Merdeka (MI) : Maman (83) masih mengingat operasi militer di
pedalaman Sumatera 56 tahun lalu. Saat itu tahun 1958, pangkatnya masih
kopral. Dia anggota pasukan elite Resimen para Komando Angkatan Darat
(RPKAD). Kelak pasukan baret merah ini dikenal dengan nama Komando
Pasukan Khusus atau Kopassus.
Maman baru saja diterjunkan di sekitar Bandara Tabing, Padang untuk kemudian bergerak melambung menguasai Sumatera Barat. Pasukan itu terus bergerak ke menghancurkan kekuatan pasukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Di sebuah desa mereka berhenti. Penduduk memperhatikan dengan takut-takut. Saat Maman menanyakan lokasi Musala, mereka ragu-ragu menunjukan tempat ibadah tersebut.
Beberapa orang mengikutinya saat menuju Musala. Begitu juga saat dia dan beberapa anggota pasukan mengambil air wudhu. Saat shalat, warga yang berkerumun dekat Musala makin banyak. Mereka memperhatikan sambil berbisik-bisik.
"Selesai kami shalat, ada warga yang menanyai kami. Mungkin tokoh di kampung itu. Mereka tanya, tadi bapak benar shalat?" kata Maman menceritakan pengalamannya pada merdeka.com beberapa waktu lalu.
"Iya, tadi shalat, kenapa Pak?" jawab Maman.
"Bapak Muslim?" tanya warga lagi.
"Iya, saya Muslim, memang kenapa?" kata Maman.
"Saya kira komunis itu tidak shalat Pak. Bahkan tidak beragama," kata mereka.
"Lho yang pasukan komunis itu siapa? Kami ini Tentara Indonesia, bukan komunis. Saya Muslim, bukan komunis," jawab Kopral Maman.
Warga kampung saling pandang bingung. Mereka menjelaskan sering mendengar propaganda akan datang tentara komunis dari Jawa untuk menghancurkan desa mereka. Yang paling menakutkan itu RPKAD yang pakai baret merah, warna komunis.
Namun setelah mendengar penjelasan dari pasukan RPKAD warga baru sadar sudah jadi korban propaganda. Mereka sadar pasukan yang datang bukan pasukan komunis.
"Saya jelaskan baik-baik kalau kami tidak seperti yang disebut di propaganda. Untungnya mereka segera sadar. Hubungan pun jadi enak. Mereka bahkan mengajak makan ala kadarnya. Dalam hati, sempat kesal juga kami disebut tentara komunis," kata Maman.
Central Intelligence Agency (CIA) ada di belakang pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Mereka menyuplai aneka persenjataan dan uang untuk mendukung aksi tersebut.
Tak cuma itu, CIA juga memberikan dukungan berupa stasiun radio dan peralatannya. Lewat radio inilah mereka menyebar propaganda anti-Soekarno. Pemerintah di Jakarta pun disebut komunis.
Upaya ini lumayan berhasil mempengaruhi sebagian masyarakat di Sumatera yang religius. Namun akhirnya TNI berhasil mengalahkan pemberontak dan merebut Sumatera. Misi CIA pun gagal.
Maman baru saja diterjunkan di sekitar Bandara Tabing, Padang untuk kemudian bergerak melambung menguasai Sumatera Barat. Pasukan itu terus bergerak ke menghancurkan kekuatan pasukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Di sebuah desa mereka berhenti. Penduduk memperhatikan dengan takut-takut. Saat Maman menanyakan lokasi Musala, mereka ragu-ragu menunjukan tempat ibadah tersebut.
Beberapa orang mengikutinya saat menuju Musala. Begitu juga saat dia dan beberapa anggota pasukan mengambil air wudhu. Saat shalat, warga yang berkerumun dekat Musala makin banyak. Mereka memperhatikan sambil berbisik-bisik.
"Selesai kami shalat, ada warga yang menanyai kami. Mungkin tokoh di kampung itu. Mereka tanya, tadi bapak benar shalat?" kata Maman menceritakan pengalamannya pada merdeka.com beberapa waktu lalu.
"Iya, tadi shalat, kenapa Pak?" jawab Maman.
"Bapak Muslim?" tanya warga lagi.
"Iya, saya Muslim, memang kenapa?" kata Maman.
"Saya kira komunis itu tidak shalat Pak. Bahkan tidak beragama," kata mereka.
