Wednesday, October 10, 2012

Analisis:Mungkinkan Upacara HUT TNI Diselenggarakan di Daerah-daerah Perbatasan?


Pada hari Jumat, 5 Oktober 2012 ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) tepat berusia 67 tahun. TNI, yang berakar dari rakyat, resmi menjadi sebuah institusi negara pada tanggal 5 Oktober 1945, dan semula bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Dalam sejarahnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pernah digabungkan dengan TNI. Gabungan ketiga matra TNI dengan kekuatan Polri ini disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun memasuki Orde Reformasi, tepatnya dengan berlakunya Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000, institusi Polri dipisahkan dari TNI.
Selama perjalanannya, TNI/ABRI mengalami pasang surut yang dinamis dan menarik, baik dalam penugasan di dalam negeri, maupun penugasan secara internasional. Banyak pujian dan prestasi, sekaligus ada pula hujatan dan cercaan.
Terlepas dari itu semua –baik maupun buruk—sebetulnya banyak hikmah yang bisa sama-sama kita tarik, baik bagi TNI sebagai sebuah institusi resmi negara, maupun bagi rakyat sebagai akar jati diri TNI. Ini pertanda bahwa rakyat (masih) peduli terhadap TNI. Dan seyogyanya pula, TNI tidak perlu berkecil hati dengan sentimen negatif yang muncul ke permukaan.
Sebagai elemen-elemen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sewajarnyalah ada keterbukaan hubungan antara rakyat dengan TNI, komunikasi yang baik antara kedua belah pihak, dan tentunya semangat untuk menjaga kesinambungan hubungan secara konstruktif.
Satu fenomena menarik yang terefleksi dari penuturan personel-personel TNI dan Polri yang tergabung dalam forum diskusi TANDEF secara online adalah bahwa rakyat Indonesia secara umum (masih) mencintai prajurit-prajurit kita. Ini bukanlah fakta sepele, mengingat para Defender (sebutan untuk anggota TANDEF) yang menuturkan tersebut pernah atau sedang bertugas di berbagai wilayah di segara penjuru Nusantara, seperti perbatasan Papua – Papua Nugini, perbatasan NTT – Timor Leste, perbatasan Kalimantan – Sabah/Serawak, perairan Sumatra, perairan Sulawesi, perairan Maluku, dan masih banyak lagi.
Mereka langsung bertatap muka dan berdialog dengan rakyat. Artinya, mereka tidak sekedar mendengarkan pujian, kritik, dan keluh kesah rakyat saja, tetapi juga ikut merasakan situasi dan kondisi di lapangan.
Meski demikian, TNI tidaklah boleh berpuas diri, apalagi terlena. Harus ada cara-cara sederhana –tapi efektif— yang bisa memperkuat dan mempertahankan hubungan TNI-Rakyat yang khas ini. Konon “kemanunggalan” hubungan TNI-Rakyat yang terbentuk di Indonesia ini unik. Saking uniknya, banyak institusi militer negara lain ingin belajar dari TNI (sekaligus ada pula pihak-pihak yang ingin menghancurkan hubungan ini!).
Salah satu cara yang bisa kita pertimbangankan –meskipun masih perlu kajian lebih detail— adalah dengan menyelenggarakan Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun TNI dari tahun ke tahun secara bergiliran di berbagai daerah di Nusantara, dengan menjadikan daerah sebagai prioritas utama.
Pada dasarnya pelaksanaan Upacara Peringatan HUT TNI selama berlangsung di mana-mana, di berbagai tempat di mana terdapat pos tugas, kantor, atau markas institusi TNI. Namun upacara yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah upacara berskala nasional, dengan Presiden RI sebagai inspektur upacaranya.
Selama ini upacara tersebut selalu dilaksanakan di Jakarta. Barangkali di masa yang lalu pernah yang dilangsungkan di tempat-tempat lain selain Jakarta, akan tetapi saya belum menemukan informasinya hingga saat ini.
Kita bisa memahami mengapa Jakarta menjadi pilihan utama. Jakarta dianggap praktis karena semuanya ada, mudah dicapai, dan mudah dikontrol. Jakarta pun punya simbol politis sebagai ibu kota negara. Bila pertimbangan keamanan kita masukkan, maka kondisi di Jakarta pun under control. Dengan kata lain, pertimbangan ekonomis, politis, dan keamanan tercapai secara simultan bila terselenggara di Jakarta.
Dengan logika berpikir yang sama, maka kita bisa tarik kesimpulan bahwa lokasi-lokasi lain selain Jakarta dianggap belum memenuhi salah tu satu atau lebih faktor di atas. Mungkin ada lokasi alternatif yang secara politis layak, tetapi punya konsekuensi tidak ekonomis, sebab membutuhkan kesiapan logistik yang tidak murah guna memobilisasi personel dan alutsista yang akan memeriahkan upacara tersebut. Atau, barangkali ada lokasi tertentu yang dianggap belum stabil, sehingga mengkhawatirkan keselamatan Presiden RI dan pejabat-pejabat lainnya yang diagendakan akan hadir.
