JAKARTA (MI) – Langkah pemerintah Indonesia yang berencana membeli 42 unit pesawat tempur Chengdu J-10 buatan China kembali menjadi sorotan di tingkat internasional. Pengamat pertahanan global sekaligus Editor EurAsian Times, Nitin J Ticku, menilai keputusan tersebut berpotensi membawa konsekuensi strategis yang perlu dicermati dengan hati-hati.
Menurut Ticku, strategi Indonesia yang membeli berbagai jenis pesawat tempur dari negara berbeda memang menunjukkan ambisi besar untuk memodernisasi kekuatan udaranya. Namun, langkah ini juga dapat menimbulkan tantangan besar dalam hal logistik, pemeliharaan, dan penyediaan suku cadang di masa depan.
“Indonesia tampaknya ingin memiliki semua jenis pesawat tempur terbaik di dunia — dari Rafale buatan Prancis, KAAN dari Turki, KF-21 hasil kerja sama dengan Korea, hingga J-10 dari China,” ujar Ticku. “Namun, keragaman platform yang terlalu besar justru bisa menjadi pedang bermata dua.”
Ia menambahkan, pada masa damai kebijakan ini mungkin terlihat cerdas karena memperluas kerja sama internasional. Namun, dalam kondisi krisis atau konflik sesungguhnya, sistem pertahanan yang terlalu beragam bisa membuat pengelolaan dan kesiapan tempur menjadi rumit.
“Dalam situasi perang, kesulitan pasokan suku cadang dan perbedaan sistem persenjataan dapat menjadi bencana logistik. Saya menilai ini kebijakan yang berisiko tinggi,” tambahnya.
Pengaruh Regional dan Geopolitik
Langkah Indonesia ini juga tak luput dari perhatian negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Australia, bahkan negara besar seperti Amerika Serikat. Ticku menilai, pembelian besar-besaran ini bisa ditafsirkan sebagai bagian dari perubahan dinamika keamanan kawasan Indo-Pasifik.
Meski begitu, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa semua upaya modernisasi pertahanan bersifat defensif, bukan agresif.
![]() |
| Pesawat Tempur J-10 C buatan China |
Rencana Pembelian 42 Unit J-10
Beberapa waktu lalu, Kementerian Pertahanan mengonfirmasi rencana pengadaan 42 unit jet tempur multirole Chengdu J-10 dari Tiongkok sebagai bagian dari program modernisasi TNI AU.
Belum ada konfirmasi resmi apakah Indonesia akan membeli varian J-10B atau J-10C, yang merupakan versi paling mutakhir. Jika yang dipilih adalah J-10B, besar kemungkinan pesawat tersebut merupakan unit bekas Angkatan Udara Tiongkok, karena produksi varian tersebut telah dihentikan sejak 2018 dan digantikan oleh J-10C, yang memiliki keunggulan dalam peperangan elektronik serta kompatibilitas dengan senjata pintar (smart weapon).
Persetujuan Anggaran
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan bahwa pembelian jet tempur generasi 4.5 tersebut telah mendapat persetujuan akhir.
“Semua proses sudah berjalan. Dalam waktu dekat, jet-jet itu akan menghiasi langit Jakarta,” ujarnya singkat kepada wartawan.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan anggaran lebih dari USD 9 miliar untuk proyek tersebut.
“Dari sisi pembiayaan sudah aman, tinggal menunggu proses pengiriman dari Beijing,” ungkapnya.
Pergeseran Strategi dan Implikasi Diplomatik
Sejumlah analis menilai, pembelian J-10 ini bisa menandakan pergeseran arah strategi pertahanan udara Indonesia. Langkah tersebut bahkan memunculkan spekulasi bahwa tambahan pembelian jet Rafale dari Prancis mungkin akan ditunda atau bahkan dibatalkan.
Secara geopolitik, keputusan ini mencerminkan upaya Indonesia menjaga posisi non-blok, dengan menyeimbangkan hubungan antara kekuatan Barat, Rusia, dan Tiongkok.
Dengan demikian, pembelian J-10C bukan hanya sekadar pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), tetapi juga bagian dari peta besar diplomasi pertahanan Indonesia di tengah persaingan global yang semakin kompleks.


No comments:
Post a Comment