"Lho yang pasukan komunis itu siapa? Kami ini Tentara Indonesia, bukan komunis. Saya Muslim, bukan komunis," jawab Kopral Maman.
Warga kampung saling pandang bingung. Mereka menjelaskan sering mendengar propaganda akan datang tentara komunis dari Jawa untuk menghancurkan desa mereka. Yang paling menakutkan itu RPKAD yang pakai baret merah, warna komunis.
Namun setelah mendengar penjelasan dari pasukan RPKAD warga baru sadar sudah jadi korban propaganda. Mereka sadar pasukan yang datang bukan pasukan komunis.
"Saya jelaskan baik-baik kalau kami tidak seperti yang disebut di propaganda. Untungnya mereka segera sadar. Hubungan pun jadi enak. Mereka bahkan mengajak makan ala kadarnya. Dalam hati, sempat kesal juga kami disebut tentara komunis," kata Maman.
Central Intelligence Agency (CIA) ada di belakang pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Mereka menyuplai aneka persenjataan dan uang untuk mendukung aksi tersebut.
Tak cuma itu, CIA juga memberikan dukungan berupa stasiun radio dan peralatannya. Lewat radio inilah mereka menyebar propaganda anti-Soekarno. Pemerintah di Jakarta pun disebut komunis.
Upaya ini lumayan berhasil mempengaruhi sebagian masyarakat di Sumatera yang religius. Namun akhirnya TNI berhasil mengalahkan pemberontak dan merebut Sumatera. Misi CIA pun gagal.
Kisah pilot TNI AU tembak jatuh pesawat pengebom CIA
Central Intelligence Agency (CIA) merongrong pemerintahan
Indonesia. Mulai dari menyebarkan propaganda hitam, mengadu domba,
hingga membiayai aksi pemberontak.
Tahun 1950an, CIA ikut membantu para perwira pembangkang di Sumatera dan Sulawesi yang melawan Soekarno. Mereka mengirim aneka persenjataan, uang dan pilot-pilot militer untuk melawan Jakarta.
Awal tahun 1958, kekuatan Angkatan Udara Revolusioner milik Perjuangan Rakyat Semesta menguasai langit Indonesia Timur. Mereka kerap melakukan penyerangan pada kota-kota yang setia pada Soekarno. Pangkalan TNI AU, kapal dagang, kapal TNI AL, markas militer dan pusat perekonomian jadi sasaran mereka.
Serangan-serangan AUREV tergolong sukses besar. Banyak kerugian dan korban jiwa yang ditimbulkan. Pesawat yang menjadi kekuatan AUREV terdiri dari empat pesawat pengebom B-26 Invaders, dua buah pesawat pemburu P-51 Mustang. Mereka juga memiliki berbagai macam pesawat angkut guna menyuplai perbekalan dan mengangkut pasukan. Pangkalan mereka terletak di Filipina.
CIA merekrut para pilot veteran perang yang jago bertempur. Salah satunya Allan Lawrence Pope, seorang pria muda berusia 25 tahun, warga negara Amerika Serikat. Sebelumnya Pope sudah berpengalaman sebagai pilot pesawat pengebom. Dia terkenal karena keberaniannya menerbangkan pesawat B-26.
Tanggal 18 Mei 1958, Allan Pope kembali menerbangkan pesawat pengebomnya di atas Ambon. Dia menenggelamkan kapal TNI AL, mengebom sebuah pasar dan gereja.
"Kemudian Pope mengejar sebuah kapal bertonase 7.000 ton yang mengangkut 1.000 tentara Indonesia. Pope berusaha menenggelamkan kapal tersebut," tulis Tim Weiner dalam buku Membongkar Kegagalan CIA yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2008.
Kali ini Pope menghadapi perlawanan sengit. Senjata antipesawat terbang di kapal tersebut terus menyalak. Di belakang B-26nya, pesawat pemburu milik TNI AU sedang mengejar.
Versi TNI AU disebutkan saat itu Kapten Udara Ignatius Dewanto sedang berada di Lapangan Terbang Liang. Saat itulah dia menerima laporan ada pesawat B-26 Invader yang menyerang Kota Ambon.
Dewanto bergerak cepat. Dia segera memacu pesawat P-51 Mustang terbang mencari musuh. Demikian ditulis dalam buku Bakti TNI Angkatan Udara 1946-2003.
