BERAU (MI) :
Seorang manusia perahu mengakui kesalahannya mencuri hasil laut di
perairan Indonesia. Dia bersedia untuk dipulangkan ke asalnya di
Bangau-Bangau, Samporna, Malaysia.
"Saya bersedia ditembak jika kembali lagi ke Indonesia," ujar dia di
tempat penampungan lapangan Bulalung, Kecamatan Pulau Derawan, Kampung
Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Kalimantan Utara, Rabu (26/11/2014).
"Manusia perahu itu tidak mau menyebut namanya. Kepada petugas, ia
mengaku tak bisa berbahasa Indonesia. Dia hanya dapat berkomunikasi
dengan bahasa Suku Bajo. Komunikasi dia dan petugas dibantu penduduk
setempat yang mengerti bahasa mereka.
Pria yang datang bersama tiga anak dan satu istrinya itu mengaku
telah 10 tahun terakhir mencari hasil laut di perairan Indonesia. Dia
beli satu mesin kapal bekas di Pulau Balikuku, salah satu pulau di
Kabupaten Berau. Mesin itu lalu ia perbaiki sendiri untuk dipakai
melaut.
"Beli mesinnya Rp 500.000," ujar dia.
Untuk hidup sehari-hari, dia membeli bahan makanan, baju, dan
perlengkapan lain di sejumlah pulau di Berau. Mereka memasak di dalam
kapalnya sendiri di tengah laut. Kendati demikian, dia menampik bahwa
hasil laut yang didapat dari perairan Berau dijual ke Malaysia.
Menurut dia, seluruh hasil ikannya dijual ke masyarakat pulau
setempat. Hal inilah yang tidak dipercayai oleh pejabat pemerintahan
setempat. Bupati Berau Makmur Hapk menyebut manusia perahu berbohong.
"Sudah ada buktinya, mereka ini jual ke kapal besar di perbatasan.
Mereka ini suka begitu, 'Abunawas' juga, supaya mereka tetap bisa melaut
di perairan kita," ujar Makmur.
Saat ini, sebanyak 544 manusia perahu masih ditampung di tenda
kampung Tanjung Batu, Berau. Sesuai rencana, mereka akan dipulangkan ke
tempat asalnya setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL,
Polri, Pemkab Berau, Kementerian Luar Negeri, dan instansi lainnya
berkoordinasi dengan Pemerintah Malaysia.
Asal-usul "Manusia Perahu"
Keberadaan ratusan 'manusia perahu' di
perairan Berau, Kalimantan Timur, memancing perhatian publik. Terlebih,
ketika sebanyak 544 'manusia perahu' ditangkap dengan tuduhan melakukan
pencurian hasil laut di Indonesia. Sejak kapan dan bagaimana mereka bisa
berada di wilayah Indonesia?
Bupati Berau Makmur Hapk mengatakan, berdasarkan laporan masyarakat setempat, sejak tahun 1970-an manusia perahu sudah "menjajah" perairan Indonesia. Masyarakat Berau mengenal mereka sebagai warga Suku Bajo, suku yang turun temurun bekerja sebagai pelaut yang tersebar di Sulawesi, Malaysia, hingga Filipina.
"Tapi, zaman dulu itu mereka dianggap jahat. Merampok di tengah laut, mencuri kapal dan sebagainya," ujar Makmur, di tenda penampungan.
Seiring berjalannya waktu, manusia perahu tak hanya muncul sebagai perompak, tetapi juga nelayan. Mereka yang mengaku sebagai nelayan inilah yang mulai masuk lalu berinteraksi dengan masyarakat setempat dan mendapatkan penerimaan. Biasanya, mereka tinggal di sebuah desa dekat Bangau-Bangau, Samporna, Malaysia yang mencari ikan berbulan-bulan di laut.
