Okezone (MI) : Situasi keamanan di tanah Papua ternyata belum menunjukkan tanda-tanda kedamaian dan keharmonisan seiring dengan semakin gencarnya tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok separatis bersenjata. Buktinya, delapan prajurit TNI gugur dan dua warga sipil tewas setelah disergap kelompok sipil bersenjata dalam aksi penyerangan di dua lokasi di Papua, Kamis kemarin. Penyerangan sekelompok separatis bersenjata seolah menjadi bukti nyata bahwa kekerasan kolektif masih menjadi bahaya laten yang harus diwaspadai oleh aparat TNI yang bertugas mengamankan wilayah NKRI dari ancaman peperangan.
Dalam dua kali penyerangan, situasi keamanan di Papua masih membara dan bergolak seiring dengan bertambahnya korban jiwa dari warga sipil bersenjata. Peristiwa penyerangan yang menewaskan banyak korban, sungguh menjadi keprihatinan kita bersama di saat bangsa Indonesia sedang berupaya mereduksi konflik dan kekerasan di berbagai daerah yang terjadi belakangan ini.
Sebagai bagian NKRI, tanah Papua memang sangat rentan diwarnai konflik dan kekerasan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Situasi keamanan di Papua seharusnya bisa diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan early warning system sebagai sikap waspada dalam menghadapi ancaman gerakan separatis Papua. Kecermatan dalam membaca situasi keamanan sangat penting untuk mencegah terjadinya pemberontakan yang mengatasnamakan sekelompok separatis bersenjata dan tindakan yang dilakukan merupakan bagian dari kekerasan kolektif
Kekerasan Kolektif
Kekerasan kolektif di Papua belakangan ini tidak serta merta terjadi begitu saja tanpa ada sebab-sebab yang melatarbelakangi kemunculan berbagai kekerasan yang terus bergolak. Kekerasan kolektif di Papua menjadi isu aktual dan menjadi perhatian dunia Internasional, karena masih menjadi bagian dari NKRI.
Ketika terjadi pergolakan dalam skala besar, sebagian besar warga Papua secara spontan memprotes keras sikap represif pemerintah Indonesia yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata. Bahkan, tidak jarang melakukan tindakan kekerasan secara membabi buta kepada warga yang memberontak atau melawan kebijakan otoriter aparat keamanan Indonesia. Sikap represif aparat keamanan membuat sekelompok separatis bersenjata melakukan perlawanan dan terkadang menyerang secara membabi buta terhadap pihak TNI yang bertugas di tanah Papua.
Sebagai konflik kontemporer, bentuk kekerasan di Papua dapat dipandang sebagai masalah pemisahan wilayah dengan NKRI. Akibatnya, konflik yang terjadi berdampak pada terjadinya pelanggaran berat terhadap kemanusiaan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, bahkan melibatkan organisasi Internasional seperti PBB.
Kasus kekerasan kolektif di Papua adakalanya bisa diidentifikasi melalui ketegangan antara TNI-Polri dan warga sipil bersenjata. Biasanya konflik itu timbul karena suatu negara ingin menyelesaikan masalahnya sendiri yang bertentangan dengan negara lain. Menurut Maria Putri Kusumanegari (2007), ketika suatu negara atau pemegang kendali kebijakan memiliki sikap dan predisposisi, misalnya prasangka dan kecurigaan terhadap negara lain, maka bisa menimbulkan ketegangan yang berujung kekerasan.
Sementara masalah yang berkaitan dengan ketegangan sosial-politik juga sangat mempengaruhi timbulnya kekerasan kolektif yang terjadi simultan dan masif. Ketidakpuasan terhadap masalah integrasi yang belum selesai memungkinkan terjadinya gerakan-gerakan bawah tanah dan perlawanan secara gerilya dari unsur-unsur anti-integrasi yang menyebar luas ke berbagai daerah. Potensi ketegangan ini berpotensi psikologis, yang diwarnai oleh skeptisisme, kekhawatiran, dan sikap antagonis atau pemberontakan lainnya. Permasalahan tersebut bisa menjadi sumber pertikaian yang berdampak pada ketegangan politik yang sangat serius (R. Soeprapto, 2007).
Resolusi Konflik
Gagasan tentang resolusi konflik dan cita-cita perdamaian bukan sebagai tujuan akhir dalam mencermati pola-pola konflik yang terjadi, melainkan sebagai sarana untuk memberikan solusi alternatif dan sumbangan keilmuan demi memberikan kesadaran kepada pihak yang terlibat konflik. Setiap konflik yang muncul tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek, tetapi harus melalui tahapan dan model baru yang lebih progresif bagi masa depan masyarakat Papua sendiri.
Resolusi adalah penyelesaian konflik dengan sukarela, baik melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrasi. Peter Wallenstein (1998), mengartikan resolusi konflik sebagai sebuah kondisi setelah konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik melaksanakan perjanjian untuk melaksanakan penyelesaian persoalan yang mereka perebutkan dan mengentikan segala bentuk kekerasan satu sama lain. Dalam konteks ini, resolusi konflik adalah sesuatu yang datang setelah konflik dan secara otomatis kita harus mempunyai konsep untuk menganalisasi konflik sebelumnya, seperti kekerasan kolektif yang terjadi di Papua.
