Rudal anti kapal Yakhont yang dimiliki TNI AL |
Analisis (MI) : Drama jurnalistik berjudul KRI Usman Harun terjadi
sepanjang tiga hari menjelang Paskah 18 April 2014. Kali ini lakon utamanya adalah sebuah saluran televisi
Channel News Asia Singapura yang menghadirkan pria berbintang empat dan
ganteng, orang nomor satu di jajaran militer Indonesia, Jenderal Moeldoko.
Panglima militer RI itu tiba-tiba jadi bintang pemberitaan dan “divonis” lewat
terjemahan bahasa Inggris yang tak sesuai, bahwa Indonesia meminta maaf atas
penamaan KRI Usman Harun kepada Singapura.
Wawancara salah terjemahan yang ditayangkan tanggal 15
April 2014 itu lalu direspons oleh Menhan Singapura Ng Eng Hen dalam hitungan
jam. Dia bilang, Singapura menyambut
baik permintaan maaf Indonesia dan bersedia memulai kembali kerjasama militer
kedua negara. Sambutan positif Singapura
itu adalah keterkecohan April Mop dan menjadi blunder lanjutan. Respon cepat ini menunjukkan sikap
ketergesaan Menhannya pada sebuah pemberitaan media setempat.
Beberapa waktu lalu Menlu Singapura K. Shanmugam telah membuka
front keangkuhan negaranya dan merasa keberatan dengan penamaan sebuah kapal
perang pemukul Indonesia yang baru yaitu KRI Usman Harun. Karena menurut mereka 2 orang KKO Indonesia
itu dianggap teroris di negaranya, melakukan sabotase di Orchard 10 Maret 1965.
Indonesia telah memberikan penghargaan
pahlawan langsung kepada keduanya manakala jenazahnya tiba di Jakarta tanggal
20 Oktober 1968. Dan PM Singapura waktu itu Lee Kuan Yew telah pula
menziarahinya tahun 1973 sebagai bentuk pengakuan kepahlawanan mereka. Artinya persoalan emosi nasional kedua bangsa
selesai.
Pernyataan Menlu Shanmugam itu kita anggap blunder
diplomatik karena tidak memahami persepsi kebangsaan yang dimiliki tiap bangsa
di muka bumi ini. Lebih penting dari itu dia tidak paham dengan jalan cerita sejarah
dalam konteks “waktu itu”. Negeri mungil
yang sejahtera itu berupaya mendikte Indonesia tetapi sekali ini mendapat
perlawanan total football dari seluruh jajaran pemerintahan, parlemen dan
rakyat Indonesia.
Seorang Menlu yang membawahi seluruh diplomatnya dan cermin
wajah kecerdasan diplomatik Singapura mesti memahami persepsi kebangsaan pada
apa yang disebut nilai-nilai kepahlawanan. Tapi ketika kita bicara sejarah
Singapura kita pun baru “paham” karena memang mereka memang tak punya pahlawan patriotik
dan taman makam pahlawan.
Akurasi pemberitaan seorang reporter dalam menulis atau
menyampaikan sesuatu haruslah dicermati lebih dulu sebelum ditayangkan atau
diterbitkan. Banyak reporter kita hanya berlomba mengejar “terbitnya berita”
tanpa kedalaman kecermatan isi berita. Beberapa wartawan kita yang meliput
Kemhan dan TNI ada yang tak paham dengan “istilah militer” ketika dia ikut merekam atau bertanya kepada
figur petinggi Kemhan dan militer RI.
Masih ingat nama pesawat tempur Super Tucano disebut
Super Volcano dan menjadi running text layar kaca. Lalu ditulis pula bahwa
Indonesia telah memiliki kapal selam Scorten padahal maksudnya yang punya kapal
selam Scorpene itu Malaysia. Sudah salah tulis nama kapal selam, nama yang
mempunyai kapal selam salah pula. Benar-benar konyol. Ada juga yang tidak bisa
membedakan jet tempur A4 Skyhawk dengan Hawk.
Pernah juga presenter berita sebuah TV swasta menganggap Sucad itu
adalah senjata Sukhoi, padahal itu istilah singkatan dari kata suku
cadang. Lebih parah lagi kata itu dibaca
“Sukad” dan diulang berkali-kali.
3 KRI "Bung Tomo Class" yang sedang didandani. |
Wawancara Panglima TNI dengan Channel News Asia dilakukan
dengan bahasa Indonesia baru diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Orang Indonesia kan kalau bicara selalu
mengedepankan suasana rendah hati. Jadi
kalimat “mohon maaf” atau “maaf ya” selalu mendahului dari maksud kalimat
utama. Ada juga beberapa makna kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah
selalu memiliki makna tak selaras. Dalam
bahasa Jawa yang sekarang sedang hot dibicarakan “aku rak popo” kalau diartikan
tersurat artinya aku tak apa-apa. Tapi
dalam kultur Jawa kalimat ini merupakan ungkapan kepedihan dan bertentangan
dari maksud yang terucap.
Blunder media dan respon pemerintah Singapura terhadap
wawancara TV itu tidak perlu jua kita tanggapi secara berlebihan. Cukup saja
bilang: “aku rak popo” atau “oh ndak
papa”. Kalimat ini pun kalau dia paham
pasti merupakan kalimat sindiran yang artinya “ makanya jangan merasa hebat, jago
mendikte akhirnya isin dewe”. Kalau diterjemahkan
dalam bahasa Inggris bisa jadi gak karuan.
Itulah kekayaan bahasa Indonesia dan kultur pendukungnya.
Singapura itu sejatinya sedang gelisah pada jati diri dan
eksistensinya yang selalu merasa terancam terutama pada dua jirannya Indonesia
dan Malaysia. Jadi orang yang gelisah
itu pasti sensitif. Kegelisahan dia
boleh jadi karena militer Indonesia mulai menggeliat, ekonomi tumbuh pasti,
kekuatan ekonomi dalam sebutan PDB kita menjulang di 15 besar dunia jauh
mengungguli Singapura dan negara ASEAN lainnya.
Dia lalu membayangkan Indonesia 10 sd 20 tahun ke depan,
militernya jadi macan, ekonominya jadi beruang, rakyatnya makin sejahtera dalam
bingkai nasionalis yang kuat. Tiga
indikator ini yang membuat negeri itu galau meski pun kesejahteraan mereka
masih tetap menjulang tak tertandingi di rantau ASEAN. Kehadiran batalyon Marinir di Batam menambah
was-was itu. Apalagi misalnya kita letakkan MLRS Astross dan Caesar Nexter di
Batam.
Jadi, tetaplah kita berjalan tegak. Isian alutsista terus kita perbanyak. Kalau nanti kafilah 3 kapal perang “Bung Tomo
Class” yang salah satunya bernama KRI Usman Harun tiba di tanah air Juli tahun
ini kita sambut dengan pekik kebangsaan tapi tak usah berteriak berlebihan. Dan
kalau pun tetangga sebelah Batam itu bertanya mengapa kita berteriak kita jawab saja : Aku rak popo.
Sumber : Analisis
http://WeeklyYouthPay.com/?ref=34489
ReplyDelete