Jakarta (MI) : Kalau lebih
ditelaah, ada hal menarik dalam insiden pendaratan paksa di Lanud
Supadio, Selasa (28/10). Saat itu, pesawat Sukhoi bisa segera dikerahkan
karena kebetulan sedang latihan di Batam. Dalam kondisi normal, tidak
ada pesawat buru sergap di Batam, baik Sukhoi maupun F-16, sehingga bisa
jadi pesawat asing tanpa izin pun bisa berdansa di udara tanpa ada
tindakan.
”Memang waktu itu kebetulan,” kata Panglima Komando Pertahanan Udara
Nasional (Kohanudnas) Marsekal Muda Hadiyan Sumintaatmadja, pekan lalu.
Ia mengakui, Kohanudnas yang tugasnya khusus menangani ancaman
kedaulatan udara mengalami kendala dalam jumlah pesawat buru sergap yang
bisa dipakai untuk mencegat. Hal ini juga bisa dilihat dalam kasus jet
Gulfstream IV yang sempat menambah kecepatan menjadi 920 kilometer per
jam sehingga Sukhoi dari Makassar harus mengejar dengan kecepatan suara
1.700 km per jam, itu pun baru berhasil mencegatnya nyaris di perbatasan
dengan Australia.
Saat ini, pesawat buru sergap yang mumpuni adalah F-16 A/B dan C/D
yang berjumlah 15 buah serta 16 Sukhoi Su-27 dan Su-30. Sukhoi bermarkas
di Makassar, Sulawesi Selatan, sementara F-16 di Madiun, Jawa Timur.
Selain itu juga ada F-5 E/F di Madiun yang beroperasi, jumlahnya kini 9
buah. Pesawat-pesawat tempur milik TNI AU yang lain adalah pesawat
tempur taktis yang punya spesifikasi kecepatan terbang di bawah
kecepatan suara sehingga tidak bisa untuk mencegat.
Ini berarti, kalau ada pesawat asing tanpa izin di Natuna, Sorong,
atau di atas Sumatera, bisa dikatakan, hanya bisa menonton lewat layar
Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional tanpa bisa berbuat apa-apa.
”Ke Sorong itu butuh sekitar 2 jam, ke Medan juga sekitar 2 jam
dengan Sukhoi atau F-16. Yang bisa kita lakukan hanyalah sebatas
memantau, lalu lapor kepada Panglima TNI, buat nota diplomatik,”
katanya.
Jakarta telanjang
Salah satu masalah klasik lain adalah tidak adanya markas pesawat
tempur buru sergap di Jakarta. Dengan kata lain, kalau ada ancaman
pesawat asing yang datang, Jakarta dalam keadaan ”telanjang” alias hanya
mengandalkan meriam atau rudal yang entah berfungsi atau tidak, atau
menunggu F-16 yang butuh puluhan menit untuk tiba di Jakarta.
Saat ini, secara bergantian pesawat-pesawat tempur buru sergap itu
menginap di Jakarta. Hadiyan juga mengakui, beberapa instalasi vital
tidak dilindungi dari serangan udara.
Kepala Staf TNI AU Marsekal IB Putu Dunia mengakui, jumlah pesawat
yang bisa mencegat pesawat asing masih jauh dari cukup. Pesawat Hawk
100/200, misalnya, yang bermarkas di Lanud Supadio, Pontianak,
penggunaannya bukan untuk pengejaran, apalagi kalau pesawat yang dikejar
bermesin jet. Pesawat F-5 juga sudah habis masa pakainya dan sedang
dicari penggantinya.
”Ya, bagaimana, uangnya tak cukup,” katanya di sela-sela Indo Defence, beberapa waktu lalu.
Selain pesawat sedikit, Kohanudnas pada praktiknya juga tidak
memiliki pesawat sendiri untuk digerakkan sewaktu-waktu. Pesawat berada
di bawah TNI AU, sementara Kohanudnas berada di bawah Mabes TNI. Secara
rutin, hanya sepertiga dari jumlah pesawat TNI AU yang bisa dipakai.