Resolusi konflik merujuk pada penyelesaian konflik nyata (manifes) dengan perubahan sikap, pandangan, tingkah laku, dan tujuan akhir dari pihak-pihak yang terlibat.Metode penyelesaikan konflik bertujuan untuk memberikan penyelesain yang diterima semua pihak. Ini akan membuat mereka mempunyai kepentingan untuk memberikan penyelesaian konflik yang diterima semua pihak sehingga bisa menekan potensi dan penyebab munculnya konflik itu sendiri (Ashutosh Varshney, 2010).
Dalam konflik yang bersifat internal, seperti di Papua, sesungguhnya dialog antar pihak yang terlibat menjadi sarana yang cukup efektif. Dialog dilakukan untuk meredam dan mereduksi tindakan kekeraan yang berulang-ulang dan menjadi masif dalam kehidupan masyarakat.
Pencegahan merupakan bentuk pendekatan yang harus dipadukan dengan pendekatan lainnya secara simultan agar penyelesaian konflik dapat terlaksana. Ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik, yang dijelaskan Hugh Miall (1999) dalam bukunya “Contemporary Conflict Resolution, yaitu pencegahan konflik untuk memelihara perdamaian (peace keeping), mendorong transisi dan transformasi konflik dengan upaya membangun perdamaian (peace making), dan mendorong rekonsiliasi dengan membangun perdamaian (peace building).
Dalam dua kali penyerangan, situasi keamanan di Papua masih membara dan bergolak seiring dengan bertambahnya korban jiwa dari warga sipil bersenjata. Peristiwa penyerangan yang menewaskan banyak korban, sungguh menjadi keprihatinan kita bersama di saat bangsa Indonesia sedang berupaya mereduksi konflik dan kekerasan di berbagai daerah yang terjadi belakangan ini.
Sebagai bagian NKRI, tanah Papua memang sangat rentan diwarnai konflik dan kekerasan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Situasi keamanan di Papua seharusnya bisa diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan early warning system sebagai sikap waspada dalam menghadapi ancaman gerakan separatis Papua. Kecermatan dalam membaca situasi keamanan sangat penting untuk mencegah terjadinya pemberontakan yang mengatasnamakan sekelompok separatis bersenjata dan tindakan yang dilakukan merupakan bagian dari kekerasan kolektif
Kekerasan Kolektif
Kekerasan kolektif di Papua belakangan ini tidak serta merta terjadi begitu saja tanpa ada sebab-sebab yang melatarbelakangi kemunculan berbagai kekerasan yang terus bergolak. Kekerasan kolektif di Papua menjadi isu aktual dan menjadi perhatian dunia Internasional, karena masih menjadi bagian dari NKRI.
Ketika terjadi pergolakan dalam skala besar, sebagian besar warga Papua secara spontan memprotes keras sikap represif pemerintah Indonesia yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata. Bahkan, tidak jarang melakukan tindakan kekerasan secara membabi buta kepada warga yang memberontak atau melawan kebijakan otoriter aparat keamanan Indonesia. Sikap represif aparat keamanan membuat sekelompok separatis bersenjata melakukan perlawanan dan terkadang menyerang secara membabi buta terhadap pihak TNI yang bertugas di tanah Papua.
Sebagai konflik kontemporer, bentuk kekerasan di Papua dapat dipandang sebagai masalah pemisahan wilayah dengan NKRI. Akibatnya, konflik yang terjadi berdampak pada terjadinya pelanggaran berat terhadap kemanusiaan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, bahkan melibatkan organisasi Internasional seperti PBB.
Kasus kekerasan kolektif di Papua adakalanya bisa diidentifikasi melalui ketegangan antara TNI-Polri dan warga sipil bersenjata. Biasanya konflik itu timbul karena suatu negara ingin menyelesaikan masalahnya sendiri yang bertentangan dengan negara lain. Menurut Maria Putri Kusumanegari (2007), ketika suatu negara atau pemegang kendali kebijakan memiliki sikap dan predisposisi, misalnya prasangka dan kecurigaan terhadap negara lain, maka bisa menimbulkan ketegangan yang berujung kekerasan.
Sementara masalah yang berkaitan dengan ketegangan sosial-politik juga sangat mempengaruhi timbulnya kekerasan kolektif yang terjadi simultan dan masif. Ketidakpuasan terhadap masalah integrasi yang belum selesai memungkinkan terjadinya gerakan-gerakan bawah tanah dan perlawanan secara gerilya dari unsur-unsur anti-integrasi yang menyebar luas ke berbagai daerah. Potensi ketegangan ini berpotensi psikologis, yang diwarnai oleh skeptisisme, kekhawatiran, dan sikap antagonis atau pemberontakan lainnya. Permasalahan tersebut bisa menjadi sumber pertikaian yang berdampak pada ketegangan politik yang sangat serius (R. Soeprapto, 2007).
