Jakarta (MI) : Hubungan pertahanan dan militer Indonesia dengan Singapura
sedang tidak cerah terkait penamaan tiga korvet terbaru TNI AL, yaitu
KRI Bung Tomo-357, dan KRI John Lie-358, KRI Usman-Harun-359.
Versi Singapura, nama KRI Usman-Harun menyakiti perasaan mereka sehingga selayaknya diganti saja. Keberatan Singapura dilatarbelakangi oleh peristiwa konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962-1966. Saat itu Singapura masih bagian dari Malasysia.
Akibat konfrontasi tersebut, pada 10 Maret 1965 dua anggota Korps Komando atau KKO (kini Marinir) Indonesia, yakni Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said melakukan pengeboman di MacDonald House, Orchard Road, Singapura, yang menewaskan tiga orang dan melukai 33 lainnya.
Keduanya, tertangkap setelah melakukan pengeboman dan gugur setelah dihukum mati oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968. Jenazahnya lalu dikirim ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena mereka dianggap sebagai pahlawan nasional.
Indonesia, dalam hal ini TNI AL, Markas Besar TNI, dan Kementerian Pertahanan, tidak menanggapi "aspirasi" Singapura itu. Bentuk protes Singapura, mereka mencabut undangan delegasi petinggi Kementerian Pertahanan dan TNI untuk turut dalam dialog pertahanan di sela Singapore Air Show 2014.
Terlepas dari perselisihan yang dihembuskan Singapura itu, ketiga korvet baru TNI AL itu sebetulnya menyimpan potensi yang tidak kalah menakutkan lawan di perairan kedaulatan Tanah Air dengan persenjataan sedikit di atas kelas korvet.
Sebelum diakuisisi Indonesia, ketiga kapal perang tipe F2000 Corvette buatan BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, itu adalah pesanan Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam, yang benar-benar dipesan baru sama sekali, yaitu KDB Jerambak-30 (menjadi KRI Bung Tomo-357), KDB Nakhoda Ragam-28 (KRI John Lie-358), dan KDB Bendahara Sakam-29 (KRI Usman-Harun-359).
Galangan kapal di Scouton, Glasgow, ini menempatkan ketiga kapal perang pesanan Brunei Darussalam itu pada kelas corvette offshore patrol alias korvet patroli lepas pantai.
Saat dipesan pada 1995 itu, konflik perairan berawal dari klaim sepihak China atas Laut China Selatan belum mengemuka seperti sekarang walau gejala ke arah sana mulai terlihat.
Brunei Darussalam, bersama Malaysia, Viet Nam, dan Filipina adalah negara-negara ASEAN yang berang atas keserakahan China yang ingin mengangkangi secara sepihak hampir semua wilayah Laut China Selatan, pun memamerkan kekuatan militernya --kemudian-- secara terang-terangan.
Akan tetapi, ketiga kapal itu tidak pernah dioperasikan mereka. Sumber menyatakan, kapal-kapal perang itu "pengembangan" dari kapal perang kelas patroli berpeluncur peluru kendali yang berbasis operasi di perairan littoral belaka.
TNI AL memiliki kelas ini, yaitu kelas patrol ship killer, baik buatan Korea Selatan ataupun buatan dalam negeri. Sebutlah KRI Pandrong-801 atau KRI Todak-631, yang mampu membawa peluru kendali MM-38 Block III Exocet atau peluru kendali Penguin, pun Sea Cat buatan Inggris.
Kontrak kepada BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, dimulai sejak 1995. Rancangan F2000 dimulai dan badan kapal dibangun dimulai, dengan peluncuran berturutan pada Januari 2001, Juni 2001, hingga Juni 2002. Dalam perjalanan kemudian, Brunei Darussalam memutuskan tidak mau menerima ketiga kapal baru pesanannya padahal sudah dibayarkan lunas.
Versi Brunei Darussalam, mereka tidak memiliki personel pengawak untuk kapal perang seukuran panjang 89 meter, lebar 12,8 meter, dan draught 3,6 meter itu. Tiap kapal memerlukan 79 personel termasuk sang komandan kapal.
