Merdeka (MI) : TNI AL berniat menamai kapal perangnya dengan nama
KRI Usman Harun. Dua prajurit Korps Komando Angkatan Laut (kini Marinir
TNI AL), yang mengebom Singapura saat operasi Dwikora tahun 1965.
Namun pemerintah Singapura mengajukan keprihatinan mereka. Mereka tak setuju orang yang melakukan serangan di wilayah Singapura malah dijadikan nama kapal perang.
Menanggapi ini TNI AL menyatakan penamaan kapal perang Usman Harun sudah melalui prosedur tetap. Nama KRI diberikan sebagai penghormatan bagi para pahlawan nasional atau prajurit TNI AL yang berjasa luar biasa untuk bangsa dan negara.
"Proses penamaan sudah melalui prosedur dan dilakukan oleh anggota tim yang ditunjuk. Kami memilih nama KRI Usman Harun karena mereka adalah pahlawan nasional yang berjasa kepada bangsa ini," kata Kadispen TNI AL Laksamana Untung Surapati, Selasa (6/2).
Pengabdian Sersan Usman dan Kopral Harun tak akan dilupakan TNI AL dan seluruh bangsa Indonesia. Dua prajurit KKO ini digantung pemerintah Singapura saat konfrontasi Dwikora tahun 1968.
Periode 1960an, pemerintahan Soekarno memang gerah dengan pembentukan Negara Malaysia. Singapura yang anggota persemakmuran Inggris ini juga dianggap pangkalan Blok Barat yang dapat mengancam Republik Indonesia.
Soekarno mengirim ribuan sukarelawan untuk bertempur di perbatasan Kalimantan dan Serawak. Berbagai operasi intelijen juga digelar di Selat Malaka dan Singapura. Tujuannya untuk mengganggu stabilitas keamanan di Singapura.
Adalah Usman dan Harun, dua anggota satuan elite KKO yang ditugaskan untuk mengebom pusat keramaian di Jl Orchard, Singapura. Mereka berhasil menyusup ke Mac Donald House dan meledakkan bom waktu di pusat perkantoran yang digunakan Hongkong and Shanghai Bank itu.
Ledakan dahsyat itu menghancurkan gedung tersebut dan gedung-gedung sekitarnya. Tiga orang tewas sementara 33 orang terluka parah. Beberapa mobil di Jl Orchard hancur berantakan. Peristiwa itu terjadi 10 Maret 1965.
Setelah menyelesaikan misinya, Usman dan Harun berusaha keluar Singapura. Mereka berusaha menumpang kapal-kapal dagang yang hendak meninggalkan Singapura namun tidak berhasil. Pemerintah Singapura telah mengerahkan seluruh armadanya untuk memblokir Selat Malaka. Hampir tidak ada kesempatan untuk kabur.
Usman dan Harun kemudian mengambil alih sebuah kapal motor. Malang, di tengah laut kapal ini mogok. Mereka pun tidak bisa lari dan ditangkap patroli Singapura.
Keduanya dijebloskan ke penjara. Hakim mengganjar mereka dengan hukuman gantung atas kasus pembunuhan, penggunaan bahan peledak dan melakukan tindakan terorisme. Pemerintah Indonesia mencoba banding dan mengupayakan semua bantuan hukum dan diplomasi. Gagal, semuanya ditolak Singapura.
Suatu pagi, selepas subuh tanggal 17 Oktober 1968, keduanya dikeluarkan dari sel mereka. Dengan tangan terborgol dua prajurit ini dibawa ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 waktu setempat, keduanya tewas di tiang gantungan.
Namun pemerintah Singapura mengajukan keprihatinan mereka. Mereka tak setuju orang yang melakukan serangan di wilayah Singapura malah dijadikan nama kapal perang.