Sepertiga lainnya dalam pemeliharaan dan sepertiga sisanya dipakai
latihan demi kemampuan pilot-pilot.
Hadiyan mengatakan, di negara-negara lain, penggunaan pesawat tempur
dibagi dua bagian yang terpisah. Komando Strategis untuk
serangan-serangan strategis sehingga yang dilatih adalah sasaran-sasaran
strategis di darat, seperti pengeboman.
Sementara itu, Komando Pertahanan Udara bertugas siaga 24 jam untuk
menangani sasaran-sasaran yang berhubungan dengan wahana udara.
”Organisasi ini penting kalau kita mau diakui. Tapi, yang lebih penting lagi jumlah pesawatnya,” kata Hadiyan.
Efek gentar
Pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati mengatakan, sebaiknya ada
pangkalan udara TNI AU yang dilengkapi dengan pesawat tempur sergap,
seperti di Lanud Medan, Natuna, Tarakan, Biak, Timika, Kupang, dan
Jakarta. Tujuannya agar Indonesia memiliki efek gentar dalam pertahanan
udara.
Hal senada disampaikan Hadiyan. Ia membeberkan bahwa ada beberapa
wilayah penting yang harus dijaga, seperti Selat Malaka, Aceh, dan Batam
yang bisa menggunakan pesawat dari Medan. Selain itu juga perlu pesawat
di Natuna yang strategis, mengingat kondisi di Laut Tiongkok Selatan,
dan pesawat di Tarakan atau Manado yang bisa menangani masalah di
Ambalat.
Alternatif lain, minimal, setiap Komando Sektor Hanudnas memiliki
tiga pesawat tempur buru sergap. Saat ini ada empat Kosek, yaitu Kosek 1
di Sumatera Selatan, Natuna, Jakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Tengah. Kosek 2 di Makassar, Kaltim, NTT, NTB, dan Sulawesi; Kosek 3 di
Dumai ke arah barat; sedangkan Kosek 4 di Biak. Setiap Panglima Kosek
bisa mengeluarkan komando cegat terhadap pesawat tempur kalau ada
pesawat asing masuk.
Hadiyan mengatakan, dari segi kualitas, pesawat Sukhoi dan F-16 sudah
cukup menggetarkan lawan. Namun, selain pesawat, yang juga penting
adalah senjatanya.
Dicontohkan, Sukhoi yang mencegat jet Gulfstream awalnya sempat tak
dihiraukan sampai akhirnya mengeluarkan R-73 Archer, rudal dari udara ke
udara.
”Memang prosedurnya force down itu dengan keluarkan senjata,” cerita Putu Dunia.
Putu Dunia mengatakan, menembak pesawat asing bukan hal yang
sederhana kalau merujuk pada kebijakan politik Indonesia. Apalagi
terhadap pesawat sipil dan terutama saat dalam keadaan damai. Ada
prosedur panjang, seperti perintah Panglima TNI yang sebelumnya
merupakan perintah Presiden RI.
Dengan kondisi pesawat tempur seperti ini, realitanya, tidak semua
pesawat asing tanpa izin bisa dipaksa mendarat. Kemampuan radar juga
jadi catatan.
Saat ini kerja sama radar sipil dan militer sudah semakin baik. Sayangnya, hanya pesawat-pesawat yang menghidupkan transpondernya yang bisa dideteksi radar primary. Itu pun sudah menghasilkan 10-15 pesawat asing tanpa izin yang masuk.
Saat ini kerja sama radar sipil dan militer sudah semakin baik. Sayangnya, hanya pesawat-pesawat yang menghidupkan transpondernya yang bisa dideteksi radar primary. Itu pun sudah menghasilkan 10-15 pesawat asing tanpa izin yang masuk.
”Ada yang sempat kita force down dan ada yang tidak,” kata Hadiyan.
Sumber : KOMPAS
No comments:
Post a Comment