Di atas Kota Ambon, Dewanto melihat kerusakan akibat serangan pesawat udara. Namun dia tidak menemukan B-26 buruannya. Setelah bergerak ke arah Barat, Dewanto baru melihat B-26 itu. Rupanya pesawat yang dipiloti Allan Lawrence Pope itu hendak menyerang konvoi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Dewanto segera menyerang pesawat musuh itu dengan senapan mesin 12,7 mm dan roket hingga terbakar. Allan Pope menyuruh juru radio Hary Rantung menyelamatkan diri lebih dulu. Saat Pope melompat, kakinya terbentur sayap pesawat hingga patah.
Pope dan Hary Rantung berhasil ditangkap pasukan TNI. Dalam pakaian terbang Pope ditemukan identitas dan daftar penugasannya. Misi rahasia CIA di Sulawesi pun terbongkar. Pope adalah bukti nyata keterlibatan CIA dalam pemberontakan tersebut.
CIA menyadari mereka telah kalah dalam peperangan tersebut. Bos CIA Allen Dulles langsung mengirimkan telegram kilat pada para perwira di Indonesia, Singapura dan Filipina, keesokan harinya.
"Tinggalkan posisi, hentikan pengiriman uang, tutup jalur pengiriman senjata, musnahkan semua bukti dan mundur teratur," perintah Dulles.
Operasi CIA gagal total. Untuk menutupi rasa malu mereka, pemerintah AS pun berbalik mengirimkan bantuan pada Indonesia.
Allan Pope sendiri kemudian divonis mati oleh pengadilan militer. Namun akhirnya Presiden Soekarno membebaskan Pope, alasannya Soekarno tidak tega saat istri Pope datang dan menangis minta suaminya agar dibebaskan.
Itu pengakuan Soekarno, tapi diduga pemerintah AS yang gencar melobi agar Pope tidak dihukum mati.
Pope sendiri mengaku tak pernah menyesal menjadi agen CIA di Indonesia. Dalam wawancara dengan Tim Weiner tahun 2005 dia kembali mengingat aksinya yang gagal di Indonesia
"Kami telah memukul dan melukai mereka. Kami membunuh ribuan komunis, meskipun setengah di antaranya mungkin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan komunisme," kenang Pope.
Tahun 1950an, CIA ikut membantu para perwira pembangkang di Sumatera dan Sulawesi yang melawan Soekarno. Mereka mengirim aneka persenjataan, uang dan pilot-pilot militer untuk melawan Jakarta.
Awal tahun 1958, kekuatan Angkatan Udara Revolusioner milik Perjuangan Rakyat Semesta menguasai langit Indonesia Timur. Mereka kerap melakukan penyerangan pada kota-kota yang setia pada Soekarno. Pangkalan TNI AU, kapal dagang, kapal TNI AL, markas militer dan pusat perekonomian jadi sasaran mereka.
Serangan-serangan AUREV tergolong sukses besar. Banyak kerugian dan korban jiwa yang ditimbulkan. Pesawat yang menjadi kekuatan AUREV terdiri dari empat pesawat pengebom B-26 Invaders, dua buah pesawat pemburu P-51 Mustang. Mereka juga memiliki berbagai macam pesawat angkut guna menyuplai perbekalan dan mengangkut pasukan. Pangkalan mereka terletak di Filipina.
CIA merekrut para pilot veteran perang yang jago bertempur. Salah satunya Allan Lawrence Pope, seorang pria muda berusia 25 tahun, warga negara Amerika Serikat. Sebelumnya Pope sudah berpengalaman sebagai pilot pesawat pengebom. Dia terkenal karena keberaniannya menerbangkan pesawat B-26.
Tanggal 18 Mei 1958, Allan Pope kembali menerbangkan pesawat pengebomnya di atas Ambon. Dia menenggelamkan kapal TNI AL, mengebom sebuah pasar dan gereja.
"Kemudian Pope mengejar sebuah kapal bertonase 7.000 ton yang mengangkut 1.000 tentara Indonesia. Pope berusaha menenggelamkan kapal tersebut," tulis Tim Weiner dalam buku Membongkar Kegagalan CIA yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2008.
Kali ini Pope menghadapi perlawanan sengit. Senjata antipesawat terbang di kapal tersebut terus menyalak. Di belakang B-26nya, pesawat pemburu milik TNI AU sedang mengejar.
Versi TNI AU disebutkan saat itu Kapten Udara Ignatius Dewanto sedang berada di Lapangan Terbang Liang. Saat itulah dia menerima laporan ada pesawat B-26 Invader yang menyerang Kota Ambon.