Juni 2007 sebetulnya bulan yang ditulis dalam kontrak pembelian kapal-kapal perang itu untuk penyerahterimaan kapal kelas KDB Nakhoda Ragam ini dari galangan kapal di Inggris kepada Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam.
Brunei Darussalam akhirnya memutuskan memesan lagi kapal perang baru pengganti di kelas ini, dan meminta jasa galangan kapal German Lürssen untuk mencari pembeli baru. Di sinilah kemudian Indonesia hadir dan tertarik mengakuisisi kapal yang sama sekali baru namun batal diterima pemesannya itu.
Persenjataan
Data tertulis dari galangan kapal pembangun, dinyatakan kapal perang itu memiliki satu meriam Oto Melara 76 mm, dua meriam MSI Defence DS 30B REMSIG 30 mm dan peluncur tripel torpedo BAE Systems 324 mm untuk perang atas air dan bawah air.
Juga16 tabung peluncur peluru kendali permukaan-ke-udara VLS MBDA MICA (BAE Systems), dua set empat tabung peluncur peluru kendali MBDA (Aerospatiale) MM-40 Block II Exocet.
Dua sistem arsenal inilah yang cukup mengganggu pertahanan lawan alias musuh, apakah itu dari udara ataupun permukaan laut. Sistem kesenjataan bawah lautnya juga cukup menggentarkan lawan hingga jarak sejauh 50 kilometer dari titik peluncuran.
Untuk keperluan perang modern masa kini, apalah artinya senjata-senjata cukup canggih tanpa sistem penjejakan dan sensor-sensor yang juga mumpuni?
Oleh BAE System Maritime-Naval Ships, ketiga kapal perang eks pesanan Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam ini dilengkapi pengarah senjata elektro-optik Ultra Electronics/Radamec Series 2500, radar penjejak I/J-band BAE Insyte 1802SW I/J-band, radar navigasi Kelvin Hughes Type 1007, radar Thales Nederland Scout, dan penangkal serangan Thales Sensors Cutlass 242.
Untuk keperluan perang bawah air dari serbuan dan intipan kapal selam, kapal-kapal perang ini dilengkapi radar berbasis sonar di lambung Thales Underwater Systems TMS 4130C1, radar permukaan dan udara E-band dan F-band BAE Systems Insyte AWS-9 3D. Inilah salah satu sebab personel pengawaknya cukup banyak.
Satu sumber menyatakan, kontrak pembelian Indonesia untuk ketiga kapal perang baru eks kelas KDB Nakhoda Ragam itu terbilang sangat murah, hanya 300 juta dolar Amerika Serikat saja.
Itu juga sudah termasuk seluruh sistem kesenjataan, kesenjataan dan sensor elektronika, dan lain sebagainya. Yang tidak terungkap adalah "biaya" pelatihan awak, dan pemeliharaan kemudian sampai masa garansi selesai.
Dengan karakter korvet yang cukup "mini" namun cukup sarat persenjataan, kapal perang berbobot kosong hampir 2.000 ton ini pas untuk keperluan patroli jarak dekat-menengah dan kawal-sergap.
Apalagi kecepatannya cukup mumpuni, yaitu hingga 30 knot perjam berkat dorongan empat mesin diesel MAN B&W/Ruston yang memancarkan tenaga total 30,2 MegaWatt dari dua poros baling-balingnya.
Di atas kertas, sekali pengisian penuh bahan bakar dan logistiknya, jarak tempuhnya pada kecepatan ekonomis 12 knot perjam adalah 5.000 mil laut. Kalau ini benar-benar diterapkan, maka jarak Sabang-Merauke bisa dia layari dalam 18 hari layar.
Dengan perhitungan jarak tempuh peluru kendali MM-38 Block III Exocet menjangkau 180 kilometer, maka jarak 5.000 mil laut alias 9.000 kilometer darat itu memerlukan 50 titik peluncuran peluru kendali secara simultan.
Jika KRI Usman-Harun-359 berada 25 mil laut dari perairan kedaulatan Singapura, maka peluru kendali buatan Prancis berkecepatan suara itu perlu waktu kurang dari 10 detik untuk mengenai sasaran di negara pulau itu sejak diluncurkan dari tabung peluncurnya di kapal.