Entah sengaja atau tidak, tahu atau tidak, mereka memasuki wilayah perairan Indonesia dengan membawa serta anak dan istri. Bahkan, satu kapal ada yang terdiri dari tiga atau empat keluarga. Ketika ditanya petugas, mereka tidak mengaku menjual ikan-ikannya ke Malaysia. Padahal, menurut citra satelit, usai menangkap ikan, mereka bertemu dengan kapal-kapal berukuran besar dan menjual hasil tangkapan ikan ke kapal itu. Kapal besar itu kerap menunggu di perbatasan laut Indonesia-Malaysia untuk kemudian dijual di negeri jiran tersebut.
Bukti-bukti yang didapatkan petugas satuan keamanan laut Indonesia, di kapal-kapal tersebut banyak didapati tabung gas bermerk Petronas, mata uang ringgit dan sejumlah barang-barang yang tidak biasa dijual di Indonesia.
Semakin masif dalam 10 tahun terakhir
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad menyebut, jumlah manusia perahu yang masuk ke perairan Indonesia semakin banyak dalam 10 tahun terakhir.
"Tahun 2010 sudah pernah ditindak. Ada 153 manusia perahu yang kita kembalikan ke perbatasan Indonesia-Malaysia," ujar Sudirman.
Puncaknya, saat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti blusukan ke kepulauan tersebut. Susi menerima aduan masyarakat setempat yang terganggu dengan kian masifnya nelayan asing di perairan yang berstatus wilayah konservasi tersebut.
"Malam itu juga Ibu Menteri memerintahkan untuk mengamankan manusia perahu. Malam itu juga TNI AL dan Polri bergerak mencari manusia perahu di laut," ujar Sudirman.
Mereka melanggar Pasal 35A ayat (1) juncto Pasal 35A ayat (3) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, yang berbunyi, "Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia wajib menggunakan nahkoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia".
Selain itu, mereka juga melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf c juncto Pasal 100 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang berbunyi, "Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan".
Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, Polri dan instansi terkait akan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Malaysia untuk mencari solusi atas persoalan 'manusia perahu' tersebut. Mereka diusahakan dikembalikan ke asalnya.
Bupati Berau Makmur Hapk mengatakan, berdasarkan laporan masyarakat setempat, sejak tahun 1970-an manusia perahu sudah "menjajah" perairan Indonesia. Masyarakat Berau mengenal mereka sebagai warga Suku Bajo, suku yang turun temurun bekerja sebagai pelaut yang tersebar di Sulawesi, Malaysia, hingga Filipina.
"Tapi, zaman dulu itu mereka dianggap jahat. Merampok di tengah laut, mencuri kapal dan sebagainya," ujar Makmur, di tenda penampungan.
Seiring berjalannya waktu, manusia perahu tak hanya muncul sebagai perompak, tetapi juga nelayan. Mereka yang mengaku sebagai nelayan inilah yang mulai masuk lalu berinteraksi dengan masyarakat setempat dan mendapatkan penerimaan. Biasanya, mereka tinggal di sebuah desa dekat Bangau-Bangau, Samporna, Malaysia yang mencari ikan berbulan-bulan di laut.
Entah sengaja atau tidak, tahu atau tidak, mereka memasuki wilayah perairan Indonesia dengan membawa serta anak dan istri. Bahkan, satu kapal ada yang terdiri dari tiga atau empat keluarga. Ketika ditanya petugas, mereka tidak mengaku menjual ikan-ikannya ke Malaysia. Padahal, menurut citra satelit, usai menangkap ikan, mereka bertemu dengan kapal-kapal berukuran besar dan menjual hasil tangkapan ikan ke kapal itu. Kapal besar itu kerap menunggu di perbatasan laut Indonesia-Malaysia untuk kemudian dijual di negeri jiran tersebut.
Bukti-bukti yang didapatkan petugas satuan keamanan laut Indonesia, di kapal-kapal tersebut banyak didapati tabung gas bermerk Petronas, mata uang ringgit dan sejumlah barang-barang yang tidak biasa dijual di Indonesia.
Semakin masif dalam 10 tahun terakhir
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad menyebut, jumlah manusia perahu yang masuk ke perairan Indonesia semakin banyak dalam 10 tahun terakhir.
"Tahun 2010 sudah pernah ditindak. Ada 153 manusia perahu yang kita kembalikan ke perbatasan Indonesia-Malaysia," ujar Sudirman.
