PENKOPASSUS (MI) : Selama ini, kendala yang dihadapi oleh
bangsa kita adalah sebagian alutsista yang dimiliki diperoleh dengan
membeli dari luar negeri. Sementara itu, akhir-akhir ini kita mulai
mengenalkan salah satu alutsista baru, yaitu drone atau Unmanned Combat
Aerial Vehicle (UCAV). Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir ini
pihak TNI sudah memiliki pesawat nir awak ini. Salah satumya, yang
sekarang digunakan oleh Dinas Topografi Angkatan Darat, yaitu UAV
(Unmanned Aerial Vehicle) Skywalker dan Hexacopter. Jenis yang digunakan
adalah UAV, bukan UCAV yang ada unsur ‘Combat’ didalamnya.
Biaya pengoperasian diklaim murah, juga
menggunakannya tak rumit. Penggunaan drone itu selain berguna untuk
pertahanan, juga disebutkan bermanfaat untuk melindungi kekayaan
Indonesia. Sebelas tahun lalu, AS yang mendominasi penggunaan pesawat
tanpa awak ini. Namun sekarang bukan lagi monopoli AS, karena makin
banyak negara yang berminat mengembangkan atau membelinya, termasuk
Indonesia.
Ketika mantan Presiden AS George W Bush
mengumumkan “Perang Atas Teror”, CNN menyebutkan Pentagon hanya memiliki
kurang dari 50 pesawat tanpa awak. Kini, negara adidaya itu memiliki
lebih dari 7.500 pesawat, dan pesawat-pesawat tersebut telah memiliki
kemampuan seperti pesawat tempur biasa yang bisa menggempur sasaran
menggunakan rudal-rudal, baik untuk serangan darat maupun udara. Berbeda
dengan negara lain yang hanya bisa untuk tugas mata-mata.
Sejauh ini, baru AS, Israel dan Inggris
yang diketahui telah menggunakan pesawat tanpa awak atas musuh mereka.
Belakangan ini banyak negara sudah menggunakan drone, seperti Korea
Utara yang dilaporkan telah mengirimkannya ke wilayah Korsel. Bahkan
pesawat tanpa awak juga digunakan Republik Rakyat Cina untuk memantau
suatu kepulauan tak berpenghuni di Laut Cina Selatan yang disengketakan
oleh Jepang, Cina, dan Taiwan.
Karena biayanya cukup murah dan
efektivitas lebih tinggi, yang menyebabkan banyak negara mengembangkan
pesawat tanpa awak. Misalnya harga pesawat militer berawak seperti F-35C
mencapai US$ 63 juta. Pesawat supersonik itu memang memiliki multi
fungsi, seperti pertempuran udara ke udara, dukungan udara jarak dekat
dan pengeboman taktis. Di sisi lain, harga drone jauh lebih murah,
padahal sebagian peran pesawat berawak itu sudah diambil alih drone.
Pengoperasian “drone” tak menimbulkan
risiko kehilangan awaknya meski dioperasikan di medan yang sangat berat,
sementara risiko kehilangan pilot cukup besar di pesawat tempur
berawak. Di masa depan, penyerangan dan perang udara (dog fight) bukan
tidak mungkin akan diperankan oleh pesawat-pesawat tempur tanpa awak ini
unmaned combat aerial vechile (UCAV), bukan lagi pesawat tempur
konvensional. Seperti jenis ‘Predator’ yang digunakan oleh Amerika
Serikat.
Predator adalah UAV yang dirancang dan
dibangun oleh General Atomics Corporation di San Diego, California. Pada
saat diperkenalkan pada tahun 1995, kemampuan teknologi dan peran
Predator masih terbatas pada pengawasan dan misi intelijen untuk Central
Intelligence Agency (CIA).
Sejak tahun 2001, misi Predator milik AU
AS berkembang menjadi misi menyerang “Buru dan Bunuh”. Predator menjadi
wahana tak berawak tempur utama di Irak, Afghanistan dan Pakistan.
Sementara itu, jenis kedua yang dimiliki
AS adalah MQ-9 Reaper merupakan konsep UAV tempur yang berevolusi dari
varian Predator B. Pada saat Reaper pertama kali diluncurkan oleh
General Atomics pada tahun 2001, penampilannya sudah berbeda dengan
spesifikasi desain asli Predator, sehingga pada dasarnya Reaper adalah
UAV yang sama sekali berbeda. MQ-9 lebih berat dan lebih ampuh
dibandingkan Predator. Meskipun demikian masih tetap bisa dikendalikan
dengan sistem pengendali lama untuk Predator.
Kedua jenis ini UAV memiliki ketinggian
operasional normal 25.000 kaki, tapi Reaper mampu mencapai ketinggian
operasional maksimum 50.000 kaki. Predator dilengkapi dua rak senjata
dan dapat membawa kombinasi dua rudal Hellfire, empat rudal Stinger
kecil dan enam rudal udara-ke-udara Griffin. Sedangkan Reaper memiliki
tujuh rak senjata dan dapat membawa kombinasi senjata hingga 14 rudal
Hellfire, dua bom panduan laser Paveway 500 pon dan dua bom JDAM 500
pon.
