono, anggota Kopassus pernah bertugas di sana sekitar tahun 1993-1994. Dia menceritakan ada seorang staf lokal yang kurang ajar. Suatu hari staf itu datang dengan mata merah dan mulut bau alkohol. Dia duduk di bawah tiang bendera KBRI dengan mata nyalang, seolah menantang. Serka Margono pun mencoba menegur.
"Saya tegur sekali, dua kali, dia tidak mau pergi. Saya mengambil air dan saya siram dia. Saya ajak berkelahi, dia tidak berani. Dia kemudian pergi ngeloyor sambil ngomel-ngomel," kata Margono.
Kondisi rawan di Port Moresby memang mengharuskan anggota Kopassus selalu siaga. Pertokoan hanya buka hingga pukul 18.00 WIB. Setelah itu hanya perampok yang berkeliaran di jalan yang sepi.
"Walhasil, perusahaan-perusahaan yang mampu selalu menyewa tenaga petugas keamanan swasta," kata Margono.
Sumber : Merdeka
No comments:
Post a Comment