Menanggapi ini TNI AL menyatakan penamaan kapal perang Usman Harun sudah melalui prosedur tetap. Nama KRI diberikan sebagai penghormatan bagi para pahlawan nasional atau prajurit TNI AL yang berjasa luar biasa untuk bangsa dan negara.
"Proses penamaan sudah melalui prosedur dan dilakukan oleh anggota tim yang ditunjuk. Kami memilih nama KRI Usman Harun karena mereka adalah pahlawan nasional yang berjasa kepada bangsa ini," kata Kadispen TNI AL Laksamana Untung Surapati, Selasa (6/2).
Pengabdian Sersan Usman dan Kopral Harun tak akan dilupakan TNI AL dan seluruh bangsa Indonesia. Dua prajurit KKO ini digantung pemerintah Singapura saat konfrontasi Dwikora tahun 1968.
Periode 1960an, pemerintahan Soekarno memang gerah dengan pembentukan Negara Malaysia. Singapura yang anggota persemakmuran Inggris ini juga dianggap pangkalan Blok Barat yang dapat mengancam Republik Indonesia.
Soekarno mengirim ribuan sukarelawan untuk bertempur di perbatasan Kalimantan dan Serawak. Berbagai operasi intelijen juga digelar di Selat Malaka dan Singapura. Tujuannya untuk mengganggu stabilitas keamanan di Singapura.
Adalah Usman dan Harun, dua anggota satuan elite KKO yang ditugaskan untuk mengebom pusat keramaian di Jl Orchard, Singapura. Mereka berhasil menyusup ke Mac Donald House dan meledakkan bom waktu di pusat perkantoran yang digunakan Hongkong and Shanghai Bank itu.
Ledakan dahsyat itu menghancurkan gedung tersebut dan gedung-gedung sekitarnya. Tiga orang tewas sementara 33 orang terluka parah. Beberapa mobil di Jl Orchard hancur berantakan. Peristiwa itu terjadi 10 Maret 1965.
Setelah menyelesaikan misinya, Usman dan Harun berusaha keluar Singapura. Mereka berusaha menumpang kapal-kapal dagang yang hendak meninggalkan Singapura namun tidak berhasil. Pemerintah Singapura telah mengerahkan seluruh armadanya untuk memblokir Selat Malaka. Hampir tidak ada kesempatan untuk kabur.
Usman dan Harun kemudian mengambil alih sebuah kapal motor. Malang, di tengah laut kapal ini mogok. Mereka pun tidak bisa lari dan ditangkap patroli Singapura.
Keduanya dijebloskan ke penjara. Hakim mengganjar mereka dengan hukuman gantung atas kasus pembunuhan, penggunaan bahan peledak dan melakukan tindakan terorisme. Pemerintah Indonesia mencoba banding dan mengupayakan semua bantuan hukum dan diplomasi. Gagal, semuanya ditolak Singapura.
Suatu pagi, selepas subuh tanggal 17 Oktober 1968, keduanya dikeluarkan dari sel mereka. Dengan tangan terborgol dua prajurit ini dibawa ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 waktu setempat, keduanya tewas di tiang gantungan.
Presiden Soeharto langsung memberikan gelar pahlawan nasional untuk keduanya. Sebuah Hercules diterbangkan untuk menjemput jenazah keduanya. Pangkat mereka dinaikkan satu tingkat secara anumerta. Mereka juga mendapat bintang sakti, penghargaan paling tinggi di republik ini.
Setelah tiba di Jakarta, hampir satu juta orang mengiringi jenazah mereka dari Kemayoran, Markas Hankam hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata. Semuanya menangisi nasib dua prajurit ini dan mengutuk Malaysia. Apalagi Korps KKO yang merasa paling kehilangan.
"Jika diperintahkan KKO siap merebut Singapura," ujar Komandan KKO, Mayjen Mukiyat geram di depan jenazah anak buahnya.
Pemerintah menghormati jasa kedua prajurit tersebut. Berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968. Keduanya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Sumber : Merdeka
No comments:
Post a Comment