Jakarta (MI) : Wamenhan RI Sjafrie Sjamsoeddin dalam The 9th International Symposium
on Sun Tzu’s Art of War, menyampaikan perspektif tentang implementasi
seni perang Sun Tzu di bidang militer, bisnis dan politik, Senin (25/8).
Simposium yang berlangsung di Tsingtao, Provinsi Shandong, Tiongkok
tersebut diikuti para akademisi dan praktisi keamanan nasional dari 24
negara peserta simposium internasional kesembilan tentang seni perang
Sun Tzu.
Simposium yang digelar setiap tahunnya
oleh Akademi Ilmu Militer, Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok dan China
Research Society of Sun Tzu’s Art of War ini diselenggarakan dengan
tujuan untuk menggali nilai-nilai asli dan nilai-nilai implementatif
kekinian dalam rangka membangun dan mengukuhkan kerjasama keamanan untuk
mewujudkan perdamaian dunia.
Dalam simposium tersebut, Wamenhan
menyatakan meskipun nama Sun Tzu belum dikenal oleh para Perwira TNI
pada perang kemerdekaan, namun teori seni perang Sun Tzu telah digunakan
oleh para komandan pasukan gerilya melawan tentara kolonial pendudukan
Belanda pada era awal kemerdekaan. Berdasarkan bukti-bukti sejarah dalam
perang kemerdekaan, diduga bahwa para pemimpin Indonesia telah membaca
tulisan Sun Tzu.
Tulisan Sun Tzu tentang seni perang
menjadi semakin populer setelah berkembangnya teknologi internet.
Terjemahan buku Seni Perang Sun Tzu saat ini menjadi bacaan tidak hanya
para Perwira TNI tetapi juga oleh pelaku bisnis dan para politisi di
Indonesia.
Dalam paparannya tentang “Sun Tzu’s War Strategy: Indonesia’s Perspective”,
Wamenhan menguraikan bahwa di dunia militer Indonesia, dalam
memenangkan hati dan pikiran rakyat di suatu wilayah, TNI melaksanakan
strategi yang disebut pembinaan teritorial. Kegiatan pembinaan
teritorial tersebut, sama sekali tidak menggunakan peralatan perang.
Tercapainya sasaran pembinaan teritorial yaitu penguasaan suatu wilayah
geografi lengkap dengan penduduknya menunjukkan justifikasi terhadap
aplikasi teori Sun Tzu “A Great General Wins Without Battle”.
Di bidang politik, Indonesia menerapkan
strategi ini pada saat menyelesaikan konflik internal dengan kelompok
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Peristiwa Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004
menjadi “Blessing in Disguise”, TNI yang tadinya datang untuk
bertempur, kemudian beralih menolong rakyat. Perlawanan GAM berubah
menjadi kepasrahan, sehingga kedua belah pihak menghentikan pertempuran.
Tanggal 15 Agustus 2005, bertempat di Helsinki, Finlandia, kedua pihak
menandatangani MoU untuk mengakhiri konflik di Aceh. GAM pada akhirnya
menerima otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah Indonesia.
Demikian pula dalam dunia bisnis, karena
tujuan dari bisnis adalah untuk bertahan hidup dan berkembang, maka
pelaku bisnis perlu merebut pasar. Namun, hal tersebut harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga pasar tidak hancur dalam proses merebutnya.
Contohnya adalah bagaimana baju batik tulis dengan kualitas tinggi dan
harga mahal mampu merebut pasar di tanah air sendiri, mengalahkan
baju-baju impor. Demikian pula dengan produk kerajinan tangan dan
kuliner asli Indonesia yang telah tumbuh dengan nama dagang unggulan (branded) tanpa merusak pasar tradisional.
Dalam kesempatan menghadiri simposium intenasional tentang Sun Tzu, Wamenhan menerima penghargaan dari CPAFFC (Chinese People Association for Friendship with Foreign Countries). Penghargaan tersebut adalah bentuk pengakuan lembaga tersebut atas peran aktif Wamenhan dalam mengimplementasikan “strategic partnership” dalam berbagai bentuk kegiatan kerjasama operasional di berbagai bidang pertahanan.
Wamenhan juga menyempatkan diri
melakukan pertemuan dengan Wakil Komite Militer Pusat, Tentara
Pembebasan Rakyat Tiongkok Jenderal Fan Changlong, dalam rangka
memperkokoh kerjasama pertahanan Indonesia-Tiongkok yang telah
berlangsung sejak dicanangkannya “Strategic Partnership” oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao pada tahun 2005 yang lalu.
Dalam sambutannya di depan para petinggi
CPAFFC, Wamenhan mengatakan bahwa pendekatan budaya dan hubungan
interpersonal pada semua tingkatan telah memperkuat kerjasama di bidang
pertahanan yang telah dirintis sejak delapan tahun lalu.
Jenderal Fan Changlong menyatakan bahwa
Indonesia telah berperan besar dalam menciptakan terwujudnya stabilitas
keamanan di kawasan Asia Pasifik. Hal ini sangat menguntungkan
kepentingan nasional negara-negara di kawasan, termasuk kepentingan
negara Tiongkok.
Peran besar Indonesia tersebut tidak
dapat dilepaskan dari peran Wamenhan RI yang tidak pernah berhenti
membangun dan memelihara kontak pribadi dengan pejabat-pejabat
pertahanan di negara-negara Asia Pacifik, temasuk pejabat pertahanan
Tiongkok.
Sumber : DMC Kemhan
No comments:
Post a Comment