JAKARTA (MI) : Komisi I DPR menegaskan, penyadapan yang dilakukan Pemerintah Amerika Serikat (AS) lewat Kedutaan besarnya. Penyadapan tersebut dianggap sebagai tindakan tidak pantas.
Anggota Komisi I DPR dari Golkar Tantowi Yahya saat dihubungi wartawan, mengatakan penyadapat tersebut tidaklah etis. Apalagi, dampak lebih jauhnya, penyadapan tersebut bisa menganggu bilateral hubungan antara AS-RI.
"Penyadapan tersebut disamping tidak etis, juga dapat mengganggu hubungan bilateral kedua negara," jelas Tantowi, Jakarta, Rabu (30/10/2013).
Dia melanjutkan, DPR mengapresiasi langkah Kementerian Luar Negeri yang memanggil Kedutaan Amerika Serikat (AS) untuk mengklarifikasi adanya penyadapan yang dilakukan Pemerintah Amerika Serikat (AS) di Jakarta.
Menurutnya, Pemerintah harus menyampaikan adanya penyadapan tersebut dan harus berani tegas untuk menyampaikan ketersinggungan yang dilakukan Pemerintah AS itu.
"Langkah Marty untuk manggil Kuasa Usaha ke Kemlu untuk menjelaskan dugaan adanya kegiatan penyadapan yang dilakukan di Kedutaan AS di Jakarta sudah benar dan patut didukung. Pemerintah harus berani tegas menyampaikan ketersinggungan kita atas kegiatan tersebut," kata Tantowi.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia memprotes keras kabar penyadapan Amerika Serikat (AS) di Indonesia. AS dilaporkan melakukan penyadapan melalui kantor kedutaannya di Jakarta.
“Indonesia tidak dapat menerima dan mengajukan protes keras terhadap berita tentang keberadaan fasilitas penyadapan di Kedubes AS di Jakarta,” ujar Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam rilis yang diterima Okezone, Rabu (30/10/2013).
Marty menyatakan telah memanggil perwakilan AS di Jakarta. Pemerintah Indonesia menuntut penjelasan resmi dari AS terkait penyadapan itu.
"Perlu ditegaskan jika terkonfirmasi, tindakan (penyadapan) tersebut bukan saja merupakan pelanggaran keamanan melainkan juga pelanggaran serius norma serta etika diplomatik dan tentunya tidak selaras dengan semangat hubungan persahabatan antarnegara,” tukas Marty.
Aksi penyadapan AS di Indonesia pertama kali diungkap surat kabar Australia Sidney Morning Herald pada Selasa, 29 oktober 2013. Selain Indonesia, AS juga melakukan penyadapan di Negara Asia Tenggara lainnya.
Indonesia Minta AS Jelaskan Penyadapan di Jakarta
Jakarta - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah meminta penjelasan dari Amerika Serikat ihwal keberadaan dan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. "Kami telah berbicara dengan kepala perwakilan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta dan menuntut penjelasan resmi pemerintah Amerika atas pemberitaan dimaksud," kata Marty melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 30 Oktober 2013.
Menurut Marty, jika kabar fasilitas penyadapan itu benar, Amerika dianggap telah melakukan pelanggaran keamanan. Negeri Abang Sam juga dianggap berpotensi melakukan pelanggaran serius atas norma dan etika diplomatik. "Ini tentunya tidak selaras dengan semangat hubungan persahabatan antarnegara," ujarnya.
Informasi keberadaan fasilitas penyadapan ini dibocorkan oleh peniup peluit asal Amerika Serikat, Edward Snowden, yang dimuat majalah Jerman, Der Spiegel, dan harian Australia, Sydney Morning Herald, yang terbit kemarin. Keduanya melaporkan peta rahasia yang berisi 90 daftar fasilitas pengintaian di seluruh dunia. Lokasi tersebut antara lain berada di kedutaan besar di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Pnom Penh, dan Yangoon.
Peta tertanggal 13 Agustus 2010 itu menunjukkan fasilitas telik sandi di negara-negara sekutu Amerika Serikat, seperti Australia, Selandia Baru, Inggris, Jepang, dan Singapura. Operasi pengintaian, menurut Der Spiegel, dilakukan oleh dua lembaga intelijen Amerika Serikat, Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Badan Keamanan Nasional (NSA), melalui sebuah satuan tugas bersama yang diberi nama "Special Collection Service".
Amerika Serikat punya sejarah panjang dalam hal memata-matai aktivitas negara lain dan organisasi internasional. Pada 2003, Amerika disebut menyadap telepon dan surat elektronik Dewan Keamanan PBB. NSA juga diketahui menyadap komunikasi Presiden Brasil dan Meksiko. Presiden SBY juga disebut pernah jadi korban penyadapan Amerika Serikat.
Orang2 asing/orang2 Indonesia yg sering keluar masuk ke luar negeri hrs menjadi prioritas pengawasan intelejen NKRI, agar propokator dijakarta/sulawesi/sumatra tdk akan sesemarak sekarang ini dan daerah2 yg penuh konflik berada dekat dg negara tetangga. Sumatra Aceh/Lampung penuh dg gejolak karena dekat dg Malay, selanjutnya daerah selawesi oleh karena dekat dg Karang unaran/Ambalat dan selanjutnya Jakarta dg tawuran/perkelahian antar aparat dg perantara obat2 terlarang shg mudah dpt dipengaruhi/dipicu konflik. Waspada NKRI thd oknum WNI berkepala dua.................................
ReplyDelete