Versi Singapura, nama KRI Usman-Harun menyakiti perasaan mereka sehingga selayaknya diganti saja. Keberatan Singapura dilatarbelakangi oleh peristiwa konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962-1966. Saat itu Singapura masih bagian dari Malasysia.
Akibat konfrontasi tersebut, pada 10 Maret 1965 dua anggota Korps Komando atau KKO (kini Marinir) Indonesia, yakni Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said melakukan pengeboman di MacDonald House, Orchard Road, Singapura, yang menewaskan tiga orang dan melukai 33 lainnya.
Keduanya, tertangkap setelah melakukan pengeboman dan gugur setelah dihukum mati oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968. Jenazahnya lalu dikirim ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena mereka dianggap sebagai pahlawan nasional.
Indonesia, dalam hal ini TNI AL, Markas Besar TNI, dan Kementerian Pertahanan, tidak menanggapi "aspirasi" Singapura itu. Bentuk protes Singapura, mereka mencabut undangan delegasi petinggi Kementerian Pertahanan dan TNI untuk turut dalam dialog pertahanan di sela Singapore Air Show 2014.
Terlepas dari perselisihan yang dihembuskan Singapura itu, ketiga korvet baru TNI AL itu sebetulnya menyimpan potensi yang tidak kalah menakutkan lawan di perairan kedaulatan Tanah Air dengan persenjataan sedikit di atas kelas korvet.
Sebelum diakuisisi Indonesia, ketiga kapal perang tipe F2000 Corvette buatan BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, itu adalah pesanan Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam, yang benar-benar dipesan baru sama sekali, yaitu KDB Jerambak-30 (menjadi KRI Bung Tomo-357), KDB Nakhoda Ragam-28 (KRI John Lie-358), dan KDB Bendahara Sakam-29 (KRI Usman-Harun-359).
Galangan kapal di Scouton, Glasgow, ini menempatkan ketiga kapal perang pesanan Brunei Darussalam itu pada kelas corvette offshore patrol alias korvet patroli lepas pantai.
Saat dipesan pada 1995 itu, konflik perairan berawal dari klaim sepihak China atas Laut China Selatan belum mengemuka seperti sekarang walau gejala ke arah sana mulai terlihat.
Brunei Darussalam, bersama Malaysia, Viet Nam, dan Filipina adalah negara-negara ASEAN yang berang atas keserakahan China yang ingin mengangkangi secara sepihak hampir semua wilayah Laut China Selatan, pun memamerkan kekuatan militernya --kemudian-- secara terang-terangan.
Akan tetapi, ketiga kapal itu tidak pernah dioperasikan mereka. Sumber menyatakan, kapal-kapal perang itu "pengembangan" dari kapal perang kelas patroli berpeluncur peluru kendali yang berbasis operasi di perairan littoral belaka.
TNI AL memiliki kelas ini, yaitu kelas patrol ship killer, baik buatan Korea Selatan ataupun buatan dalam negeri. Sebutlah KRI Pandrong-801 atau KRI Todak-631, yang mampu membawa peluru kendali MM-38 Block III Exocet atau peluru kendali Penguin, pun Sea Cat buatan Inggris.
Kontrak kepada BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, dimulai sejak 1995. Rancangan F2000 dimulai dan badan kapal dibangun dimulai, dengan peluncuran berturutan pada Januari 2001, Juni 2001, hingga Juni 2002. Dalam perjalanan kemudian, Brunei Darussalam memutuskan tidak mau menerima ketiga kapal baru pesanannya padahal sudah dibayarkan lunas.
Versi Brunei Darussalam, mereka tidak memiliki personel pengawak untuk kapal perang seukuran panjang 89 meter, lebar 12,8 meter, dan draught 3,6 meter itu. Tiap kapal memerlukan 79 personel termasuk sang komandan kapal.
Juni 2007 sebetulnya bulan yang ditulis dalam kontrak pembelian kapal-kapal perang itu untuk penyerahterimaan kapal kelas KDB Nakhoda Ragam ini dari galangan kapal di Inggris kepada Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam.