Resolusi Konflik
Gagasan tentang resolusi konflik dan cita-cita perdamaian bukan sebagai tujuan akhir dalam mencermati pola-pola konflik yang terjadi, melainkan sebagai sarana untuk memberikan solusi alternatif dan sumbangan keilmuan demi memberikan kesadaran kepada pihak yang terlibat konflik. Setiap konflik yang muncul tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek, tetapi harus melalui tahapan dan model baru yang lebih progresif bagi masa depan masyarakat Papua sendiri.
Resolusi adalah penyelesaian konflik dengan sukarela, baik melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrasi. Peter Wallenstein (1998), mengartikan resolusi konflik sebagai sebuah kondisi setelah konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik melaksanakan perjanjian untuk melaksanakan penyelesaian persoalan yang mereka perebutkan dan mengentikan segala bentuk kekerasan satu sama lain. Dalam konteks ini, resolusi konflik adalah sesuatu yang datang setelah konflik dan secara otomatis kita harus mempunyai konsep untuk menganalisasi konflik sebelumnya, seperti kekerasan kolektif yang terjadi di Papua.
Resolusi konflik merujuk pada penyelesaian konflik nyata (manifes) dengan perubahan sikap, pandangan, tingkah laku, dan tujuan akhir dari pihak-pihak yang terlibat.Metode penyelesaikan konflik bertujuan untuk memberikan penyelesain yang diterima semua pihak. Ini akan membuat mereka mempunyai kepentingan untuk memberikan penyelesaian konflik yang diterima semua pihak sehingga bisa menekan potensi dan penyebab munculnya konflik itu sendiri (Ashutosh Varshney, 2010).
Dalam konflik yang bersifat internal, seperti di Papua, sesungguhnya dialog antar pihak yang terlibat menjadi sarana yang cukup efektif. Dialog dilakukan untuk meredam dan mereduksi tindakan kekeraan yang berulang-ulang dan menjadi masif dalam kehidupan masyarakat.
Pencegahan merupakan bentuk pendekatan yang harus dipadukan dengan pendekatan lainnya secara simultan agar penyelesaian konflik dapat terlaksana. Ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik, yang dijelaskan Hugh Miall (1999) dalam bukunya “Contemporary Conflict Resolution, yaitu pencegahan konflik untuk memelihara perdamaian (peace keeping), mendorong transisi dan transformasi konflik dengan upaya membangun perdamaian (peace making), dan mendorong rekonsiliasi dengan membangun perdamaian (peace building).
Pencegahan konflik bisa digunakan dalam kekerasan kolektif untuk menangani keadaan agar tidak semakin memburuk. Termasuk di dalamnya, pencegahan konflik sebelum timbul sama sekali, mencegah konflik menjadi suatu yang mengganggu, merusak, dan membinasakan jika gagal, dan menghentikan hal yang membinasakan itu dengan meredakan konflik (settlement) atau pun penyelesaian konflik (resolution) yang menghilangkan sebab-sebab konflik.
Sementara pengaturan konflik merangkum semua metode-metode menangani konflik, yaitu pertama, pencegahan konflik (conflict prevention), perubahan sosial secara damai, penekanan konflik, (conflict suppression), penghindaran konflik (conflict avoidance), penyekatan konflik (conflict containment), dan pelembagaan acara-acara pengelolaan konflik, dan pengaturan konflik (conflict regulation), dan pengakhiran konflik (conflict ending), terdiri dari peredaran konflik (settlement), dan penyelesaian (resolution) dan transformasi konflik.
Pada akhirnya, prinsip yang perlu dijadikan acuan dalam penyelesaian konflik di Papua sebagai konflik sosial-politik, yaitu langkah penyelesaian harus menghindari tindakan represif. Ini karena, tindakan represif dalam penyelesaian konflik yang ditekan akan meledak keluar menjadi gerakan revolusioner yang sangat keras dan menghambat cita-cita perdamaian serta stabilitas nasional.
Sementara pengaturan konflik merangkum semua metode-metode menangani konflik, yaitu pertama, pencegahan konflik (conflict prevention), perubahan sosial secara damai, penekanan konflik, (conflict suppression), penghindaran konflik (conflict avoidance), penyekatan konflik (conflict containment), dan pelembagaan acara-acara pengelolaan konflik, dan pengaturan konflik (conflict regulation), dan pengakhiran konflik (conflict ending), terdiri dari peredaran konflik (settlement), dan penyelesaian (resolution) dan transformasi konflik.
Pada akhirnya, prinsip yang perlu dijadikan acuan dalam penyelesaian konflik di Papua sebagai konflik sosial-politik, yaitu langkah penyelesaian harus menghindari tindakan represif. Ini karena, tindakan represif dalam penyelesaian konflik yang ditekan akan meledak keluar menjadi gerakan revolusioner yang sangat keras dan menghambat cita-cita perdamaian serta stabilitas nasional.
Sumber : Okezone
No comments:
Post a Comment