JAKARTA (MI) : Jalesveva Jayamahe,
merupakan semboyan tentara nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL),
yang artinya di Lautan Kita Jaya. Selayaknya demikan, negeri kita dijaga
oleh Angkatan Laut yang disegani negara lain, karena sebagian wilayah
kita terdiri dari perairan. Bila saja perairan itu tidak dapat dijaga
secara serius, maka tidak aneh bila laut kita kerap kali dilanggar oleh
negara lain atau nelayan asing. Dalam sepekan terakhir terjadi tiga
peristiwa di laut yang menunjukan bahwa posisi bangsa kita sepertinya
dihina oleh negara-negara tetangga.
Kasus yang paling tragis
adalah pembakaran perahu nelayan Indonesia dan pembuangan ke laut oleh
militer Angkatan Laut Papua Nugini. Seperti diberitakan, pembakaran
speedboat yang ditumpangi 10 nelayan asal Merauke, Papua berawal ketika
perahu motor itu kedapatan memasuki wilayah perairan Papua Niugini oleh
tentara Papua Niugini yang sedang melakukan patroli.
Kasus ini
diketahui setelah 5 dari 10 orang nelayan berhasil berenang sejauh 8
kilometer dan melapor ke Pos Pengamanan Perbatasan TNI AL Kali Torasi.
Selain membakar speed boat, tentara PNG juga merampas uang milik nelayan
senilai 160.000 Kina atau setara dengan Rp 720 juta dan rokok satu
karton. Nama nelayan yang selamat adalah; Yakobus Mahuze, Antonius Basik
Basik, Silvester Basik Basik, Marselinus Maya Gebze, dan Andreas
Mahuze. Sedangkan nama nelayan yang masih dinyatakan hilang adalah
Alexander Tjoa, Ferdinando Tjoa, Roby Rahail, Jhon Kaize, dan
Zulfikar Saleh.
Tindakan tentara Papua Nugini tersebut terlalu
berlebihan, TNI harus melakukan investigasi supaya diketahui secara
lebih dalam apakah ada motif politik atau hanya sekedar masalah
keamanan setempat. Kalau masuk area politik Menlu perlu menyampaikan
protes keras, bahkan perlu mempertimbangkan untuk memanggil pulang
Dubes RI di Port Moresby serta mengusir Dubes PNG atau paling tidak
Atase Pertahanan PNG dari Jakarta. Sebaliknya jika hanya karena masalah
keamanan, maka aparat keamanan Indonesia juga harus bersikap tegas
terhadap setiap pelanggaran pelitas batas dari PNG, baik di laut maupun
di darat.
Kasus lain adalah pengusiran imigan gelap asal timur
tengah ke wilayah teritorial laut Indonesia oleh militer Angkatan Laut
Australia, mereka kemudian terdampar di Pantai Pangandaran dimana
terungkap dua imigran tewas sebelum tiba di Indonesia. Dari hasil
pemeriksaan terhadap para imigran, diperoleh keterangan bahwa setelah
mereka tiba di perairan Australia, para imigran tersebut tertangkap oleh
Patroli Angkatan Laut dan Polisi Australia.
Selanjutnya mereka
ditampung delapan hari hingga akhirnya dilakukan pengusiran oleh pihak
Kepolisian setempat. Dalam pengusiran itu, 36 orang imigran dinaikkan ke
kapal besar milik Kepolisian Australia menuju laut lepas antara
Indonesia dengan Australia.
Selanjutnya para imigran diturunkan
ke laut lepas dengan menggunakan sekoci, saat akan dinaikkan dua orang
imigran melakukan perlawanan dan disiksa hingga tewas. Kedua imigran
tewas itu dibuang ke laut, sementara 34 orang dinaikkan ke dalam sekoci
sampai akhirnya terdampar di Pantai Barat Pangandaran. Menanggapi
pengusiran imigran gelap dari wilayah perairan Australia ke Indonesia,
Wakil Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Ketahanan DPR, Tubagus
Hasanuddin menyatakan bahwa tindakan ini melanggar hak asasi manusia
dan konvensi internasional tentang perlindungan imigran.
Pengusiran
juga dapat menimbulkan ketegangan politik antara kedua negara bila
Australia terus-terusan melakukan provokasi dengan mengembalikan para
imigran ke Indonesia. Padahal Indonesia bukan negara asal imigran gelap
yang ingin menuju Australia. Seharusnya Australia mencari solusi yang
lebih tepat yakni melakukan kordinasi dengan negara-negara yang
dilintasi seperti Indonesia , Singapura, dan Malayasia. Sedangkan
negara asal semisal Irak , Afghanistan dan Pakistan harus dilibatkan.