Puncaknya, saat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti blusukan ke kepulauan tersebut. Susi menerima aduan masyarakat setempat yang terganggu dengan kian masifnya nelayan asing di perairan yang berstatus wilayah konservasi tersebut.
"Malam itu juga Ibu Menteri memerintahkan untuk mengamankan manusia perahu. Malam itu juga TNI AL dan Polri bergerak mencari manusia perahu di laut," ujar Sudirman.
Mereka melanggar Pasal 35A ayat (1) juncto Pasal 35A ayat (3) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, yang berbunyi, "Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia wajib menggunakan nahkoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia".
Selain itu, mereka juga melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf c juncto Pasal 100 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang berbunyi, "Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan".
Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, Polri dan instansi terkait akan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Malaysia untuk mencari solusi atas persoalan 'manusia perahu' tersebut. Mereka diusahakan dikembalikan ke asalnya.
Malaysia Klaim Manusia Perahu Bukan Warga Negaranya
Perwakilan Konsulat Jenderal Malaysia
sempat mendatangi tempat penampungan sementara manusia perahu di
lapangan Bulalung, Kecamatan Pulau Derawan, Kampung Tanjung Batu,
Kabupaten Berau, Kalimantan Utara. Mereka menampik manusia perahu
disebut sebagai warga negara Malaysia.
"Mereka (Pemerintah Malaysia) saja itu menolak manusia perahu ini.
Mereka bilang, manusia perahu bukan warga Malaysia," ujar Bupati Berau
Makmur Hapk di lokasi penampungan, kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2014).
Makmur mengatakan, Pemerintah Malaysia menganggap manusia perahu
bukan warga negaranya lantaran mereka tidak memiliki kartu identitas
asal Malaysia. Makmur menyayangkan pernyataan pemerintah negeri jiran
tersebut.
Sebab, berdasarkan pengakuan beberapa manusia perahu sendiri, mereka
berasal dari sebuah kampung Bangau-Bangau Samporna, Malaysia. Keberadaan
mereka di Indonesia untuk mencari ikan.
"Keberadaan mereka di Indonesia ini sudah sejak tahun 1970-an loh.
Jadi, tidak mungkin mereka ini dari negara lainnya. Kami tahu. Dulu
jumlahnya masih sedikit, tetapi makin ke sini kok makin banyak," ujar
Agus.
Agus berharap supaya pemerintah pusat dengan segera mengambil
tindakan tegas berupa mendeportasi 544 manusia perahu yang diamankan
satuan laut Indonesia.
Manusia perahu adalah warga Suku Bajo yang ditangkap satuan keamanan
laut KKP, beberapa waktu lalu. Mereka tidak terdaftar sebagai warga
negara Indonesia. Mereka kebanyakan berasal dari Samporna di Malaysia
dan Filipina. Pemerintah Indonesia menganggap mereka mencuri hasil laut
Indonesia untuk dijual ke negara lain.
Manusia Perahu: Kalau Pulang ke Malaysia, Kami Dikejar, Dibunuh
Namurati, salah satu manusia perahu yang
ditangkap aparat Indonesia, mengaku tidak mau pulang ke desa asalnya di
Malaysia. Ia dan 543 manusia perahu lainnya kini ditampung di tempat
penampungan lapangan Bulalung, Kecamatan Pulau Derawan, Kampung Tanjung
Batu, Kabupaten Berau, Kalimantan Utara.
"Saya tidak mau (pulang ke Malaysia). Kalau pulang, kami dikejar,
dibunuh," ujar Namurati di tempat penampungan, Rabu (26/11/2014).
Namurati diam saja saat ditanya siapa yang akan berbuat seperti itu
kepada dia dan anak istrinya. Sama seperti ratusan manusia perahu
lainnya, Namurati tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia hanya dapat
berkomunikasi dengan bahasa Suku Bajo.
Komunikasi Namurati dengan Kompas.com dibantu oleh penduduk
setempat yang mengerti bahasa mereka. Namurati ditangkap di perairan
Balikukup, salah satu pulau kecil di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Dia ditangkap dalam satu kapal kayu bersama empat anak serta satu
istrinya yang tengah mengandung, dengan usia kandungan empat bulan.
