Jakarta (MI) : Konflik antara Rusia dan Ukraina telah memancing banyak negara di kawasan Eropa untuk ikut campur urusan dalam negeri suatu negara. Prinsip-prinsip kedaulatan banyak dilanggar. Rusia minta dukungan Indonesia lewat DPR untuk ikut menyuarakan perdamaian dan saling menghormati kedaulatan.
Demikian mengemuka dalam pertemuan Wakil Ketua DPR M. Sohibul Iman dengan Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin, Kamis (5/6) di DPR. Galuzin mengemukakan, negara-negara Barat yang dipimpin Amerika telah mendukung kudeta konstitusional yang terjadi di Ukraina. Ini jadi preseden buruk bagi hubugan politik antarnegara di dunia. Kudeta ini telah memunculkan ketegangan hubungan dengan Rusia, terutama di daerah-daerah perbatasan.
“Campur tangan negara Barat dalam urusan dalam negeri suatu negara
merupakan pelanggaran yang sangat kasar atas kedaulatan negara,” tandas
Galuzin.
Menanggapi pernyataan Galuzin tersebut, Sohibul Iman menyatakan, sangat
menghargai upaya Rusia dalam menjaga kedaulatan negara-negara merdeka.
“Indonesia punya pandangan yang sama dengan Rusia soal kemerdekaan suatu
bangsa seperti yang tertuang dalam konstitusi bahwa kemerdekaan adalah
hak semua bangsa.
Ditegaskan
Sohibul, Indonesia termasuk negara yang tidak menginginkan adanya
hegemoni negara-negara besar atas negara lain. Untuk itu, negara-negara
maju perlu menghormati prinsip kedaulatan yang sangat fundamental ini.
Kasus penggulingan pemimpin suatu negara sering terjadi dan Amerika
biasanya berperan aktif dalam mendukung penggulingan tersebut. Contoh
konkrit adalah kasus Irak, Mesir, Libya, dan lain-lain, dimana Amerika
ikut mendukung penggulingan.
Dikatakan Sohibul, kudeta memang selalu membawa dampak yang panjang.
Hak-hak dasar rakyat sering tersandera di masa kudeta berlangsung. Di
hadapan Sohibul, Galuzin juga mengungkapkan, banyak rakyat Ukraina yang
tinggal di perbatasan dengan Rusia mengalami penindasan dari pemerintah
transisi di Ukraina. Banyak rakyat Ukraina di perbatasan yang berbahasa
Rusia. Oleh pemerintahan transisi Ukraina dipaksa menghilangkan bahasa
Rusia dan harus berbahasa Ukraina.
Bahkan, menurut Galuzin, 50% penduduk Ukraina berbahasa Rusia dan
memiliki ras Rusia. Kini, pemerintah Ukraina sedang memerangi
penduduknya sendiri di wilayah timur dan selatan Ukraina. Di Kremia,
penduduknya menuntut referendum untuk memisahkan diri dari Ukraina dan
bergabung dengan Rusia.
Menurut Sohibul, menghapus bahasa ibu yang sudah turun temurun
merupakan palanggaran HAM. Pihaknya mengaku akan mempelajari lebih dalam
dokumen yang diberikan Dubes Rusia menyangkut perkembangan mutakhir
konflik Rusia dan Ukraina. Bahkan, ia siap hadir dalam pertemuan Economic Summit di Rusia pada 26 Juni mendatang sesuai undangan yang disampaikan Dubes Rusia.
Sumber : DPR RI
No comments:
Post a Comment