Theglobal (MI) : Pertemuan para Menteri Luar Negeri negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-40 di Conakry, Gunea, tetap diselumuti oleh misteri hingga kini. Pembahasan dan hasil keputusan pertemuan OKI terkait konflik Suriah sama sekali tidak diumumkan kepada publik. Anehnya, semua media massa arus utama di Indonesia sama sekali tidak menyiarkan apa yang sesungguhnya terjadi dalam pertemuan para Menteri Luar Negeri OKI tersebut.
Bukan itu saja. Keikutsertaan Indonesia pada pertemuan para Menlu OKI tersebut juga mengundang tanda tanya besar. Kenyataan bahwa pimpinan delegasi Indonesia pada pertemuan tersebut adalah Wakil Menteri Luar Negeri Wardana, dan bukan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, sudah barang tentu mengundang tanda tanya tersendiri.
Dalam siaran pers yang dilansir oleh Kantor Berita Antara pada 11 Desember lalu, secara umum memang menyerukan perdamaian dunia melalui solusi politik damai yang inklusif seraya menegaskan bahwa tragedi kemanusiaan di Suriah yang sudah berlangsung selama dua tahun, harus segera diakhiri.
Menurut Global Future Institute, sikap resmi Pemerintah Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Wardana, belum menunjukkan Political Standing (Pendirian Politik) yang tegas mengingat kenyataan bahwa konflik yang berkepanjangan di Suriah pada hakekatnya merupakan bagian integral dari Skenario Global Amerika dan NATO untuk merebut kedaulatan nasional Suriah dengan berkedok membantu menjatuhkan pemerintahan Presiden Bashar Assad yang diklaim oleh pihak barat sebagai Rejim Otoriter.
Sikap politik luar negeri Indonesia yang sejatinya tetap bertumpu pada Politik Luar Negeri yang Bebas dan Aktif namun tetap menentang kolonialisme dan imperialisme yang mengancam perdamaian dunia, sama sekali tidak terlihat melalui pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Wardana.
Pihak Kementerian Luar Negeri RI nampaknya tidak bersedia mengambil resiko untuk memilih pihak ketika pada perkembangannya, konflik di Suriah berkembang ke arah pertarungan global antara Amerika dan NATO di satu pihak, serta Cina dan Rusia pada pihak lain, yang mengambil sikap mendukung pemerintahan Assad atas dasar pertimbangan bahwa konflik bersenjata antara pemerintahan Assad versus kelompok pemberontak pada hakekatnya merupakan skenario global untuk menganeksasi wilayah kedaulatan Suriah dengan memberi dukungan dana dan bantuan militer kepada kelompok pemberontak yang menamakan dirinya Kelompok Koalisi Nasional Suriah.
Indonesia dalam pertemuan tersebut, hanya memberikan usulan tersamar dengan mengedepankan dialog antaragama dan keyakinan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan toleransi.
Usulan tersebut, meskipun terkesan cukup simpatik dan bijaksana, namun dalam konteks apa yang sedang terjadi di Suriah, bisa dipandang sebagai wujud ketidaktahuan terhadap peta konflik yang sesungguhnya terjadi dan berkembang di Suriah. Atau yang lebih parah lagi, jika sesungguhnya Indonesia pura-pura tidak tahu.
Karena dengan mengedapankan dialog antar agama dan keyakinan, tersirat pihak Kementerian Luar Negeri RI memandang konflik yang terjadi di Suriah semata-mata hanya konflik antara Sunni versus Syiah. Padahal hakekatnya konflik yang terjadi sesungguhnya adalah Proxy War atau perang perpanjangan tangan yang dirancang AS dan NATO dengan menciptakan konflik bersenjata antara pemerintahan Assad versus Kelompok Pemberontak. Karena gagasan sesungguhnya adalah, AS dan NATO sedang berusaha meminjam elemen-elemen oposisi di Surah untuk menjatuhkan Assad dari tampuk kekuasaan.
Semakin Mesranya Arab Saudi dan Israel di Balik Deadlock Pertemuan Para Menlu OKI ke-40
Terlepas ketidakjelasan sikap Indonesia dan Kementerian Luar Negeri RI pada umumnya, apa keputusan yang berhasil dicapai dan menjadi kesepakatan ke-57 negara anggota OKI, sama sekali tidak disiarkan oleh media massa. Menariknya lagi, bahkan tidak ada pernyataan resmi bahwa terkait isu Konflik Suriah, peserta OKI gagal mencapai kesepakatan.