Namurati mengaku tidak ingat jelas berapa lama dia berada di laut.
Dia menyebut, kemungkinan, satu minggu lebih. Sebelumnya, dia mengaku
tinggal di Samporna, Malaysia.
"Namun, tidak punya kartu identitas," ujar dia.
Untuk bertahan hidup di laut, Namurati membeli bahan makanan, seperti
singkong, ubi, beras, gula, dan kopi, di pulau-pulau kecil di Berau.
Bahan-bahan makanan itu diolah di perahu kayu yang diakuinya dibeli di
Pulau Balikukup, salah satu pulau di Berau.
Namurati menampik menjual hasil lautnya di Malaysia. Menurut dia,
seluruh hasil laut yang dicurinya dari perairan Indonesia kemudian
dijual di Pulau Balikukup. Uang hasil penjualan ikan itu diputar kembali
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namurati ingin tetap bisa melaut di perairan Indonesia. Menurut dia, hasil laut di perairan Indonesia sangat banyak.
Manusia perahu adalah warga Suku Bajo yang ditangkap satuan keamanan
laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, dan Polri beberapa waktu
lalu. Mereka tidak terdaftar sebagai warga negara Indonesia. Mereka
kebanyakan berasal dari Samporna di Malaysia dan Filipina.
Pemerintah Indonesia menganggap mereka mencuri hasil laut Indonesia
untuk dijual ke negara lain berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Rencananya, mereka akan dikembalikan ke asalnya.
"Kami Tidak Mau Kasus Sipadan-Ligitan Terulang..."
Keberadaan "manusia perahu" di kepulauan
Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, bukan semata jadi masalah
karena pencurian ikan, melainkan juga terkait kedaulatan negara. Mereka
bukan warga negara Indonesia tetapi "menetap" di wilayah Indonesia.
"Mereka sudah ada di Indonesia lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sudah sering diusir, tapi kembali lagi," kata Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad, Selasa (25/11/2014).
Berbicara di tenda penampungan "manusia perahu" di lapangan Bulalung, Kecamatan Pulau Derawan, Kampung Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Sudirman mengatakan seluruh "manusia perahu" dari Suku Bajo ini bukan warga negara Indonesia. Mereka, sebut dia, berasal dari Bangau-Bangau, Samporna, Malaysia.
Menurut Sudirman, selama 2014 saja sudah terdata ada 544 orang "manusia perahu" yang ditangkap. Berdasarkan laporan dari warga setempat, tak setiap saat para "manusia perahu" ini berada di laut. Kadang-kadang, orang-orang ini juga tinggal di pulau-pulau kecil milik Indonesia.
Sudirman khawatir jika "manusia perahu" itu sampai terus-menerus menempati pulau-pulau kecil tersebut maka populasinya akan bertambah dan mengalahkan jumlah penduduk asli. Bila sampai terjadi, kata dia, ada potensi wilayah itu bisa "lepas" dari Indonesia.
Kedaulatan dan kemanusiaan
"Ingat kasus Sipadan-Ligitan? Pulau itu milik Indonesia, tapi internasional memenangkan Malaysia atas bukti bahwa pulau itu dihuni, dikelola warga negara mereka. Nah, kami tidak mau kasus Sipadan-Ligitan terulang," papar Sudirman.
Pada Selasa malam, Sudirman menggelar rapat mendadak dengan Kementerian Luar Negeri, TNI Angkatan Laut, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), dan Kementerian Pertahanan. Rapat itu bertujuan mencarikan solusi persoalan "manusia perahu".
"Kepentingan utama kita adalah kedaulatan Indonesia. Kedua, baru kemanusiaan. Kita akan usahakan memulangkan mereka ke asalnya masing-masing," imbuh Sudirman.
Seperti diberitakan sebelumnya, "manusia perahu" ditangkap di Derawan oleh satuan pengamanan laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, beberapa waktu lalu.
"Mereka sudah ada di Indonesia lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sudah sering diusir, tapi kembali lagi," kata Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad, Selasa (25/11/2014).
