Tower telekomunikasi di Desa Tiong Ohang, Long Apari, sejak tahun 2012 hingga sekarang tidak berfungsi
MAHAKAM ULU (MI) : Derita masyarakat di kawasan perbatasan Kecamatan Long Apari tidak
pernah usai. Sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, masyarakat yang
berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, itu masih tetap berjuang.
Puluhan tahun mereka hidup dengan kondisi daerah yang gelap gulita. Meski sebagian warga sudah memiliki genset untuk alat penerangan, alat tersebut tetap tidak bisa dihidupkan semalaman lantaran harga bensin mencapai Rp 30.000 per liter.
"Tidak ada PLN masuk sampai sini karena kami jauh dan banyak bukit. Kami punya genset, tapi tidak semua. Kalau genset saya, hanya hidup enam jam tiap malam karena bensinnya tekor," kata Kepala Adat Besar Kecamatan Long Apari, Yahones Ibo.
Menurut dia, masalah PLN tidak masuk ke daerah tersebut masih wajar. Namun, masalah komunikasi dan tidak adanya akses jalan menuju ke Long Apari yang memberatkan. "Kalau PLN masih tidak apa-apa, tapi masalah komunikasi. Kami dijanji-janji pemerintah akan dibuatkan jaringan telekomunikasi. Tapi, sampai sekarang tidak ada kabarnya," ungkap dia.
Kekesalan itulah yang membuat warga Long Apari berpikir pindah ke Malaysia. Selain tidak diperhatikan, Kecamatan Long Apari juga "dianaktirikan". "Ya mungkin seperti anak tiri, kami sudah sabar," ujar dia.
Yohanes menjelaskan, pada zaman dahulu, nenek moyang suku Dayak Bahau memperjuangkan dan menjaga tanah NKRI. Kali ini pun, masyarakat di Kecamatan Long Apari tetap setia menjaga kehormatan negara.
"Nenek moyang kami yang mempertahankan tanah ini karena kata mereka kehormatan bangsa adalah dengan berperang menjaga tanah ini. Maka, sah-sah saja kalau sekarang masyarakat marah karena dianaktirikan," sebut dia.
Selama ini, kata dia, pemerintah tidak melihat pengorbanan mereka. Bahkan, hingga saat ini Gubernur Kaltim Awang Faroek tidak pernah menginjakkan kaki di Kecamatan Long Apari. "Gubernur tidak pernah datang kemari. Gubernur tidak tahu biaya kami sekali turun ke kota, menghabiskan uang Rp 5 juta sekali jalan," kata dia.
Puluhan tahun mereka hidup dengan kondisi daerah yang gelap gulita. Meski sebagian warga sudah memiliki genset untuk alat penerangan, alat tersebut tetap tidak bisa dihidupkan semalaman lantaran harga bensin mencapai Rp 30.000 per liter.
"Tidak ada PLN masuk sampai sini karena kami jauh dan banyak bukit. Kami punya genset, tapi tidak semua. Kalau genset saya, hanya hidup enam jam tiap malam karena bensinnya tekor," kata Kepala Adat Besar Kecamatan Long Apari, Yahones Ibo.
Menurut dia, masalah PLN tidak masuk ke daerah tersebut masih wajar. Namun, masalah komunikasi dan tidak adanya akses jalan menuju ke Long Apari yang memberatkan. "Kalau PLN masih tidak apa-apa, tapi masalah komunikasi. Kami dijanji-janji pemerintah akan dibuatkan jaringan telekomunikasi. Tapi, sampai sekarang tidak ada kabarnya," ungkap dia.
Kekesalan itulah yang membuat warga Long Apari berpikir pindah ke Malaysia. Selain tidak diperhatikan, Kecamatan Long Apari juga "dianaktirikan". "Ya mungkin seperti anak tiri, kami sudah sabar," ujar dia.
Yohanes menjelaskan, pada zaman dahulu, nenek moyang suku Dayak Bahau memperjuangkan dan menjaga tanah NKRI. Kali ini pun, masyarakat di Kecamatan Long Apari tetap setia menjaga kehormatan negara.
"Nenek moyang kami yang mempertahankan tanah ini karena kata mereka kehormatan bangsa adalah dengan berperang menjaga tanah ini. Maka, sah-sah saja kalau sekarang masyarakat marah karena dianaktirikan," sebut dia.
Selama ini, kata dia, pemerintah tidak melihat pengorbanan mereka. Bahkan, hingga saat ini Gubernur Kaltim Awang Faroek tidak pernah menginjakkan kaki di Kecamatan Long Apari. "Gubernur tidak pernah datang kemari. Gubernur tidak tahu biaya kami sekali turun ke kota, menghabiskan uang Rp 5 juta sekali jalan," kata dia.
"Janji Manis" Malaysia Goda Warga Long Apari untuk Pindah Negara
Pemerintah Malaysia
menawarkan kehidupan layak untuk warga Indonesia di perbatasan jika
ingin pindah kewarganegaraan. Bahkan, Malaysia siap membuka akses jalan
darat dan memasang kabel komunikasi di daerah Kecamatan long Apari,
Kalimantan Timur (Kaltim), jika 10 desa di sana memasang bendera
Malaysia.
