Theglobal-review (MI) : Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kerangka utama yang
mendasari pembentukan bangsa dan negara Republik Indonesia. Negara
kesatuan tersebut terbentuk dari keberagaman budaya dan bahasa yang
tersebar dari sabang sampai marauke. Maka sudah selayaknya setiap unsur
masyarakat Indonesia berkumpul dan bersatu demi mempertahankan NKRI.
Berbagai
upaya kelompok atau golongan masyarakat dalam bentuk gerakan
separatisme dengan tujuan untuk memisahkan diri dari NKRI merupakan
masalah bangsa yang harus terselesaikan. Untuk itu, penyelesaian kasus
separatisme di Papua (Papua dan Papua Barat) secara simultan dan
intensif terus dilakukan dengan menitikberatkan pada upaya peningkatan
kondisi keamanan dan ketertiban. Selain itu, upaya lain dilakukan dengan
pelaksanaan otonomi khusus yang memberikan kewenangan kepada daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Seperti yang
dikemukakan oleh Marthin Luther King Jr bahwa kedamaian tidak
ditunjukkan dari ketiadaan konflik, melainkan hadirnya keadilan. Karena
itu hukum harus ditegakkan di Papua.
Berdasarkan
sejarah, tanggal 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengembalikan Irian Barat ke pemerintah Republik Indonesia. Akan tetapi
dengan syarat bahwa rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk
menentukan sendiri apakah bergabung dengan NKRI atau membentuk negara
sendiri sebelum akhir tahun 1969. Sesuai dengan syarat tersebut,
Pemerintah Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
tahun 1969. Hasil Pepera menunjukkan keinginan mutlak rakyat Irian Barat
untuk bergabung dengan NKRI. Keabsahan Pepera juga diakui dunia dengan
keluarnya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969.
Dalam sidang itu, 82 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada
yang menyatakan tidak setuju atas keabsahan Pepera Papua.
Seiring
dengan keberadaan Papua pada pangkuan ibu pertiwi ( NKRI ), muncul pula
gerakan yang menamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari NKRI. Tindakan tersebut
dilakukan dengan teror-teror bersenjata terhadap pemerintah, TNI/Polri
maupun masyarakat sipil.
Hal
ini tentu mengganggu kemanan dan ketertiban serta proses pembangunan di
Papua, sehingga keberadaanya tidak diterima masyarakat. Aparat
pemerintah, dalam hal ini Polri, dibantu TNI giat melaksanakan patroli
dan pengamanan di daerah-daerah dimana OPM beraksi dan tidak segan-segan
menumpas yang bersenjata (insurgensi). Karena semakin terdesak,
kelompok separatis ini memindahkan basis ke hutan dan gunung, terutama
di daerah Puncak Jaya.
Tanggal
6 Januari 2014, di Jakarta, Ketua Presidium Indonesia Police Watch
(IPW), Neta S Pane, mengatakan, sepanjang tahun 2013 penembakan oleh
kelompok sipil bersenjata di Papua meningkat hingga menewaskan 19 orang
dan menyatakan bahwa Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu
menghentikannya. Kelompok bersenjata ini menyerang pos polisi di
Kulirik, Puncak Jaya, Papua. Dua Brimob yang bertugas di pos melarikan
diri saat diserang. Sehingga delapan pucuk senjata api milik Brimob
direbut kelompok tersebut. IPW mencatat sejak 2009 hingga awal 2014
terjadi aksi kekerasan bersenjata di Papua, menewaskan 41 orang, baik
sipil maupun aparat keamanan. Sedangkan pada 2011 hingga 2012, sebanyak
26 sipil dan 14 aparat tewas. Negara tidak dapat membasmi kelompok sipil
bersenjata di Papua ini mengindikasikan adanya pembiaran terhadap aksi
kekerasan di wilayah Papua. Bahkan aksi penembakan yang menewaskan
delapan anggota TNI di Pos TNI Puncak Jaya pada 21 Februari 2013 tidak
juga kunjung terungkap dan tertangkap pelakunya hingga saat ini.
Pemerintah terkesan membiarkannya, padahal peristiwa itu merendahkan
martabat bangsa. Pasalnya aparat keamanan di Papua dinilai tidak
berdaya.
Berdasarkan
latar belakang sejarah bahwa Papua sudah merdeka dalam bingkai NKRI.
Konsep NKRI pun dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
berpulau-pulau dengan keanekaragaman suku dan budaya yang mewajibkan
tiap orang saling menghormati. Jadi ras apapun, apakah itu Melayu, Jawa,
Aceh, Maluku, Papua dan yang lainnya adalah satu kesatuan bangsa
Indonesia.