Berbicara di tenda penampungan "manusia perahu" di lapangan Bulalung, Kecamatan Pulau Derawan, Kampung Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Sudirman mengatakan seluruh "manusia perahu" dari Suku Bajo ini bukan warga negara Indonesia. Mereka, sebut dia, berasal dari Bangau-Bangau, Samporna, Malaysia.
Menurut Sudirman, selama 2014 saja sudah terdata ada 544 orang "manusia perahu" yang ditangkap. Berdasarkan laporan dari warga setempat, tak setiap saat para "manusia perahu" ini berada di laut. Kadang-kadang, orang-orang ini juga tinggal di pulau-pulau kecil milik Indonesia.
Sudirman khawatir jika "manusia perahu" itu sampai terus-menerus menempati pulau-pulau kecil tersebut maka populasinya akan bertambah dan mengalahkan jumlah penduduk asli. Bila sampai terjadi, kata dia, ada potensi wilayah itu bisa "lepas" dari Indonesia.
Kedaulatan dan kemanusiaan
"Ingat kasus Sipadan-Ligitan? Pulau itu milik Indonesia, tapi internasional memenangkan Malaysia atas bukti bahwa pulau itu dihuni, dikelola warga negara mereka. Nah, kami tidak mau kasus Sipadan-Ligitan terulang," papar Sudirman.
Pada Selasa malam, Sudirman menggelar rapat mendadak dengan Kementerian Luar Negeri, TNI Angkatan Laut, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), dan Kementerian Pertahanan. Rapat itu bertujuan mencarikan solusi persoalan "manusia perahu".
"Kepentingan utama kita adalah kedaulatan Indonesia. Kedua, baru kemanusiaan. Kita akan usahakan memulangkan mereka ke asalnya masing-masing," imbuh Sudirman.
Seperti diberitakan sebelumnya, "manusia perahu" ditangkap di Derawan oleh satuan pengamanan laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, beberapa waktu lalu.
Nelayan Lokal Bilang Manusia Perahu Kerap Meminta Paksa Perbekalan
Keberadaan nelayan asal Malaysia yang disebut
manusia perahu di kawasan Derawan, Berau, Kalimantan Timur, membuat
nelayan lokal takut. Para manusia perahu itu disebut sering memaksa
meminta makanan para nelayan saat sama-sama di tengah laut.
"Mereka sering datangi kapal kami, minta apa saja, beras, minta air. Kalau enggak dikasih, ya maksa," ujar Bahri, seorang nelayan di Pulau Derawan, Rabu (26/11/2014). Dia dan para nelayan lokal lain mengaku kerap tidak bisa berbuat banyak dan memberikan apa yang diminta itu karena kalah jumlah orang di kapal.
"Mereka kan kalau melaut itu bisa belasan orang. Laki-lakinya saja sudah berapa, meski ada anak-anak. Kami takut diapa-apain kan kalau tidak kasih," lanjut Bahri.
Bahri bertutur pula bahwa para manusia perahu tersebut kerap mengambil ikan dengan cara yang tak sesuai ketentuan. Perairan Derawan ini adalah wilayah konservasi laut, dengan pembagian zona yang diizinkan diambil ikannya dan ada yang menjadi zona larangan. Aturan soal inilah yang sering dilanggar para manusia perahu itu.
"Makanya, hasil tangkapan kami makin ke sini makin sedikit karena wilayah yang jadi titik ikan bertelur, beranak, sudah dirusak nelayan asing itu," lanjut Bahri. Dia yang juga menjadi ketua kampung di Pulau Derawan berharap persoalan tersebut jadi prioritas pemerintah pusat.
Bahri berharap tidak ada lagi nelayan asing yang bisa sesuka hati masuk perairan Indonesia dan menjarah hasil lautnya. Saat ini, 544 manusia perahu ditampung di tenda Kampung Tanjung Batu, Berau, setelah ditangkap satuan keamanan laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI dan Polri.