Dewanto bergerak cepat. Dia segera memacu pesawat P-51 Mustang terbang mencari musuh. Demikian ditulis dalam buku Bakti TNI Angkatan Udara 1946-2003.
Di atas Kota Ambon, Dewanto melihat kerusakan akibat serangan pesawat udara. Namun dia tidak menemukan B-26 buruannya. Setelah bergerak ke arah Barat, Dewanto baru melihat B-26 itu. Rupanya pesawat yang dipiloti Allan Lawrence Pope itu hendak menyerang konvoi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Dewanto segera menyerang pesawat musuh itu dengan senapan mesin 12,7 mm dan roket hingga terbakar. Allan Pope menyuruh juru radio Hary Rantung menyelamatkan diri lebih dulu. Saat Pope melompat, kakinya terbentur sayap pesawat hingga patah.
Pope dan Hary Rantung berhasil ditangkap pasukan TNI. Dalam pakaian terbang Pope ditemukan identitas dan daftar penugasannya. Misi rahasia CIA di Sulawesi pun terbongkar. Pope adalah bukti nyata keterlibatan CIA dalam pemberontakan tersebut.
CIA menyadari mereka telah kalah dalam peperangan tersebut. Bos CIA Allen Dulles langsung mengirimkan telegram kilat pada para perwira di Indonesia, Singapura dan Filipina, keesokan harinya.
"Tinggalkan posisi, hentikan pengiriman uang, tutup jalur pengiriman senjata, musnahkan semua bukti dan mundur teratur," perintah Dulles.
Operasi CIA gagal total. Untuk menutupi rasa malu mereka, pemerintah AS pun berbalik mengirimkan bantuan pada Indonesia.
Allan Pope sendiri kemudian divonis mati oleh pengadilan militer. Namun akhirnya Presiden Soekarno membebaskan Pope, alasannya Soekarno tidak tega saat istri Pope datang dan menangis minta suaminya agar dibebaskan.
Itu pengakuan Soekarno, tapi diduga pemerintah AS yang gencar melobi agar Pope tidak dihukum mati.
Pope sendiri mengaku tak pernah menyesal menjadi agen CIA di Indonesia. Dalam wawancara dengan Tim Weiner tahun 2005 dia kembali mengingat aksinya yang gagal di Indonesia
"Kami telah memukul dan melukai mereka. Kami membunuh ribuan komunis, meskipun setengah di antaranya mungkin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan komunisme," kenang Pope.
Kisah agen CIA kabur dari Sumatera sampai maling di warung
Soekarno adalah salah satu musuh utama CIA era 1950-1960an. CIA membantu para pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi tahun 1958.
Namun pemberontakan PRRI dapat dengan mudah ditumpas oleh pasukan gabungan TNI. Operasi CIA pun gagal total.
Setelah Sumatera direbut TNI, para perwira CIA melarikan diri tunggang langgang secara memalukan. Kisah itu ditulis Tim Weiner dalam buku Membongkar Kegagalan CIA yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2008.
"Kelima perwira CIA yang berada di pulau tersebut lari menyelamatkan diri. Mereka berkendaraan sebuah jip sampai kehabisan bahan bakar, kemudian berjalan kaki melalui hutan lebat menuju pantai," tulis Tim Weiner.
Mereka pun terpaksa mencuri makanan di warung-warung di desa terpencil untuk mempertahankan hidup. Ketika sampai di pantai, mereka merebut sebuah perahu nelayan dan mengontak Stasiun CIA di Singapura.
"Sebuah kapal selam Angkatan Laut AS USS Tang kemudian datang menyelamatkan mereka."
Dengan lesu Bos CIA Allen Dules melapor pada Presiden Eisenhower kalau misi mereka gagal.
"Tampaknya tidak ada kemauan berperang di pihak pasukan pembangkang itu. Para pemimpin pemberontakan tidak mampu memberikan ide dan penjelasan kepada tentara mereka mengapa harus berperang. Ini memang perang yang sangat aneh," kata Dules.
Tak cuma itu, kepala operasi CIA di Indonesia Frank Wisner juga stres berat usai kegagalannya di Indonesia. Sejumlah laporan menyebut Wisner kehilangan kewarasannya dan kepalanya harus diterapi listrik.
"Aliran listrik itu bahkan cukup untuk menyalakan bohlam 100 watt," tulis Weiner.
Sumber : Merdeka
No comments:
Post a Comment