Saturday, November 2, 2013

Upaya Indonesia atasi penyadapan

ilustrasi Mata mata

Jakarta (MI) : Informasi rahasia yang dibocorkan mantan konsultan Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward Snowden, bahwa terdapat 90 negara, termasuk Indonesia, yang disadap oleh badan intelijen AS dan Australia sontak memunculkan indikasi bahwa Indonesia adalah sasaran penyadapan. 

Indonesia adalah bangsa yang besar, baik dari luas wilayah maupun jumlah penduduknya. Letak geografisnya amat strategis, Indonesia tumbuh sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan India.

Indonesia juga merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Belum lagi dinamika di Tanah Air tak jarang menjadi perhatian masyarakat dunia, dan banyak kepentingan asing di negeri ini, seperti penanam modal asing atau perwakilan asing.

Kondisi geopolitik dan geostrategis seperti itu tak heran bila menjadikan Indonesia sebagai sasaran penyadapan bagi pihak asing yang memiliki berbagai kepentingan di Indonesia.

Pihak asing selalu ingin tahu lebih dahulu atas berbagai hal yang terjadi di Indonesia termasuk berbagai kecenderungan yang bakal terjadi.

Mantan petinggi Badan Intelijen Stategis (BAIS) TNI, Mayjen (Purn) Glenny Kairupan, menyatakan bahwa Indonesia memang menjadi sasaran penyadapan oleh berbagai kalangan asing karena Indonesia sangat strategis.

Apalagi, ia menilai, saat ini merupakan era perang teknologi. Bangsa yang unggul dalam teknologi, termasuk teknologi penyadapan, bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain.

Perwira tinggi di Direktorat B Urusan Luar Negeri BAIS TNI itu menyatakan, perlu kemampuan untuk melakukan pengamanan dan menangkal penyadapan.

"Kita juga mesti mampu untuk melakukan jamming dan mengganggu komunikasi pihak yang menyadap," katanya.

Ia menceritakan sewaktu era pemerintahan Presiden Soeharto, pengamanan terkait pembicaraan rahasia dan penting seorang kepala negara dilakukan oleh BAIS TNI. Ia tidak tahu apakah kini masih berlaku seperti itu.

Pensiunan perwira tinggi yang seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat di Akademi Militer Nasional Angkatan 1973 itu mengakui bahwa London terkenal dalam dunia sadap-menyadap dalam kaitan intelijen dan diplomatik, sehingga tidak mengherankan muncul peristiwa yang menimpa kepala negara Asia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Mengenai bagaimana mengantisipasinya, ia mengemukakan, pentingnya simpul-simpul pengamanan Presiden meyakinkan bahwa pembicaraan melalui telepon hendaknya dilakukan hanya untuk yang disebutnya "janjian ketemu di suatu tempat".

"Jadi, pembicaraan telepon tidak pada konten atau substansi strategis. Itu paling tidak upaya untuk menghindari substansi pembicaraan strategis disadap," katanya.

Dalam perspektif lain, Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, menilai bahwa penyadapan atas Presiden Yudhoyono di London pada Konperensi Tingkat Tinggi Kelopok 20 Negara (KTT G20) pada 1-2 April 2009 terjadi lewat satelit karena selama ini Indonesia masih menyewa satelit untuk sistem komunikasi kenegaraan.

"Penyadapan terhadap sistem komunikasi kenegaraan kita sangat rawan, karena sistem proteksi intersepsi masih belum maksimal. Misalnya saja, kita masih sewa satelit swasta untuk sistem komunikasi-informasi," ujarnya.

Situasi itu sangat memungkinkan jika komunikasi kenegaraan Indonesia disalahgunakan oleh pihak lain untuk kepentingan tertentu. Menjadi hal sangat penting bagi Indonesia untuk menata kembali keamanan sistem komunikasi-informasi kenegaraannya, termasuk harus memiliki satelit khusus yang dikontrol negara.

Dalam dunia keamanan sangat dimungkinkan sebuah negara menyadap negara lainnya. Namun, hal itu tidak disadari oleh semua pihak khususnya Indonesia. Bahkan, bukan tidak mungkin komunikasi Presiden SBY tidak hanya disadap oleh intelejen Inggris saja.

"Ini warning penting. Saya mengusulkan pemerintah Indonesia segera mengadakan satelit khusus untuk sektor pertahanan-keamanan, dan khususnya sistem komunikasi lembaga-lembaga tinggi negara," katanya.

Dari kasus penyadapan itu tampaknya perlu pembenahan ke dalam, misalnya, prosedur dan ketetapan keamanan Presiden dievaluasi sehingga penyadapan tersebut bisa dihindari.

Selain itu, Lembaga Sandi Negara perannya perlu ditingkatkan dalam menangkal berbagai kegiatan yang patut diduga berupa penyadapan.

Lembaga Sandi Negara mempunyai sejumlah tugas pokok, antara lain menetapkan kebijaksanaan pelaksanaan di bidang persandian negara sesuai dan berdasarkan kebijaksanaan umum pemerintah dan mengatur, mengkoordinasikan dan mengendalikan hubungan persandian dan kegiatan-kegiatan badan-badan persandian, terutama dalam pengamanan dan pemberitaan rahasia negara.

Selain memiliki tugas mengamankan informasi rahasia negara, Lembaga Sandi Negara juga memiliki tugas lain, yaitu memperoleh informasi melalui analisis informasi rahasia pihak asing. Informasi tersebut diperoleh dengan melakukan kegiatan intelijen sinyal.

Kegiatan itu memperoleh informasi asing tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan salah satu fungsi intelijen, yaitu fungsi penyelidikan, sehingga Lembaga Sandi Negara memiliki dua misi utama, yaitu penjaminan keamanan informasi, dan intelijen sinyal. 

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Marciano Norman, menegaskan bahwa saat seorang kepala negara melakukan kunjungan ke suatu negara, maka yang bersangkutan seharusnya mendapatkan jaminan keamanan, tidak hanya dalam melakukan kegiatannya namun juga keamanan informasi.

Informasi penyadapan ini membuat Indonesia berupaya semaksimal mungkin untuk mengevaluasi sistem pengamanan sehingga tidak terjadi kebocoran yang tidak perlu.

Perkembangan teknologi yang sangat cepat dasawarsa ini menuntut kecakapan khusus untuk mengimbangi agar informasi negara tidak mudah bocor.

Hal terpenting memang Indonesia tidak perlu membalas penyadapan dengan aksi penyadapan, walau harus tetap waskita. Sebagai negara bersahabat, maka penyadapan sebenarnya tidak perlu dilakukan karena persahabatan tumbuh berdasarkan sikap saling percaya dan diplomasi yang berjalan baik.





Sumber : ANTARA 

No comments:

Post a Comment