Para manusia perahu ini adalah warga suku Bajo dari Samporna, Malaysia, dan Filipina. Pemerintah Indonesia menganggap mereka mencuri hasil laut Indonesia untuk dijual ke negara lain berdasarkan bukti-bukti yang ada. Rencananya, mereka akan dikembalikan ke asalnya dan sedang dalam proses koordinasi dengan kementerian lain.
"Mereka sering datangi kapal kami, minta apa saja, beras, minta air. Kalau enggak dikasih, ya maksa," ujar Bahri, seorang nelayan di Pulau Derawan, Rabu (26/11/2014). Dia dan para nelayan lokal lain mengaku kerap tidak bisa berbuat banyak dan memberikan apa yang diminta itu karena kalah jumlah orang di kapal.
"Mereka kan kalau melaut itu bisa belasan orang. Laki-lakinya saja sudah berapa, meski ada anak-anak. Kami takut diapa-apain kan kalau tidak kasih," lanjut Bahri.
Bahri bertutur pula bahwa para manusia perahu tersebut kerap mengambil ikan dengan cara yang tak sesuai ketentuan. Perairan Derawan ini adalah wilayah konservasi laut, dengan pembagian zona yang diizinkan diambil ikannya dan ada yang menjadi zona larangan. Aturan soal inilah yang sering dilanggar para manusia perahu itu.
"Makanya, hasil tangkapan kami makin ke sini makin sedikit karena wilayah yang jadi titik ikan bertelur, beranak, sudah dirusak nelayan asing itu," lanjut Bahri. Dia yang juga menjadi ketua kampung di Pulau Derawan berharap persoalan tersebut jadi prioritas pemerintah pusat.
Bahri berharap tidak ada lagi nelayan asing yang bisa sesuka hati masuk perairan Indonesia dan menjarah hasil lautnya. Saat ini, 544 manusia perahu ditampung di tenda Kampung Tanjung Batu, Berau, setelah ditangkap satuan keamanan laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI dan Polri.
Para manusia perahu ini adalah warga suku Bajo dari Samporna, Malaysia, dan Filipina. Pemerintah Indonesia menganggap mereka mencuri hasil laut Indonesia untuk dijual ke negara lain berdasarkan bukti-bukti yang ada. Rencananya, mereka akan dikembalikan ke asalnya dan sedang dalam proses koordinasi dengan kementerian lain.
Sumber : KOMPAS
pulangkan aja. memang bjingan tu malaysia. anjing memang malaysia. ayo pak jokowi pulangkan paksa ke malaysia. raja raja melayu wajib dibunuh.
ReplyDeletePelihara mereka ajari dan didik baik-baik sehingga mereka manjadi WNI yang baik, mereka juga manusia yang punya hak untuk hidup layak, agar mereka cinta indonesia sebagai garda perbatasan yang tangguh dikemudian hari amin
ReplyDeletejadikan intel gelap seperti film salt
DeleteKita sama2 manusia stiap mslah bisa diselesaikan tapi mungkin dinegrinya merasa tdk aman jdi memilih hidup begini nih..dipulangkan aja ..kasihan
ReplyDeletedasar malingsial, sekali maling tetap saja maling
ReplyDeleteMakanya saya bilang semua orang Indonesia itu bodoh. Hanya krn mereka pakai tabung gas merek petronas dan punya beberapa lembaran ringgit, anda bilang mereka warga Malaysia? Jadi warga Indonesia di Entikong, Sebatik dan di daerah perbatasan lainnya yang sehari-hari pakai ringgit dan gas petronas itu gimana?
ReplyDeleteOh ya, sekalian lihat peta juga ya. Bangau-bangau itu termasuk dalam wilayah filipina meski jaraknya lebih dekat dengan Malaysia.
http://en.m.wikipedia.org/wiki/Bongao,_Tawi-Tawi
ReplyDeleteNah, untuk orang Indonesia yg bodoh, tapi sok pintar, saya pautkan peta di mana letaknya bangau-bangau
MALINGSIA.....DASAR NEGARA MALING MEMANG MALING. NEGARANYA SIH ISLAM TAPI FORMALITAS SAJA TAK UBAH NYA ANTEK DAJJAL DI AKHIR ZAMAN
Delete