Sebagai mesin perang di udara, pesawat
“drone” sudah terbukti keampuhannya. Pesawat “Predator” milik AS yang
berpangkalan di Afghanistan, menjadi mesin perang andalan negara itu di
Afghanistan dan Yaman. Harga Predator jauh lebih murah dibandingkan
dengan biaya pesawat pengebom B-2 Stealth yang harganya berkisar US$ 737
juta hingga US$ 2,2 miliar per unit.
Semakin maraknya konflik bersenjata dan
sengketa perbatasan antarnegara, terutama di perbatasan yang kaya akan
sumber daya alam, akan mendorong banyak negara untuk mengembangkan
pesawat tanpa awak untuk keperluan pengintaian maupun misi militer
lainnya. Indonesia sendiri memiliki masalah perbatasan dengan negara
tetangganya, sementara kekayaan maritimnya banyak dicuri nelayan asing.
CNN menyebutkan lebih dari 70 negara kini memiliki pesawat tanpa awak, meski hanya sebagian kecil dari negara itu yang memiliki pesawat puna yang dipersenjatai. Lonjakan kemajuan teknologi pesawat tanpa awak, akan mengubah cara pandang suatu negara menghadapi perang dan ancaman, yang tentunya memacu perlombaan senjata. AS serta Israel sejauh ini merupakan eksportir utama teknologi dan pesawat drone ke banyak negara.
Melihat konflik perbatasan yang makin
rawan di masa depan, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam
yang semakin terbatas, merupakan langkah tepat yang diambil Indonesia
untuk mengembangkan pesawat puna (tanpa awak) sendiri.
Indonesia Mampu
Indonesia sudah melakukan kajian dan
rekayasa teknologi untuk mengembangkan drone. Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), pernah menguji terbang prototipe pesawat
tanpa awak terbaru di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Meski dinilai
sukses, namun performa pesawat itu masih jauh dari memuaskan, seperti
suara mesinnya yang masih terlalu bising. Dengan kata lain, pesawat
nirwana semestinya tidak berisik atau tidak mengeluarkan suara besar.
Pesawat puna buatan Indonesia, diberi nama Luwung yang mempunyai bentang
sayap 6,36 meter, dan terbuat dari bahan komposit.
Pesawat ini mampu terbang empat jam pada
ketinggian 8.000 kaki, dapat lepas landas pada jarak 300 meter, serta
memiliki kecepatan operasional 52-69 knot. Sistem pengintaian yang
dipunyai adalah peralatan “target lock camera system” untuk misi
pengintaian, serta mampu terbang hingga 73,4 km.
Hanya saja, penelitian dan pengembangan
pesawat tanpa awak Indonesia memang masih harus terus ditingkatkan,
seperti bagaimana mengembangkan jarak tempuh operasionalnya, menambah
daya angkutnya serta bagaimana meminimalkan tingkat kebisingannya.
Indonesia baru memasuki fase pengembangan teknologi, setelah itu baru
masuk ke tahapan “engineering manufacturing”, kemudian yang terakhir
adalah tahap produksi.
Mulai tahun 2011, BPPT dan Kementerian
Pertahanan (Kemenhan) sudah bekerja sama mengembangkan drone untuk misi
pemantauan dari udara. BPPT telah mengembangkan pesawat udara nir awak
sejak tahun 2004, dan telah menghasilkan berbagai prototipe puna,
seperti Gagak, Pelatuk, Seriti, Alap-alap dan terakhir “Wulung” atau
burung elang. Kesemuanya untuk mendukung patroli di perbatasan
Indonesia. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigjen
TNI Sisriadi mengatakan, saat ini Kemenhan bahkan sudah memiliki
program pengadaan pesawat tanpa awak.
Sisriadi menambahkan, saat ini Kemenhan
sudah memiliki empat unit pesawat tanpa awak yang disebut Wulung.
Program pembuatan pesawat itu, kata dia, merupakan kerja sama konsorsium
antara Kemenhan, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), dan PT
Dirgantara Indonesia.
Selain itu, Sisriadi menjelaskan,
pihaknya juga mendatangkan dua pesawat tanpa awak dari Filipina.
Rencananya pesawat tanpa awak dari dalam dan luar negeri itu akan
digabungkan dalam satu skuadron atau 16 unit dengan komposisi 50:50.
Sumber : KOPASSUS
pertanyaannya bukan MAMPU ATAU TIDAK? tp MAU APA TIDAK???? kembali lg urusan anggaran itu ada di DPR tempatnya.....merekalah sang WAKIL RAKYAT (konon katanya sih)....
ReplyDelete