Dengan demikian, konstalasi yang terjadi di pertemuan para Menlu OKI tersebut bisa dibaca sebagai cukup krusial dan pelik. Sehingga tidak tercapai kata sepakat.
Dalam tulisan kami sebelumnya, sudah disingung adanya pertemuan antara para petinggi intelijen Arab Saudi yang berada di bawah pimpinan Pangeran Bandar bin Sultan dan Direktur Badan Intelijen Luar Negeri Israel Mossad Tamir Pardo beserta sejumlah intelijen Israel lainnya.
Memang benar bahwa pertemuan mengejutkan antara petinggi intelijen Arab Saudi dan Israel tersebut dipicu oleh ketidakpuasan terhadap arah dari kesepakatan dalam perundingan soal nuklir di Jenewa, Swiss.
Perundingan soal nuklir Iran itu berakhir dengan kesepakatan Teheran bersedia menghentikan proyek pengayaan uranium. Sebagai balasan, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, China, dan Jerman harus mencabut sanksi. Mereka juga setuju memberi bantuan US$ 7 miliar bagi Iran buat meringankan beban akibat sanksi selama ini.
Hasilnya bisa ditebak. Saudi dan Israel menolak kesepakatan itu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut itu sebagai kesalahan sejarah. "Saudi dan Iran ketakutan dengan kebijakan Amerika terhadap Iran sekarang," kata mantan diplomat Amerika John Graham, seperti dilansir stasiun televisi Russia Today, beberapa waktu yang lalu.
Tapi, benarkah kedekatan Arab Saudi dan Israel yang mengarah pada persekutuan strategis tersebut semata-mata dipicu oleh hasil perundingan nuklir di Jenewa?
Pada tataran ini, konflik berkepanjangan di Suriah yang bermuara pada upaya menjatuhkan Presiden Assad dan menguasai Suriah secara geopolitik, sesungguhnya hanya tahapan awal dari skenario global AS dan NATO untuk melumpuhkan Iran.
Jatuhnya Assad dan direbutnya wilayah kedaulatan Suriah oleh Amerika dan agen-agennya di Suriah, pada perkembangannya akan dijadikan landasan untuk menguasai Iran. Atau setidak-tidaknya melumpuhkan Iran.
Di sinilah kepentingan Arab Saudi dan Israel bertemu. Kedua negara sama-sama mengkhawatirkan menguatnya pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah. Apalagi ketika Iran berhasil menjadi negara berkekuatan nuklir.
Sementara Arab Saudi, menaruh kekhawatiran besar bila pengaruh Iran semakin menguat di Timur Tengah, pada perkembangannya akan memicu aksi destabilisasi di dalam negeri Arab Saudi itu sendiri.
Maka dari itu, masuk akal jika beberapa informasi rahasia yang berhasil diakses oleh kantor berita al Manar maupun radio Israel, Pangeran Bandar bin Sultan telah mengunjungi salah satu markas militer Israel.
Bahkan pada pertemuan di sela-sela Konferensi Kebijakan Dunia di Monaco, Mantan menteri intelijen dan pernah menjabat duta besar Saudi untuk Amerika, Pangeran Turki al-Faisal bersalaman dengan bekas duta besar Israel di Washington Itamar Rabinovich dan anggota Knesset (parlemen Israel) Meir Shitrit. Dalam kesempatan itu Pangeran Turki mendesak israel menerima inisiatif perdamaian dari Saudi. Meskipun dia menolak menerima undangan buat berpidato di depan anggota Knesse (Parlemen Israel).
Berdasarkan serangkaian kejadian tersebut, masuk akal jika sempat berkembang informasi bahwa Arab Saudi pada pertemuan para Menlu OKI tersebut telah mengusulkan agar Kelompok Oposisi Nasional Suriah yang notabene anti Assad diikutsetakan dalam berbagai forum OKI dalam kapasitas mewakili negara.
Bisa dimengerti, jika pertemuan para Menlu OKI ke-40 menemui jalan buntu untuk mencapai kesepakatan terkait isu Suriah di kalangan 57 negara OKI.
Sumber : Theglobal-review
krisis suriah semata mata adalah kepentingan amerika dan sekutu, alangkah naif nya jika indoesia tidak punya sikap tentang konflik di suriah, atau takut pada amerika ??????? benar katakan benar, salah katakan salah itulah martabat
ReplyDelete