Biak (MI) : Markas Komando Pertahanan Udara Nasional
(Kohanudnas) TNI sangat memerlukan penambahan pesawat buru sergap
lengkap dengan sistem persenjataannya untuk memastikan kedaulatan ruang
udara nasional.
"Pangkalan TNI AU di Medan, Jakarta, Surabaya, Pontianak, dan Makassar perlu dilengkapi tiga pesawat buru sergap sehingga dapat cepat menangkap pelaku pelanggaran wilayah udara nasional," tegas Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional, Marsekal Muda TNI Hadiyan Sumintaatmadja, di Biak, Senin.
Dia ada di Biak untuk menyerahterimakan jabatan panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional IV, dari Marsekal Pertama TNI Asnam Muhidir kepada Kolonel Penerbang Fachri Adamy.
Sebagai komando utama pertahanan udara nasional, Komando Pertahanan Udara Nasional TNI tidak memiliki armada pesawat tempur sendiri. Pada masa Orde Lama, komando ini memiliki "satuan udara pantjar gas" sendiri, yang bisa langsung dikomando panglimanya setelah mendapat perintah dari panglima tertinggi TNI.
Setelah Orde Baru berkuasa hingga kini, yang memiliki jajaran pesawat tempur itu adalah Markas Besar TNI AU, yang terbagi ke dalam dua komando operasi, yaitu Komando Operasi Udara I TNI AU (wilayah barat) dan Komando Operasi Udara II TNI AU (wilayah timur).
Yang dimiliki "secara pribadi" Komando Pertahanan Udara Nasional TNI adalah satuan-satuan radar, yang hingga saat ini berjumlah 20 satuan radar. 12 satuan radar dioperasikan di wilayah barat Indonesia dan delapan di wilayah timur.
Pada sisi lain, dia mengakui bahwa pengadaan pesawat tempur dan sistem arsenal aktif dan pasifnya memerlukan biaya negara yang tidak sedikit dan waktu cukup panjang untuk memproses hingga hadir di Tanah Air.
"Saat ini penanganan pelanggaran ruang udara nasional mengandalkan pesawat tempur Sukhoi. Ya jika jenis pesawat buru sergap kita punya akan sangat membantu percepatan pengejaran pesawat asing melintas secara tidak berizin," kata Sumintaatmadja.
Dari sisi biaya operasionalisasi, pengerahan Sukhoi Su-27/30MKI dari Skuadron Udara 11 yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama TNI AU Hasanuddin, Makassar, sangat tinggi.
Sekitar Rp400 juta diperlukan untuk menerbangkan satu unit Su-27/30MKI Flanker itu, sedangkan operasi pengejaran dan pemaksaan mendarat atau patroli udara selalu dilakukan dalam flight berkekuatan dua unit pesawat tempur.
"Pangkalan TNI AU di Medan, Jakarta, Surabaya, Pontianak, dan Makassar perlu dilengkapi tiga pesawat buru sergap sehingga dapat cepat menangkap pelaku pelanggaran wilayah udara nasional," tegas Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional, Marsekal Muda TNI Hadiyan Sumintaatmadja, di Biak, Senin.
Dia ada di Biak untuk menyerahterimakan jabatan panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional IV, dari Marsekal Pertama TNI Asnam Muhidir kepada Kolonel Penerbang Fachri Adamy.
Sebagai komando utama pertahanan udara nasional, Komando Pertahanan Udara Nasional TNI tidak memiliki armada pesawat tempur sendiri. Pada masa Orde Lama, komando ini memiliki "satuan udara pantjar gas" sendiri, yang bisa langsung dikomando panglimanya setelah mendapat perintah dari panglima tertinggi TNI.
Setelah Orde Baru berkuasa hingga kini, yang memiliki jajaran pesawat tempur itu adalah Markas Besar TNI AU, yang terbagi ke dalam dua komando operasi, yaitu Komando Operasi Udara I TNI AU (wilayah barat) dan Komando Operasi Udara II TNI AU (wilayah timur).
Yang dimiliki "secara pribadi" Komando Pertahanan Udara Nasional TNI adalah satuan-satuan radar, yang hingga saat ini berjumlah 20 satuan radar. 12 satuan radar dioperasikan di wilayah barat Indonesia dan delapan di wilayah timur.
Pada sisi lain, dia mengakui bahwa pengadaan pesawat tempur dan sistem arsenal aktif dan pasifnya memerlukan biaya negara yang tidak sedikit dan waktu cukup panjang untuk memproses hingga hadir di Tanah Air.
"Saat ini penanganan pelanggaran ruang udara nasional mengandalkan pesawat tempur Sukhoi. Ya jika jenis pesawat buru sergap kita punya akan sangat membantu percepatan pengejaran pesawat asing melintas secara tidak berizin," kata Sumintaatmadja.
Dari sisi biaya operasionalisasi, pengerahan Sukhoi Su-27/30MKI dari Skuadron Udara 11 yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama TNI AU Hasanuddin, Makassar, sangat tinggi.
Sekitar Rp400 juta diperlukan untuk menerbangkan satu unit Su-27/30MKI Flanker itu, sedangkan operasi pengejaran dan pemaksaan mendarat atau patroli udara selalu dilakukan dalam flight berkekuatan dua unit pesawat tempur.
Sumber : ANTARA
No comments:
Post a Comment