NUNUKAN (MI) : Tokoh pemuda Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan,
Lumbis SSos mengatakan, hingga saat ini batas darat antara Republik
Indonesia dan Malaysia di kawasan itu masih belum jelas. Tak heran jika
di Sungai Sumantipal dan Sungai Sinapad seringkali muncul persoalan
saling menggeser patok perbatasan. Lumbis menegaskan tidak ada klaim
Malaysia terhadap desa-desa di perbatasan Kecamatan Lumbis Ogong.
“Di sana status wilayah yang belum jelas dan batas negara yang belum disepakati secara bilateral oleh kedua belah pihak atau dengan istilahnya Outstanding Border Proble,” ujarnya. Belum jelasnya batas negara ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat mengenai koordinat dan alat ukur yang menjadi standar masing-masing negara. Malaysia, sebutnya, menggunakan istilah Tim Balai (DATUM). Sedangkan Indonesia menggunakan WGS 84.
“Perbedaan ini terjadi karena adanya perjanjian Belanda- Inggris pada tahun 1915,” ujar pria yang juga Ketua Dewan Pendiri Pemuda Penjaga Perbatasan Republik Indonesia. Karena situasi seperti inipula masyarakat di Desa Sumantipal, Desa Ngawol, Desa Tantalujuk dan Desa Panas yang wilayah adat desanya berada di Sungai Sumantipal dan Desa Lipaga yang wilayah adat desanya berada diSungai Sinapad hingga kini kebingungan. Sejak Republik Indonesia merdeka, masyarakat di wilayah ini sudah mengidentifikasikan diri sebagai warga Negara Indonesia dan memiliki nama wilayah desa dan struktur desa di Indonesia.
“Sekarang persoalannya mereka terus hidup dalam kemiskinan, keterisolasian dan selalu menggantungkan kebutuhan pada negara tetangga. Inilah persoalannya,” ujar putra mantan Kepala Desa Sumantipal ini. Dia menegaskan, nasionalisme masyarakat perbatasan tidak perlu terus menerus dipersoalkan dan dipertanyakan. Dalam kondisi hidup miskin dan terbelakang dari berbagai segi sektor kehidupan serta tidak bisa menikmati hasil kemerdekaan seperti warga lain, warga setempat tetap setia menjaga perbatasan.
Bahkan sebagai komitmen warga setempat menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibentuk Pemuda Penjaga Perbatasan Republik Indonesia yang merupakan organisasi kepemudaan anak-anak asli Kecamatan Lumbis Ogong secara nasional, yang Dewan Pimpinan Pusatnya berada di Mansalong, Kecamatan Lumbis.
“Di sana status wilayah yang belum jelas dan batas negara yang belum disepakati secara bilateral oleh kedua belah pihak atau dengan istilahnya Outstanding Border Proble,” ujarnya. Belum jelasnya batas negara ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat mengenai koordinat dan alat ukur yang menjadi standar masing-masing negara. Malaysia, sebutnya, menggunakan istilah Tim Balai (DATUM). Sedangkan Indonesia menggunakan WGS 84.
“Perbedaan ini terjadi karena adanya perjanjian Belanda- Inggris pada tahun 1915,” ujar pria yang juga Ketua Dewan Pendiri Pemuda Penjaga Perbatasan Republik Indonesia. Karena situasi seperti inipula masyarakat di Desa Sumantipal, Desa Ngawol, Desa Tantalujuk dan Desa Panas yang wilayah adat desanya berada di Sungai Sumantipal dan Desa Lipaga yang wilayah adat desanya berada diSungai Sinapad hingga kini kebingungan. Sejak Republik Indonesia merdeka, masyarakat di wilayah ini sudah mengidentifikasikan diri sebagai warga Negara Indonesia dan memiliki nama wilayah desa dan struktur desa di Indonesia.
“Sekarang persoalannya mereka terus hidup dalam kemiskinan, keterisolasian dan selalu menggantungkan kebutuhan pada negara tetangga. Inilah persoalannya,” ujar putra mantan Kepala Desa Sumantipal ini. Dia menegaskan, nasionalisme masyarakat perbatasan tidak perlu terus menerus dipersoalkan dan dipertanyakan. Dalam kondisi hidup miskin dan terbelakang dari berbagai segi sektor kehidupan serta tidak bisa menikmati hasil kemerdekaan seperti warga lain, warga setempat tetap setia menjaga perbatasan.