Brunei Darussalam akhirnya memutuskan memesan lagi kapal perang baru pengganti di kelas ini, dan meminta jasa galangan kapal German Lürssen untuk mencari pembeli baru. Di sinilah kemudian Indonesia hadir dan tertarik mengakuisisi kapal yang sama sekali baru namun batal diterima pemesannya itu.
Persenjataan
Data tertulis dari galangan kapal pembangun, dinyatakan kapal perang itu memiliki satu meriam Oto Melara 76 mm, dua meriam MSI Defence DS 30B REMSIG 30 mm dan peluncur tripel torpedo BAE Systems 324 mm untuk perang atas air dan bawah air.
Juga16 tabung peluncur peluru kendali permukaan-ke-udara VLS MBDA MICA (BAE Systems), dua set empat tabung peluncur peluru kendali MBDA (Aerospatiale) MM-40 Block II Exocet.
Dua sistem arsenal inilah yang cukup mengganggu pertahanan lawan alias musuh, apakah itu dari udara ataupun permukaan laut. Sistem kesenjataan bawah lautnya juga cukup menggentarkan lawan hingga jarak sejauh 50 kilometer dari titik peluncuran.
Untuk keperluan perang modern masa kini, apalah artinya senjata-senjata cukup canggih tanpa sistem penjejakan dan sensor-sensor yang juga mumpuni?
Oleh BAE System Maritime-Naval Ships, ketiga kapal perang eks pesanan Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam ini dilengkapi pengarah senjata elektro-optik Ultra Electronics/Radamec Series 2500, radar penjejak I/J-band BAE Insyte 1802SW I/J-band, radar navigasi Kelvin Hughes Type 1007, radar Thales Nederland Scout, dan penangkal serangan Thales Sensors Cutlass 242.
Untuk keperluan perang bawah air dari serbuan dan intipan kapal selam, kapal-kapal perang ini dilengkapi radar berbasis sonar di lambung Thales Underwater Systems TMS 4130C1, radar permukaan dan udara E-band dan F-band BAE Systems Insyte AWS-9 3D. Inilah salah satu sebab personel pengawaknya cukup banyak.
Satu sumber menyatakan, kontrak pembelian Indonesia untuk ketiga kapal perang baru eks kelas KDB Nakhoda Ragam itu terbilang sangat murah, hanya 300 juta dolar Amerika Serikat saja.
Itu juga sudah termasuk seluruh sistem kesenjataan, kesenjataan dan sensor elektronika, dan lain sebagainya. Yang tidak terungkap adalah "biaya" pelatihan awak, dan pemeliharaan kemudian sampai masa garansi selesai.
Dengan karakter korvet yang cukup "mini" namun cukup sarat persenjataan, kapal perang berbobot kosong hampir 2.000 ton ini pas untuk keperluan patroli jarak dekat-menengah dan kawal-sergap.
Apalagi kecepatannya cukup mumpuni, yaitu hingga 30 knot perjam berkat dorongan empat mesin diesel MAN B&W/Ruston yang memancarkan tenaga total 30,2 MegaWatt dari dua poros baling-balingnya.
Di atas kertas, sekali pengisian penuh bahan bakar dan logistiknya, jarak tempuhnya pada kecepatan ekonomis 12 knot perjam adalah 5.000 mil laut. Kalau ini benar-benar diterapkan, maka jarak Sabang-Merauke bisa dia layari dalam 18 hari layar.
Dengan perhitungan jarak tempuh peluru kendali MM-38 Block III Exocet menjangkau 180 kilometer, maka jarak 5.000 mil laut alias 9.000 kilometer darat itu memerlukan 50 titik peluncuran peluru kendali secara simultan.
Jika KRI Usman-Harun-359 berada 25 mil laut dari perairan kedaulatan Singapura, maka peluru kendali buatan Prancis berkecepatan suara itu perlu waktu kurang dari 10 detik untuk mengenai sasaran di negara pulau itu sejak diluncurkan dari tabung peluncurnya di kapal.
Sumber : ANTARA
No comments:
Post a Comment