Tuesday, January 21, 2014

Papua Harus Terbebas Dari Gerakan Separatisme, Menuju Papua Sejahtera


Theglobal-review (MI) : Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kerangka utama yang mendasari pembentukan bangsa dan negara Republik Indonesia. Negara kesatuan tersebut terbentuk dari keberagaman budaya dan bahasa yang tersebar dari sabang sampai marauke. Maka sudah selayaknya setiap unsur masyarakat Indonesia berkumpul dan bersatu demi mempertahankan NKRI. 

Berbagai upaya kelompok atau golongan masyarakat dalam bentuk gerakan separatisme dengan tujuan untuk memisahkan diri dari NKRI merupakan masalah bangsa yang harus terselesaikan. Untuk itu, penyelesaian kasus separatisme di Papua (Papua dan Papua Barat) secara simultan dan intensif terus dilakukan dengan menitikberatkan pada upaya peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban. Selain itu, upaya lain dilakukan dengan pelaksanaan otonomi khusus yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Seperti yang dikemukakan oleh Marthin Luther King Jr bahwa kedamaian tidak ditunjukkan dari ketiadaan konflik, melainkan hadirnya keadilan. Karena itu hukum harus ditegakkan di Papua.
 
Berdasarkan sejarah, tanggal 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengembalikan Irian Barat ke pemerintah Republik Indonesia. Akan tetapi dengan syarat bahwa rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan sendiri apakah bergabung dengan NKRI atau membentuk negara sendiri sebelum akhir tahun 1969. Sesuai dengan syarat tersebut, Pemerintah Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Hasil Pepera menunjukkan keinginan mutlak rakyat Irian Barat untuk bergabung dengan NKRI. Keabsahan Pepera juga diakui dunia dengan keluarnya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969. Dalam sidang itu, 82 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang menyatakan tidak setuju atas keabsahan Pepera Papua.
 
Seiring dengan keberadaan Papua pada pangkuan ibu pertiwi ( NKRI ), muncul pula gerakan yang menamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari NKRI. Tindakan tersebut dilakukan dengan teror-teror bersenjata terhadap pemerintah, TNI/Polri maupun masyarakat sipil. 
 
Hal ini tentu mengganggu kemanan dan ketertiban serta proses pembangunan di Papua, sehingga keberadaanya tidak diterima masyarakat. Aparat pemerintah, dalam hal ini Polri, dibantu TNI giat melaksanakan patroli dan pengamanan di daerah-daerah dimana OPM beraksi dan tidak segan-segan menumpas yang bersenjata (insurgensi). Karena semakin terdesak, kelompok separatis ini memindahkan basis ke hutan dan gunung, terutama di daerah Puncak Jaya.
 
Tanggal 6 Januari 2014, di Jakarta, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengatakan, sepanjang tahun 2013 penembakan oleh kelompok sipil bersenjata di Papua meningkat hingga menewaskan 19 orang dan menyatakan bahwa Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu menghentikannya. Kelompok bersenjata ini menyerang pos polisi di Kulirik, Puncak Jaya, Papua. Dua Brimob yang bertugas di pos melarikan diri saat diserang. Sehingga delapan pucuk senjata api milik Brimob direbut kelompok tersebut.  IPW mencatat sejak 2009 hingga awal 2014 terjadi aksi kekerasan bersenjata di Papua, menewaskan 41 orang, baik sipil maupun aparat keamanan. Sedangkan pada 2011 hingga 2012, sebanyak 26 sipil dan 14 aparat tewas. Negara tidak dapat membasmi kelompok sipil bersenjata di Papua ini mengindikasikan adanya pembiaran terhadap aksi kekerasan di wilayah Papua. Bahkan aksi penembakan yang menewaskan delapan anggota TNI di Pos TNI Puncak Jaya pada 21 Februari 2013 tidak juga kunjung terungkap dan tertangkap pelakunya hingga saat ini. Pemerintah terkesan membiarkannya, padahal peristiwa itu merendahkan martabat bangsa. Pasalnya aparat keamanan di Papua dinilai tidak berdaya.
 
Berdasarkan latar belakang sejarah bahwa Papua sudah merdeka dalam bingkai NKRI. Konsep NKRI pun dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berpulau-pulau dengan keanekaragaman suku dan budaya yang mewajibkan tiap orang saling menghormati. Jadi ras apapun, apakah itu Melayu, Jawa, Aceh, Maluku, Papua dan yang lainnya adalah satu kesatuan bangsa Indonesia. 
 