Bahkan sebagai komitmen warga setempat menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibentuk Pemuda Penjaga Perbatasan Republik Indonesia yang merupakan organisasi kepemudaan anak-anak asli Kecamatan Lumbis Ogong secara nasional, yang Dewan Pimpinan Pusatnya berada di Mansalong, Kecamatan Lumbis.
“Dan kami masih berani mengangkat muka dan mengatakan terhadap warga tetangga, kami Indonesia dan selamanya Indonesia,” ujarnya. Justru warga setempat balik mempertanyakan nasionalisme para pengambil kebijakan yang selama ini tidakberpihak pada rakyat jelata di perbatasan. Para pejabat ini dinilai sudah tidak memikirkan wajah bangsa.
“Nasionalisme bukan diucapkan dengan kata-kata tetapi keterpihakan hati, program yang konkrit dan realisasikebijakan di perbatasan. Itu Nasionalime,” katanya. Dia berharap, para pengambil kebijakan dari berbagai level mau datang melihat kondisi perbatasan.
“Tetapi kami pemuda perbatasan dan masyarakat menolak kalau mereka naik pesawat. Tetapi harus menelusuri sungai supaya jelas apa yang menjadi kesulitan kebutuhan dan kekurangan masyarakat perbatasan,” ujarMuriono, ST selaku Sekjen Pemuda Penjaga Perbatasan,” Jika lewat pesawat apa yang dilihat pastilah indah karena memandang dari atas persoalan pokok tidak didapat. Intinya jangan pendekatan keamanan saja diutamakan tetapi perhatikan juga pendekatan kesejahteraan.”
Eksodus ke Malaysia dan Jadi Kepala Desa
Ketua Umum Pemuda Penjaga Perbatasan Republik Indonesia, Paulus Murang AMd mengatakan, eksodus besar-besaran pernah terjadi di kawasan itu setelah Konfrontasi Republik Indonesia-Malaysia pada 1966 lalu. Banyak warga Indonesia yang sudah menjadi warga negara Malaysia. Beberapa diantaranya bahkan sudahmenjadi kepala desa di sana. Sehingga ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga perbatasan untuk menyusul keluarga mereka yang mulanya hanya mencari kerja. Sambil bekerja mereka berusaha mencari celah mengurus identity card sebagai warga Malaysia dengan berbagai jaminan keluarga yang telah menjadi warga negara Malaysia. Dengan menjadi warga Malaysia tentu mereka bisa mengakses program-program kesejahteraan yang ditawarkan Kerajaan Malaysia terhadap masyarakat setempat. Inilah yang menggoda mereka untuk menyusul menjadi warga negara Malaysia.
“Sebagai contoh Bantuan Dana 1 Malaysia yang mereka sebut dengan istilah BRIM terhadap masyarakat perbatasan di Malaysia dan banyak lagi program yang membuat warga kita tergoda,” ujarnya. Saat ini, kata dia, masih ada warga yang secara diam-diam mengurus IC Malaysia dengan harapan bisa hidup bebas di Malaysia dan memperoleh bantuan-bantuan lainnya.
“Tetapi untuk masalah nasionalisme mereka masih cinta Indonesia. Karena masalah perut saja dan karena kurang diurusi oleh negara sendiri makanya mereka ke sana,” ujarnya.Dia mengatakan, warga yang pada saat lalu eksodus ke Malaysia sebenarnya ingin kembali ke Indonesia, namun kurang mendapatkan tanggapan dari Pemerintah. “Seperti perumahan dan lain sebagainya sebagaimana kami sudah pernah sampaikan ke pusat, tetapi tidak direspon,” ujarnya.
Sumber : TRIBUNNEWS
bodoh.pm malaysi sendiri uda bilang 2hri yg lalu wkt di sabh.wrg asing disabah tidak akan di beri kerakyatan walaupun da beranak pinak. anak yg lahir cuma di beri rekod kelahiran. org2 di nunukan sana mending dibunuh aja.
ReplyDelete