Meski demikian, marilah di HUT TNI ke-67 ini kita sama-sama merenung sejenak. Mari kita berpikir ulang dengan tetap memperhitungkan semua fakta yang ada, baik pro maupun kontra. Pernahkah terpikirkan oleh kita seberapa besar dampak positif (dibandingkan dampak negatif) bila penyelenggaraan Upacara Peringatan HUT TNI digelar di daerah-daerah perbatasan, seperti Sabang, Entikong, Nunukan, Atambua, Miangas, atau Keerom?
Secara ekonomis memang akan ada biaya ekstra untuk memindahkan pasukan, senjata, perlengkapan, dan logistik, serta untuk menyediakan akomodasi bagi para peserta upacara. Namun secara psikologis, masyarakat di sekitar tempat upacara akan merasa ”diperhatikan”. Ini tidak mudah dikalkulasi, tapi sangat gampang kita rasakan bersama.
Sebagai ilustrasi, katakanlah Upacara Peringatan HUT TNI ke-68 akan digelar di Atambua, sebuah kecamatan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Kota yang pernah menjadi salah satu tempat penampungan utama para pengungsi dari Timor Leste tahun 1999-2000 lalu mempunyai penduduknya mencapai 650.000 jiwa. Atambua merupakan pintu gerbang utama menuju Timor Leste melalui perbatasan Mota’ain (sekitar 30 km dari Atambua).
Jaringan transportasi wilayah sudah ada, meskipun kondisinya bervariasi antara yang di pusat kota dengan daerah pelosok. Saat ini Atambua mempunyai satu lapangan terbang dengan panjang runway 1200 meter. Dengan kata lain, penerbangan perintis sudah bisa mencapai Atambua.
Selain itu juga terdapat dua buah dermaga, yaitu dermaga Teluk Gurita sebagai dermaga kapal penumpang yang melayani rute Atambua-Alor, dan dermaga Atapupu sebagai dermaga kapal kargo dan bahan bakar minyak.
Rute jalan darat dari Kupang (ibu kota NTT) menuju Atambua bisa ditempuh melalui Jalan Trans Timor sepanjang 285 km. Kondisi jalan yang merupakan jalur utama ini tidak merata. Ada yang mulus, dan ada sebagian yang bergelombang. Kondisi semacam ini mengakibatkan waktu tempuh Kupang–Atambua sukar diprediksi (rata-rata perlu 8 jam), walaupun sepanjang perjalanan terdapat beberapa tempat yang menyajikan pemandangan indah, seperti pantai, bukit, rawa, ladang, dan rumah-rumah adat Timor.
Apabila Upacara Peringatan HUT TNI tahun 2013 nanti dilaksanakan di Atambua, akan terbayang oleh kita bagaimana Kupang disulap menjadi pusat koordinasi acara, dan berbagai fasilitas penunjang akan dibangun di Atambua. Kondisi Jalan Trans Timor akan diperbaiki guna memperlancar mobilisasi orang dan barang lewat darat. Landasan pacu Lapangan Terbang Haliwen akan pun diperbaiki, sekaligus diperpanjang supaya bisa dilalui pesawat dengan kapasitas lebih besar.
Akomodasi bagi pasukan upacara akan dibangun di sekitar Atambua, bisa dengan cara membuat fasilitas yang sama sekali baru, atau cukup dengan meningkatkan daya tampung pangkalan setempat. Sementara itu para pejabat negara, tamu nasional, dan undangan internasional peserta upacara –yang kebanyakan berdomisili di Jawa, khususnya Jakarta– akan bertandang ke Kupang, memenuhi penginapan yang tersedia, dan tak menutup kemungkinan akan sekalian menikmati liburan di sana.
Walaupun secara teoretis mudah, paparan praktisnya cukup susah. Biar bagaimana pun akan lebih mudah jika upacara tersebut dilaksanakan di Jakarta. Meski demikian, tak ada salahnya kita memberanikan diri berpikir secara ekstrem, selama hal itu mampu menstimulasi pemecahan tantangan-tantangan nasional yang kita hadapi bersama saat ini.
Pemerintah sudah mencanangkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Gubernur NTT pada Juli 2012 lalu menuturkan ada tiga kendala utama yang dihadapi oleh NTT: (1) ketersediaan sumber daya manusia, khususnya tenaga teknik, (2) pendanaan proyek, dan (3) status hukum atas lahan-lahan proyek. Sementara itu target pelaksanaan proyek dalam rangkaian MP3EI yang ingin dikejar oleh NTT didominasi oleh sektor infrastruktur, seperti pengembangan jalan, pembangunan pelabuhan laut, pembangunan bandar udara, dan terminal.
Bila kita luangkan waktu untuk memilah dan memilih, maka amat boleh jadi ada target-target MP3EI yang ingin dicapai di NTT bisa disinkronkan dengan proyek persiapan Upacara Peringatan HUT TNI tahun 2013 nanti. Jikakalau kendala teknisnya sudah teridentifikasi dan terpetakan, tingkat kompleksitasnya terbayangkan, dan potensi risikonya terukur, maka semua kembali kepada kita sendiri, khususnya di tangan para pejabat berwenang pengambil keputusan.
Artinya, Upacara Peringatan HUT TNI sangat mungkin kita selenggarakan di daerah-daerah perbatasan.
Dirgahayu TNI…!!!
Semoga semakin jaya, profesional, efektif, efisien, dan modern!
Jaga terus kemanunggalan TNI–Rakyat!

Sumber:tandef

No comments:

Post a Comment