"Malaysia sudah siap memberi kami fasilitas. Jangankan lampu, atau alat komunikasi, mereka juga akan membuka akses jalan darat," kata Lasarus, salah satu warga Nahabuan, Kecamatan Long Apari, Perbatasan Malaysia-Indonesia.
Lasarus mengatakan, wacana pindah negara sudah sejak lama tercetus. Namun, masyarakat di Long Apari masih menjunjung tinggi nilai kehormatan NKRI. Selain karena tanah mereka perjuangan dari nenek moyang, mereka juga sayang dengan Indonesia.
"Kami ini masih cinta Indonesia meski begini nasib kami. Tawaran dari Malaysia terus datang. Kadang ada saja warga yang tergiur dan meminta pindah. Tapi, selalu ditahan-tahan oleh petinggi dan kepala adat," ungkap dia.
Segala tawaran itu telah sampai ke telinga masyarakat dari keluarga mereka yang ada di Malaysia. Mereka akan diberi sebidang tanah berukuran dua hektar dan rumah yang siap huni di daerah Baasap, Malaysia.
"Beberapa tahun lalu, kami ada masalah antar-kampung. Karena tidak bisa selesai, kami memilih pindah. Dari Malaysia, keluarga sudah bersiap. Mereka mengatakan pada Pemerintah Malaysia tentang rencana pindah kami. Hasilnya, kami sudah disipakan tanah dua hektar per KK dan sebuah rumah," kata Lasarus.
Meski demikian, warga masih mencoba sabar dengan Pemerintah Indonesia. Kemarahan ingin pindah negara dimulai saat masalah pembangunan tower telekomunikasi yang sia-sia. Berulang kali pihak petinggi mendatangi Pemerintah Kaltim agar segera dipasang jaringan telekomunikasi, tetapi alasan selalu saja datang silih berganti.
"Kami sudah tidak percaya janji-janji lagi. Ibarat sepasang kekasih, kalau sudah berulang kali dikhianati, ya pasti cinta akan memudar, sama dengan kami," kata dia.
"Malaysia sudah siap memberi kami fasilitas. Jangankan lampu, atau alat komunikasi, mereka juga akan membuka akses jalan darat," kata Lasarus, salah satu warga Nahabuan, Kecamatan Long Apari, Perbatasan Malaysia-Indonesia.
Lasarus mengatakan, wacana pindah negara sudah sejak lama tercetus. Namun, masyarakat di Long Apari masih menjunjung tinggi nilai kehormatan NKRI. Selain karena tanah mereka perjuangan dari nenek moyang, mereka juga sayang dengan Indonesia.
"Kami ini masih cinta Indonesia meski begini nasib kami. Tawaran dari Malaysia terus datang. Kadang ada saja warga yang tergiur dan meminta pindah. Tapi, selalu ditahan-tahan oleh petinggi dan kepala adat," ungkap dia.
Segala tawaran itu telah sampai ke telinga masyarakat dari keluarga mereka yang ada di Malaysia. Mereka akan diberi sebidang tanah berukuran dua hektar dan rumah yang siap huni di daerah Baasap, Malaysia.
"Beberapa tahun lalu, kami ada masalah antar-kampung. Karena tidak bisa selesai, kami memilih pindah. Dari Malaysia, keluarga sudah bersiap. Mereka mengatakan pada Pemerintah Malaysia tentang rencana pindah kami. Hasilnya, kami sudah disipakan tanah dua hektar per KK dan sebuah rumah," kata Lasarus.
Meski demikian, warga masih mencoba sabar dengan Pemerintah Indonesia. Kemarahan ingin pindah negara dimulai saat masalah pembangunan tower telekomunikasi yang sia-sia. Berulang kali pihak petinggi mendatangi Pemerintah Kaltim agar segera dipasang jaringan telekomunikasi, tetapi alasan selalu saja datang silih berganti.
"Kami sudah tidak percaya janji-janji lagi. Ibarat sepasang kekasih, kalau sudah berulang kali dikhianati, ya pasti cinta akan memudar, sama dengan kami," kata dia.
Sumber : KOMPAS
ADMIN yang saya hormati postinglah berita ini ke berbagai media agar pejabat2 kita di pusat n daerah bisa malu dan tersentuh serta masyarakat indonesia tau bahwa ada saudara kita membutuhkan uluran tangan... dan pak jokowi bisa lgsg memperhatikan saudara kita yang di pedalaman....
ReplyDeletejangan mau di bodohin ma malaysia. daerah pedalaman sabah sarawak aja masih susah. angkutan umum di sarawak mash mengunakan perahu, kalau mau pindah kenegaraan y pindah aja.kamu akan rasakan jadi warga malaysia yg terkekang,yg mau pindah y pindah aja.tingalkan tanah2 disitu.. kamu jadi warga malaysia mati kao dapat tanah.
ReplyDelete