Seharusnya,
melalui pembangunan yang semakin intens dilakukan oleh pemerintah
justru menyadarkan anggota-anggota kelompok separatis bahwa apa yang
mereka perjuangkan selama ini tidak tepat dan malah menyebabkan Papua
semakin terpuruk. Tindakan mereka selama ini justru menyebabkan
terhambatnya pembangunan di Papua. Untuk itu, sebagai masyarakat yang
berpendidikan sebaiknya tidak mudah terjebak oleh sikap dan tindak
gerakan separatis OPM yang ingin memisahkan diri dari NKRI serta jeli
dan waspada terhadap segala manuver ikut campurnya asing melalui
aksi-aksi propaganda yang dahsyat.
Salah
satu bentuk manuver yang mendukung kepentingan asing agar Papua lepas
dari Indonesia adalah kegiatan jumpa pers yang dilaksanakan di
Sekretariat Kontras, Jakarta yang dihadiri Wenas Kobagau, Samuel Nawipa,
Oktavianus Pogau, Sonny Wanimbo, Yulan Karima dan Marthen Goo. Mereka
mengeluarkan pernyataan sikap, rakyat Papua Barat mendukung sikap
delegasi Vanuatu yang tidak ikut dalam rombongan ke Jakarta dan Papua,
juga memberikan apresiasi atas komitmen Vanuatu yang terus mendukung hak
penentuan nasib sendiri bagi rakpat Papua Barat, sesama rumpun
Melanesia.
Pernyataan
mereka selanjutnya, rakyat Papua Barat memohon kepada para Menlu MSG
untuk menolak dengan tegas joint statement yang ditawarkan pemerintah
Indonesia, sebab dalam joint statement terkesan membatasi hak rakyat
Papua Barat yang diwakili WPNCL untuk menjadi anggota MSG.
Menurut
penulis, dibandingkan dengan Vanuatu, memang PNG adalah negara yang
sangat bersahabat dengan Indonesia dalam masalah Papua, karena PNG
negara yang tahu diri dan tidak melupakan jasa bantuan Indonesia, sebab
Indonesia pernah membantu PNG sebesar 600 ribu US $ untuk membangun
sekolah militer di PNG, dimana sumbangan tersebut diberikan setelah KTT
MSG 12 November 2013.
Penulis
juga pernah mencatat Indonesia juga pernah membantu Vanuatu ketika
negara kecil di Pasifik Selatan ini mengalami kekurangan pangan, dimana
bantuan Indonesia dengan memberikan atau mencukupi pangan rakyat Vanuatu
saat itu serta mendidik petani Vanuatu serta memberikan bantuan sarana
dan prasarana pertanian ke Vanuatu. Tapi, kalau sekarang Vanuatu tidak
seia sekata dengan Indonesia dalam masalah Papua bahkan cenderung
mendiskreditkan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia harus mencatat
“Vanuatu bukan tetangga yang baik, karena sikapnya yang membalas
kebaikan Indonesia dengan menyerang Indonesia atau bagaikan air susu
dibalas dengan air tuba”. Rakyat Papua juga perlu bertanya, apakah
Vanuatu dapat dipercaya ? Kemudian juga layak bertanya bagaimana makna
strategis kasus Papua dan apa keuntungannya bagi negara-negara lain
seperti Commenwealth, Australia, USA dan Perancis termasuk Vanuatu jika
Papua “lepas” dari Indonesia? Menjadi aktivis zaman sekarang harus
cerdas dan menguasai geopolitik global, bukan sekedar “berteriak-teriak”
yang tidak jelas !
Untuk
itu diperlukan aksi kongkrit yang komprehensif dan melibatkan seluruh
komponen terkait, guna menjadikan Papua terbebas dari gerakan sparatis,
perlu dilakukan upaya-upaya penyelesaian tersebut dengan menggunakan
cara Papua yaitu mengoptimalkan kearifan lokal, artinya mari kita semua
menyelesaikan masalah Papua dengan cara Papua dalam rangka menegaskan
kembali nahwa Papua memang bagian dari NKRI yang tidak terpisahkan,
karena sesungguhnya kita semua tidak ingin melihat saudara kita di Papua
menderita, namun kita lebih tidak ingin berpisah dari saudara
kita…karena itu akan menciderai rasa persatuan dan rasa senasib kita,
karena sesungguhnya kita dapat menyelesaikan masalah ini dengan baik
asal kita mau, kita bijak, dan kita cerdas.
Mari
kita selesaikan masalah bangsa kita dengan cara bangsa dan oleh bangsa
kita sendiri, mari kita selesaikan masalah Papua dengan cara Papua
dengan satu tujuan Papua sejahterah Dalam Pangkuan NKRI.
Sumber : Theglobal-review
No comments:
Post a Comment