Seharusnya, melalui pembangunan yang semakin intens dilakukan oleh pemerintah justru menyadarkan anggota-anggota kelompok separatis bahwa apa yang mereka perjuangkan selama ini tidak tepat dan malah menyebabkan Papua semakin terpuruk. Tindakan mereka selama ini justru menyebabkan terhambatnya pembangunan di Papua. Untuk itu, sebagai masyarakat yang berpendidikan sebaiknya tidak mudah terjebak oleh sikap dan tindak gerakan separatis OPM yang ingin memisahkan diri dari NKRI serta jeli dan waspada terhadap segala manuver ikut campurnya asing melalui aksi-aksi propaganda yang dahsyat. 
 
Salah satu bentuk manuver yang mendukung kepentingan asing agar Papua lepas dari Indonesia adalah kegiatan jumpa pers yang dilaksanakan  di Sekretariat Kontras, Jakarta yang dihadiri Wenas Kobagau, Samuel Nawipa, Oktavianus Pogau, Sonny Wanimbo, Yulan Karima dan Marthen Goo. Mereka mengeluarkan pernyataan sikap, rakyat Papua Barat mendukung sikap delegasi Vanuatu yang tidak ikut dalam rombongan ke Jakarta dan Papua, juga memberikan apresiasi atas komitmen Vanuatu yang terus mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi rakpat Papua Barat, sesama rumpun Melanesia.
 
Pernyataan mereka selanjutnya, rakyat Papua Barat memohon kepada para Menlu MSG untuk menolak dengan tegas joint statement yang ditawarkan pemerintah Indonesia, sebab dalam joint statement terkesan membatasi hak rakyat Papua Barat yang diwakili WPNCL untuk menjadi anggota MSG.
 
Menurut penulis, dibandingkan dengan Vanuatu, memang PNG adalah negara yang sangat bersahabat dengan Indonesia dalam masalah Papua, karena PNG negara yang tahu diri dan tidak melupakan jasa bantuan Indonesia, sebab Indonesia pernah membantu PNG sebesar 600 ribu US $ untuk membangun sekolah militer di PNG, dimana sumbangan tersebut diberikan setelah KTT MSG 12 November 2013. 
 
Penulis juga pernah mencatat Indonesia juga pernah membantu Vanuatu ketika negara kecil di Pasifik Selatan ini mengalami kekurangan pangan, dimana bantuan Indonesia dengan memberikan atau mencukupi pangan rakyat Vanuatu saat itu serta mendidik petani Vanuatu serta memberikan bantuan sarana dan prasarana pertanian ke Vanuatu. Tapi, kalau sekarang Vanuatu tidak seia sekata dengan Indonesia dalam masalah Papua bahkan cenderung mendiskreditkan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia harus mencatat “Vanuatu bukan tetangga yang baik, karena sikapnya yang membalas kebaikan Indonesia dengan menyerang Indonesia atau bagaikan air susu dibalas dengan air tuba”. Rakyat Papua juga perlu bertanya, apakah Vanuatu dapat dipercaya ? Kemudian juga layak bertanya bagaimana makna strategis kasus Papua dan apa keuntungannya bagi negara-negara lain seperti Commenwealth, Australia, USA dan Perancis termasuk Vanuatu jika Papua “lepas” dari Indonesia? Menjadi aktivis zaman sekarang harus cerdas dan menguasai geopolitik global, bukan sekedar “berteriak-teriak” yang tidak jelas !
 
Untuk itu diperlukan aksi kongkrit yang komprehensif dan melibatkan seluruh komponen terkait, guna menjadikan Papua terbebas dari gerakan sparatis, perlu dilakukan upaya-upaya penyelesaian tersebut dengan menggunakan cara Papua yaitu mengoptimalkan kearifan lokal, artinya mari kita semua menyelesaikan masalah Papua dengan cara Papua dalam rangka menegaskan kembali nahwa Papua memang bagian dari NKRI yang tidak terpisahkan, karena sesungguhnya kita semua tidak ingin melihat saudara kita di Papua menderita, namun kita lebih tidak ingin berpisah dari saudara kita…karena itu akan menciderai rasa persatuan dan rasa senasib kita, karena sesungguhnya kita dapat menyelesaikan masalah ini dengan baik asal kita mau, kita bijak, dan kita cerdas.
 
Mari kita selesaikan masalah bangsa kita dengan cara bangsa dan oleh bangsa kita sendiri, mari kita selesaikan masalah Papua dengan cara Papua dengan satu tujuan Papua sejahterah Dalam Pangkuan NKRI.
Sumber : Theglobal-review

No comments:

Post a Comment