JAKARTA (MI) :Pemerintah dinilai tidak mempunyai komitmen yang kuat terhadap penyerapan alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang diproduksi industri pertahanan dalam negeri.
"Idealnya sudah bisa memperkirakan berapa jenis dan berapa banyak alutsista yang akan dibuat sampai 2024 karena mereka sudah punya perencanaan postur sampai 2024," ujar Pengamat Militer Andi Widjajanto di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (28/2).
Namun, kenyataan di lapangan lebih kental dengan politik anggaran tahunan yang membuat tidak terwujudnya efisiensi dalam skala ekonomi produksi. Akibatnya, industri pertahanan dalam negeri sulit untuk menetapkan efekifitas produksi alutsista dalam skala besar.
"Industri pertahanan kesulitan mengembangkan kapasitas produksi optimal jangka menengah dan jangka panjang. Semua industri tentu menginginkan kapasitas produksi memengah dan jangka panjang sehingga investasi akan lebih efisien," katanya.
Dalam postur pertahanan yang ditetapkan pada periode 2007-2024, pemerintah sudah mempunyai pedoman pemesanan senjata ke industri pertahanan.
Sebagai contoh, sistem armada terpadu Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut sampai 2024 membutuhkan 174 kapal dari berbagai jenis. Sedangkan Angkatan Udara membutuhkan 10 skuadron dan Angkatan Darat setidaknya membutuhkan 120 main battle tank.
"Rencana ini sudah ada hanya belum terwujud menjadi kontrak kerja ke industri pertahanan sehingga mereka belum bisa dengan sistematis mengembangkan kapasitas prouduksi," katanya.
Direktur Utama PT Pindad Adik A Sodersono juga mengeluhkan hal yang sama menyangkut ketidakpastian permintaan alutsista dari pemerintah. Misalnya, pemerintah sempat menyatakan minatnya untuk membuat 500 kendaraan lapis baja jenis Anoa yang diproduksi PT Pindad.
"Anoa dulu dibilangnya mau bikin 500. Posisi saya saat itu sudah bisa punya alat pemotong baja (laser cutting) sendiri, punya enginer dan kontraknya lebih murah tapi dikasih 150 juga enggak jelas," ungkapnya.
Kejadian sama berlaku saat Pindad berinisiatif mengembangkan bom untuk pesawat tempur F-16 yakni MK-82. Sudah berjalan 10 tahun sejak diproduksi namun belum ada pembelian dari pemerintah.
"Kalau kita mau serius bangun industri pertahanan kayak Malaysia lah. Dia kalau mau beli senjata M4 dikasih tahu industri pertahanannya mau order 120 ribu pucuk. Nah kalau seperti itu kita bisa hitung biaya produksinya. Kalau dikasih tahu pengembangan industri lebih mudah," ungkapnya.
"Idealnya sudah bisa memperkirakan berapa jenis dan berapa banyak alutsista yang akan dibuat sampai 2024 karena mereka sudah punya perencanaan postur sampai 2024," ujar Pengamat Militer Andi Widjajanto di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (28/2).
Namun, kenyataan di lapangan lebih kental dengan politik anggaran tahunan yang membuat tidak terwujudnya efisiensi dalam skala ekonomi produksi. Akibatnya, industri pertahanan dalam negeri sulit untuk menetapkan efekifitas produksi alutsista dalam skala besar.
"Industri pertahanan kesulitan mengembangkan kapasitas produksi optimal jangka menengah dan jangka panjang. Semua industri tentu menginginkan kapasitas produksi memengah dan jangka panjang sehingga investasi akan lebih efisien," katanya.
Dalam postur pertahanan yang ditetapkan pada periode 2007-2024, pemerintah sudah mempunyai pedoman pemesanan senjata ke industri pertahanan.
Sebagai contoh, sistem armada terpadu Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut sampai 2024 membutuhkan 174 kapal dari berbagai jenis. Sedangkan Angkatan Udara membutuhkan 10 skuadron dan Angkatan Darat setidaknya membutuhkan 120 main battle tank.
"Rencana ini sudah ada hanya belum terwujud menjadi kontrak kerja ke industri pertahanan sehingga mereka belum bisa dengan sistematis mengembangkan kapasitas prouduksi," katanya.
Direktur Utama PT Pindad Adik A Sodersono juga mengeluhkan hal yang sama menyangkut ketidakpastian permintaan alutsista dari pemerintah. Misalnya, pemerintah sempat menyatakan minatnya untuk membuat 500 kendaraan lapis baja jenis Anoa yang diproduksi PT Pindad.
"Anoa dulu dibilangnya mau bikin 500. Posisi saya saat itu sudah bisa punya alat pemotong baja (laser cutting) sendiri, punya enginer dan kontraknya lebih murah tapi dikasih 150 juga enggak jelas," ungkapnya.
Kejadian sama berlaku saat Pindad berinisiatif mengembangkan bom untuk pesawat tempur F-16 yakni MK-82. Sudah berjalan 10 tahun sejak diproduksi namun belum ada pembelian dari pemerintah.
"Kalau kita mau serius bangun industri pertahanan kayak Malaysia lah. Dia kalau mau beli senjata M4 dikasih tahu industri pertahanannya mau order 120 ribu pucuk. Nah kalau seperti itu kita bisa hitung biaya produksinya. Kalau dikasih tahu pengembangan industri lebih mudah," ungkapnya.
Sumber : Metrotvnews
No comments:
Post a Comment