JAKARTA (MI) : Pembelian
alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI perlu lebih dimatangkan.
Pasalnya, TNI kerap kali mendapatkan alusista yang waktu garansi
perawatan dan perbaikan spare part-nya sangat pendek. Hal tersebut
membuat membuat alutsista TNI rawan untuk dikanibal.
Ditemui dalam konpres rapat pimpinan
(Rapim) Perwira Tinggi Rencana Kerja 2015, Panglima TNI Jenderal
Moeldoko menuturkan, saat ini TNI memang kian banyak membeli alutsista
dengan teknologi tinggi.
Namun, ada masalah yang cukup
mengkhawatirkan sehingga perlu pembahasan dalam rapim. "Masalahnya, soal
perjanjian pembelian alutsista," jelasnya.
Dalam berbagai kontrak kerjasama
pembelian alutsista, misalnya di TNI Angkatan Udara (AU) membeli
pesawat. Pembelian pesawat itu dilengkapi dengan pelatihan pengendalian
alutsista atau kelas untuk prajurit, lalu ada juga garansi perawatan dan
perbaikan spare part pesawat.
"Ternyata, waktu garansinya itu hanya
beberapa bulan, kami tentu tidak ingin pesawat yang baru dibeli itu,
beberapa bulan kemudian rusak dan mangkrak," tuturnya.
Kalau spare part alutsista rusak saat
garansi habis, maka untuk mengakalinya dengan meng-kanibal menggunakan
spare part alusista lain yang sejenis. Tentu, sangat tidak baik jika ada
alutsista baru, tapi spare part-nya kanibal di sana-sini.
"Karena itu dalam rapim ini diperlukan adanya anggaran untuk perbaikan dan perawatan alusista," paparnya.
Sementara Kepala Staf Angkatan Laut
(KSAL) Laksamana TNI Marsetio menjelaskan, untuk di TNI AL, misalnya ada
pembelian kapal Sigma buatan Belanda beberapa tahun lalu.
Dalam pembelian itu waktu garansi kapal
dan spare part-nya hanya sepuluh hari hingga tiga bulan. "Ini tentu
masalah yang cukup menghambat," ujarnya.
Untuk penyebab waktu garansi kapal dan
spare part yang sangat pendek itu dipastikan karena minimnya anggaran.
Sehingga, TNI memutuskan untuk membeli kapalnya terlebih dahulu. Untuk
anggaran perawatan, serta perbaikan harapannya bisa menyusul.
"Awalnya, pertimbangannya biar ada kapal dulu. Tapi, ternyata anggaran untuk perawatan kapal itu tidak ada," jelasnya.
Perlu diketahui, pembelian kapal bisa
dengan berbagai fasilitas. Untuk pembelian kapal militer dengan tambahan
waktu garansi perawatan dan pergantian spare part yang panjang, tentu
harganya akan lebih besar dari pada pembelian kapal dengan waktu garansi
yang pendek. "Untuk itu dalam rapim ini, rencana strategis harus
ditentukan," paparnya.
Namun, Pengamat Militer Lembaga Studi
Pertahanan Indonesia Rizal Darma Putra menjelaskan, seharusnya dalam
sebuah perjanjian pembelian alutsista ada transfer teknologi. Masalah
garansi untuk spare part ini harusnya bisa diselesaikan dalam transfer
teknologi ini.
"Kalau ada transfer teknologi, tentunya
tinggal Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memproduksi spare part
untuk alutsista tersebut," ujarnya.
Yang krusial, selama ini dalam pembelian
alutsista masih belum ada transparansi soal transfer teknologi
tersebut. Karena itu, TNI juga perlu untuk lebih membuka diri untuk
berbagai kontrak pembelian tersebut. "Biar semua orang mengetahuinya
sebagai bentuk pertanggungjawaban," jelasnya.
Kejar maling ikan, TNI AL minta dana operasional Rp 6,01 T
TNI Angkatan Laut mengaku salah satu fokus tahun ini adalah mengejar
kapal pencuri ikan yang mengganggu perairan Indonesia. Tapi upaya itu
tidak murah. TNI AL mengaku perlu dana hingga Rp 6,01 triliun.
Menurut Kepala Staf TNI AL Laksamana Marsetio, masalah BBM jadi kendala operasional kapal-kapal TNI AL. Karena kurang BBM, tak semua kapal TNI AL siap tempur.
"Kebutuhan tahun ini seharusnya Rp 5,6 triliun, tapi cuma 28-29 persen saja yang dipenuhi. Jadi contoh kami dapat info ada 20 kapal di Arafura ada tiga kapal di ambon dalam kondisi siap, tapi cuma satu yang bisa kejar," kata Marsetio di Mabes TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (24/12).
"Idealnya 6,01 triliun, baru semua kapal kita bisa gerak," lanjutnya.
Marsetio menjelaskan, selain masalah illegal fishing, TNI AL juga punya kebutuhan latihan dan mengirim pasukan perdamaian.
"Fungsi ketiga adalah diplomasi, misi perdamaian PBB. Ada dua kapal kita yang tugas ke Lebanon yakni KRI Frans Kaisiepo, dan KRI Sultan Iskandar Muda," lanjutnya.
Menurut Kepala Staf TNI AL Laksamana Marsetio, masalah BBM jadi kendala operasional kapal-kapal TNI AL. Karena kurang BBM, tak semua kapal TNI AL siap tempur.
"Kebutuhan tahun ini seharusnya Rp 5,6 triliun, tapi cuma 28-29 persen saja yang dipenuhi. Jadi contoh kami dapat info ada 20 kapal di Arafura ada tiga kapal di ambon dalam kondisi siap, tapi cuma satu yang bisa kejar," kata Marsetio di Mabes TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (24/12).
"Idealnya 6,01 triliun, baru semua kapal kita bisa gerak," lanjutnya.
Marsetio menjelaskan, selain masalah illegal fishing, TNI AL juga punya kebutuhan latihan dan mengirim pasukan perdamaian.
"Fungsi ketiga adalah diplomasi, misi perdamaian PBB. Ada dua kapal kita yang tugas ke Lebanon yakni KRI Frans Kaisiepo, dan KRI Sultan Iskandar Muda," lanjutnya.
lebh baik tni al pergi tidur aja. enak tdur.dasar panglimanya da bnci.
ReplyDelete