Halaman depan rumah kita |
Analisis (MI) : Minggu-minggu ini terjadi perselisihan serius di sebuah zone pertikaian gengsi negara. Gengsi itu pula yang membuat kriteria rasional menjadi berkesan emosional dan tergesa-gesa. Memperebutkan sosok gadis manis memang merupakan perjuangan tersendiri, dengan berbagai upaya untuk mengambil hati. Cuma “gadis manis” yang satu ini diperebutkan berbagai negara dengan saling mendahului mengakui teritori yang bernama Laut Cina Timur (LCT). Cina tiba-tiba mengumumkan bahwa LCT adalah zona pertahanan udara dia.
Cina, kekuatan ekonomi nomor dua terbesar di dunia setelah AS sedang membangun kekuatan militernya seperti postur kekuatan ekonominya. Menuju Cina 2020 dengan ambisi menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia dengan dukungan kekuatan militer berkemampuan ofensif. Jalan ke arah itu sudah di depan mata riak gelombangnya. Dua gelombang panas dia luncurkan sekaligus yaitu menetapkan zone identifikasi pertahanan udara di LCT dan melayarkan kapal induk terbarunya Liaoning ke Laut Cina Selatan bersama iringan destroyer, fregat dan kapal selamnya.
Ambisi emosi ekspansi Cina yang mulai membabi buta itu dengan mengumumkan Adiz (Air Defence Identification Zone) di LCT membuat marah sejumlah negara. Jepang, Korsel, Taiwan, Australia dan AS memberikan reaksi keras pada negeri keras kepala tersebut. Bahkan AS meledeknya dengan mengerahkan 2 bomber kelas berat B52 melintas kawasan itu dengan kawalan kapal induk George Washington dan jet siluman F22 Raptor. Cina tak bereaksi. Kasus ini semakin membuka mata pandang kita bahwa Cina akan semakin berbahaya cara bermain apinya karena terkesan ingin adu otot dan menciptakan banyak musuh.
Indonesia memang tidak punya konflik teritori dengan Naga Panda di pulau Natuna. Namun irisan tumpang tindih teritori di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) utara Natuna tetaplah harus menjadi kewaspadaan Indonesia. Sebab juluran lidah naga yang digambarkan menyapu seluruh LCS dipastikan sampai hembusannya di perairan Natuna sebagaimana peta klaim wilayah yang diumumkan Cina jauh-jauh hari.
Di beberapa tulisan terdahulu kita sudah menggariskan bahwa perairan Natuna dan udaranya harus berada dalam kawalan yang terus menerus, bukan sekedar meluncurkan program gugus tempur laut Tameng Hiu, Tameng Pari atau yang sebangsanya. Demikian juga dengan patroli udara, haruslah berupa kehadiran tetap dan terus menerus, bukan temporer atau situasional. Jelasnya harus tersedia kapal perang berpeluru kendali dan jet tempur yang dimarkaskan di Natuna sebagai penegas dan penguat bahwa Indonesia siap bertarung dengan siapa saja yang mengganggu teritorinya.
Merapatkan barisan dengan anggota ASEAN yang lain merupakan opsi “pengobatan alternatif” untuk mengantisipasi situasi kawasan yang memburuk. Ya kalau ASEAN 10 agak sulit bersenyawa mengapa tidak kembali lagi ke ASEAN 8 atau ASEAN 5 alias negara pendiri ASEAN saja. Mengapa, karena Kamboja dan Laos sudah ada dalam pengaruh “hipnotis”Cina. Jadi jangan berharap banyak dengan dua negeri Indocina itu untuk ikut melawan Cina. Merapatkan barisan dengan sesama ASEAN 8 atau ASEAN 5 bermanfaat untuk kesamaan visi dan misi terhadap kehadiran musuh bersama.
Laut Cina Selatan sedang digoyang dengan kedatangan kapal induk Cina yang baru dan pertama. Kapal induk Liaoning dan kapal pengawalnya termasuk kapal selam minggu-minggu ini menghampiri perairan dan gugusan pulau-pulau kecil di kawasan yang mengandung banyak sumber daya energi fosil itu. Dalam tradisi militer kehadiran armada kapal “tamu” tentu disambut juga dengan pengerahan kapal perang atau kapal selam dari negara di sekitar LCS. Bahkan AS mengirim kapal selam nuklirnya untuk memantau gerakan armada kapal induk Cina itu.
Yang diluncurkan Rudal buatan Cina C802 |
Jawaban Indonesia untuk argumen reaksi kedatangan itu, ya tentu mengirim kapal perang juga ke Natuna. Namun jawaban visioner RI untuk menyongsong tahun 2020 jelas memperlihatkan keseriusan Pemerintah untuk membangun kekuatan militer sekuat tenaga. Perkuatan militer Indonesia untuk 6 tahun ke depan diprediksi akan mendatangkan alutsista strategis berupa 8-10 kapal selam, 3-4 destroyer, 10-12 fregat, 3 skuadron jet tempur Sukhoi Family. Penting untuk diketahui bahwa program perkuatan alutsista bukanlah merupakan beban atau expense bagi negara bangsa. Tetapi harus memandangnya dalam bingkai investasi pertahanan, nation capital. Tidak sulit mendatangkan asset pertahanan strategis itu jika ada kemauan yang kuat bergelora untuk memastikan nilai dan harga pertahanan bangsa.
Ambisi emosi ekspansi Cina harus disikapi dengan cara pandang visioner. Persahabatan tetaplah dijalankan. Tapi postur diri tetap harus dikuattegarkan sehingga ketika dia tiba-tiba melotot kita pun balas melotot juga. Meski sejauh ini kita tidak berkonflik teritori dengan Cina di LCS tetaplah kita siapkan modal pertahanan diri, memperkuat militer dan persenjataannya. Sejauh ini geliat militer Cina merupakan indikator utama untuk mempersiapkan kekuatan pukul setara. Tetapi manfaat lain tentu “berguna” pada lingkungan sekitar misalnya Australia, Malaysia dan Singapura. Negara-negara ini tentu tidak lagi meremehkan kekuatan milter Indonesia bahkan cenderung mulai melancarkan jurus “senyum ramah tamah yang penuh pamrih”. Kalau tak percaya kita lihat saja pada bulan dan tahun-tahun mendatang sapaan diplomatik mereka.
Sumber : Analisis
NKRI hrs sdh memikirkan konsep Pertahanan Nusantara (HANUS) dan Pertahanan di luar Nusantara (HANLURNUS) spt negara AS, karena strategi militer dikawasan Asia tenggara sdh mulai berubah dg kemajuan perekonomian negara2 Asiatenggara dan kekuatan militer wilayah sdh semakin meningkat utk perlengkapan Alutsita. Negara2 sdh menunjukkan akan ego kekuatan militer masing2, bgmn utk NKRI dan sdhkah strategi pertahanan kita dpt menghadapinya?............
ReplyDelete