United Nations High Commissioner for Refugees atau Komisioner Tinggi PBB
untuk Pengungsi juga dimintai pertimbangan.
Sementara itu kasus
lain yang menarik perhatian publik dan mendapat berbagai tanggapan dari
petinggi kedua negara adalah keberatan pemerintah Singapura atas
penamaan tiga korvet terbaru TNI AL, yaitu KRI Bung Tomo-357, KRI John
Lie-358, dan KRI Usman-Harun-359. Versi Singapura, nama KRI Usman-Harun
menyakiti perasaan mereka sehingga selayaknya diganti saja. Keberatan
Singapura dilatarbelakangi oleh peristiwa konfrontasi antara Malaysia
dan Indonesia tahun 1962-1966. Saat itu Singapura masih menjadi bagian
dari Malasysia.
Akibat konfrontasi tersebut, pada 10 Maret 1965
dua anggota Korps Komando atau KKO (kini Marinir) Indonesia, yakni Usman
Haji Mohamed Ali dan Harun Said melakukan pengeboman di MacDonald
House, Orchard Road, Singapura, yang menewaskan tiga orang dan melukai
33 lainnya. Keduanya tertangkap setelah melakukan pengeboman dan gugur
setelah dihukum mati oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968.
Jenazahnya lalu dikirim ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena mereka dianggap sebagai pahlawan nasional. Mereka adalah pahlawan nasional Indonesia, sehingga pemberian nama mereka kepada kapal perang Indonesia adalah bentuk penghormatan bangsa ini kepada pahlawannya. Karena itu pemerintah tidak perlu merespon tuntutan pemerintah Singapura dan keberatan dari keluarga korban peristiwa pengeboman tersebut.
Tiga peristiwa itu menunjukan bahwa martabat
bangsa Indonesia tidak dihargai lagi oleh negara-negara sahabat itu,
baik Papua Nugini, Australia, dan Singapura. Di laut kita sedang
dihina, karena itu pemerintah Indonesia harus menegaskan sikap dan
potensi politik diplomatiknya. Penghinaan itu terjadi karena bangsa ini
belum bersatu, bangsa ini memang sedang punya masalah.
Bangsa
yang satu dengan persatuan membangun satu kekuatan tidak akan dihina.
Jika bangsa lain berani menghina kita, berarti bangsa ini lemah. Oleh
karena itu, bangsa ini tidak boleh mengedepankan luapan emosi, tetapi
justru yang paling penting adalah sikap introspeksi kenapa sampai kita
dihina dan dilecehkan. Semua elemen bangsa saat ini harus membangun
kesatuan agar tidak dihina lagi. Tidak ada pemerintah kuat yang akan
berani dihina, apalagi oleh bangsa kecil seperti PNG.
Sumber : TRIBUNNEWS
Dari Tulisan ini , jelas yg menghina TNI adalah yang membuat Judul di atas. Admin yg membuat judul hanya menulis berdasarkan negative thinking. Kasus 1 : Pembakaran kapal nelayan di Merauke. Ini masih dalam penyelidikan. Kalau nelayan kita memang melanggar batas teritorial PNG, apakah TNI yg disalahkan? 2. Kasus 2 : Dikembalikannya kapal imigran ke wilayah Indonesia. Dari tulisan di atas, tdk ada satupun yg menyalahkan TNI. Malah DPR dan PBB mnyalahkan Australia. Kasus 3 : Penamaan KRI Usman Harun. Bagian mana yg mnghina TNI. Sampai saat ini TNI tdk merubah nama kRI tsb. Tolong bung admin selektif memilih judul. Tulislah yg bisa memberi inspirasi buat org lain. Hargailah TNI kita.
ReplyDeleteKalau menurut sy apa yg di tuliskan admin ada benarnya dan memang kenyataan.kta bngsa indonesia uda sangat dihina,bukan cm TNI tpi seluruh bngsa indnesia tampa kecuali kita uda di remehkan.uda di hina.. Baik singapura.PNG.ausi.. Sudah sepatvnya kita sadar.bahu membahu, mari kt bersatu kembali. Sulawesi. Sumatra.kalimantn.jawa.papua. Bali. Dll.walaupun kt beda suku.ras. Budaya.sampai beda politik ketepikan semua.kita semua bngsa indonesia,
ReplyDelete