JKGR (MI) : Akhir akhir ini masyarakat disuguhi kata kata JIWA KORSA dan HAM yang serasa konotasinya menjadi hal sensitif bila manusia bersenggolan terhadap kedua kata tersebut dan akibatnya bisa FATAL, menjadikan kedua kata itu sebagai mahkluk Tuhan Paling Sensitif .
Istilah Jiwa Korsa menjadi pembicaraan di mana mana setelah Kasus Cebongan disusul tudahan penyerangan Lapas Cebongan melanggar HAM namun dibantah oleh Kemenhan: Penyerangan itu tidak melanggar HAM.
Istilah Jiwa Korsa adalah terjemahan dari bahasa Perancis Esprit de corps (esprit=semangat, corps=tubuh) jadi secara harfiah berarti “semangat tubuh”. Istilah yang selalu dipakai di dunia milter (ketentaraan) ini, merupakan metafora bahwa organisasi dan pekerjaan militer ibarat tubuh manusia. Sebagaimana tubuh setiap anggota memiliki tugas dan fungsi yang berbeda tetapi saling bergantung dan saling menentukan keberhasilan tujuan. Ketika salah satu anggota menjalankan tugas dan fungsi tertentu pada hakikatnya seluruh anggota harus turut melaksanakannya. Begitu juga ketika anggota tubuh tertentu tersakiti, anggota tubuh yang lain merasa tersakiti. Analoginya tangan kanan tubuh akan spontan menepuk nyamuk yang menggigit tangan kirinya atau kaki kiri akan spontan menyepak tikus yang menggigit jempol kaki kanan.
Keberadaan Jiwa Korsa adalah baik, agar terpelihara persaudaraan sesama korps maupun hubungan antar TNI/Polri serta hubungan dengan komponen masyarakat lainnya.
Menurut Ilmuwan militer Amos Perlmutter selain jiwa korsa masih ada tiga nilai dasar yang menjadi landasan tentara professional manapun yaitu: Keahlian (expertise), Tanggung jawab social (Social Responsibility), dan Ideologi Militer (military ideology).
Keahlian yang dimaksud adalah dalam hal mengelola dan menggunakan senjata yang sah. Keahlian yang dilindungi undang undang untuk melayani sebaik baiknya negara dan masyarakat. Pelaksanaan keahlian ini harus didasari adanya tanggung jawab sosial serta menjaga negara dari ancaman musuh melalui operasi militer perang (Millitary operation by war).
Dalam lingkup kecil di kehidupan sehari hari, tanggung jawab sosial tentara bisa berwujud pertolongan dan pembelaan terhadap anggota masyarakat yang keselamatannya TERANCAM. Ancaman itu bisa datang dari perorangan atau kelompok dan ancamam dari alam (Bencana alam). Karena itu tentara termasuk yang dipanggil pertama kali saat ada bencana alam.
Apabila kapasitas bencana alam tergolong besar dan berat maka diperlukan kekuatan besar untuk pertolongan melalui Operasi Militer Selain Perang (Millitary Operation Other Than War MOOTW). Hal ini bisa dilihat saat TNI membantu penanggulangan bencana yang terjadi di negeri ini, mulai bencana Tsuami Aceh, Gempa Jogya, Meletusnya Gunung Merapi dan yang terakhir bencana banjir di Jakarta.
Kasus yang sama juga bisa dilihat dari AKSI SPONTAN prajurit TNI menyelamatkan masyarakat dalam ANCAMAN kehidupan masyarakat secara perorangan dan kelompok. Misalnya: SatgasYonif Linud-503 berhasil menggagalkan penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak 1 ton beserta 144 botol minuman keras, di Salore – Perbatasan Timor Leste. Juga pelaku penjambretan yang ditangkap oleh dua anggota Brigif Linud XVIII/Divisi II/Kostrad Jabung di Jalan Pajajaran Kota Malang oleh, serta aksi Prajurit Kopassus menyelamatkan wanita korban pemerkosaan di dalam angkot di Jakarta dan lain-lain.
Saat tentara sudah mempunyai jiwa korsa yang mendarah daging, akan terbentuk dalam dirinya tugas dan tanggung jawab sosial (Social Responsbility).
Seorang PRAJURIT dihadapkan PILIHAN SULIT ketika jiwa korsa dan tanggung jawab sosial dibenturkan dan justru diANGGAP bertabrakan dengan nilai nilai tertentu. Misalnya bertabrakan dengan pelanggaran hukum dan HAK ASASI MANUSIA (HAM).
Di sini bisa saja Prajurit memilih TINDAKAN SPONTAN atas dorongan jiwa korsa dan rasa tanggung jawab sosial yang diYAKININYA walaupun tindakan itu akan berakibat melanggar hukum dan harus diakui dan dipertanggung jawabkan secara KSATRIA. Tetapi akan sangat tidak ARIF apabila harus dibumbui dengan pelanggaran HAM oleh sekelompok organisasi dan lembaga.
Bila Fenomena bumbu bumbu ini dibiarkan, dikhawatirkan jiwa korsa dan tanggung jawab sosial Prajurit TNI kepada masyarakat MENURUN, karena semakin TAKUTNYA seorang tentara menggunakan dorongan JIWA KORSA dan tanggung jawab sosialnya karena ditabrakan dengan (VS) HAM.
Maka saat ini JIWA KORSA VS HAM adalah mahkluk Tuhan paling sensitif di dalam prajurit militer kita. Dan ini patut DISAYANGKAN.
Sumber : JKGR
No comments:
Post a Comment