Jakarta (MI) : Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang rencananya akan berlangsung pada September 2013 di kota St Petersburg, Rusia, merupakan momentum yang harus dimanfaatkan oleh pemegang otorittas keuangan Indonesia, melainkan juga seluruh stakeholders(Pemangku Kepentingan) kebijakan luar negeri Indonesia. Bahkan bisa digunakan sebagai momentum kebangkitan politik luar negeri Indonesia melalui ranah diplomasi. Terkait hal tersebut, menarik untuk mengindentifikasi beberapa agenda strategis yang bisa dimainkan Indonesia, sekaligus membangun aliansi strategis dengan Rusia yang kebetulan akan menjadi tuan rumah sekaligus Ketua G-20 sejak 1 Desember 2012.
|
Kalau kita merujuk pada pernyataan Kepala Staf Kantor Kepresidenan Kremlin, Sergei Ivanov sebagaimana diberitakan tim redaksi the global review 27 November 2012 (http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=10284&type=6#.USG7GfJP1kg), ada beberapa agenda strategis yang dicanangkan oleh Rusia yang kiranya Indonesia bisa menyelaraskan agendanya sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif yang diabdikan bagi kepentingan nasional.
Terhadap poin 4 dan 5, Global Future Institute memandang hal tersebut sebagai prioritas utama sekaligus agenda strategis yang harus dimanfaatkan dalam kerangka Kebangkitan Politik Luar Negeri RI untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di dunia internasional. Maka itu, rencana penyelenggaraan Konferensi terpisah dari para Pemimpin BRIC harus yang diprakarsai Rusia, merupakan momentum yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk membangun aliansi strategis baru dalam Skema persekutuan strategis ala BRIC, mengimbangi persekutuan strategis Amerika Serikat dan Eropa Barat yang tergabung dalam G-8, yang kami pandang sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia pada khususnya, dan negara-negara berkembang pada umumnya.
Sebagaimana diketahui bersama, negara-negara yang tergabung dalam G-8 adalah Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Jerman, Perancis, Inggris, Italia dan Rusia.
Terhadap fakta tersebut di atas, kami sependapat dengan ulasan dari pakar ekonomi Universttas Gajah Mada-Yogyakarta Dr Revrisond Bawazir. Menurut Dr Revrisond, G20 dulu sebenarnya didirikan karena Amerika dilanda krisis ekonomi. Inisiatif mendirikan G20 itu berasal dari Amerika sendiri. Amerika ingin membagi beban kesulitan ekonomi dengan negara-negara lain. Dengan demikian, gagasan didirikannya G-20 sejatinya adalah sebagai alat yang digunakan untuk menyelamatkan perekonomian G-8. Khususnya dalam hal ini, Amerika Serikat.
Kedua, juga sejalan dengan pandangan Dr Revrisond, berdirinya G-20 sama sekali tidak bisa dipandang sebagai upaya untuk mengobah tata perekonomian dunia, apalagi untuk menampung partisipasi secara lebih luas. Yang terjadi justru kebalikannya. Amerika justru membagi beban dengan negara-negara di luar G-8.
Kenyataan ini, menjadi satu perkembangan yang cukup menarik dan bahkan strategis ketika pihak pemerintah Rusia sebagai Ketua G-20 telah mencanangkan akan menyelenggarakan konferensi terpisah dari para pemimpin BRIC. Ini perkembangan menarik dan strategis karena dalam estimasi Global Future Institute, negara-negara yang tergabung dalam BRIC, bukan saja memiliki aspirasi tertentu, bahkan punya sebuah skema tersendiri untuk ikut mempengaruhi perkembangan ekonomi dunia, di luar skema dari persektuan strategis AS dan negara-negara yang tergabung dalam G-8.
Indonesia Harus Pertimbangkan Kerjasama Strategis ala BRIC
Satu fakta menarik yang harus kita ketahui bersama, adanya blok ekonomi BRIC yang dimotori oleh Rusia dan Cina, pada hakekatnya merupakan derivasi dari sebuah kerjasama strategis yang ditandatangani oleh Rusia dan Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 2001. Kesepakatan kedua negara inilah yang pada perkembangannya mengilhami negara-negara berkembang seperti Brazil dan India untuk memanfaatkan momentum kerjasama dengan dua negara yang sejak era Perang Dingin hingga saat ini, merupakan dua negara adidaya yang dipandang sebagai saingan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat dan Jepang.
Lalu bagaimana Indonesia harus bersikap menghadapi adanya dua blok kepentingan di dalam tubuh G-20 tersebut? Kalau kita merujuk pada semangat Dasa Sila Bandung pada Konferensi Asia-Afrika April 1955 maupun Konferensi Gerakan Non Blok pada 1961, maka sudah seharusnya Indonesia mengambil posisis memihak pada kepentingan strategis negara-negara berkembang, seperti sudah dipertunjukkan oleh Brazil dan India dalam kerangka kerjasama BRIC bersama Rusia dan Cina.
Indonesia sudah saatnya mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh untuk menciptakan format persekutuan ekonomi negara-negara berkembang dengan merujuk pada model ala BRIC, atau setidak-tidaknya bergabung dan membangun kerjasama strategis bersama-sama negara-negara yang tergabung dalam BRIC, seperti yang sekarang sudah dilakukan oleh Korea Selatan.
Harus diakui inilah aspek krusial dari penyikapan Indonesia di G-20. Seperti yang dinyatakan oleh Dr Revrisond, ketika terjadi konflik antara AS versus Cina misalnya, atau ketika terjadi konflik kepentingan antara negara-negara yang tergabung dalam G-8 versus BRIC, Indonesia justru menjadi instrument bagi kepentingan G-8 untuk melobi negara-negara BRIC.
Menyadari kenyataan ini, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri dari semua kementerian terkait, sudah saatnya mengeluarkan kebijakan luar negeri yang bertumpu pada kedaulatan dan kemandirian sebagaimana tercermin dalam azas politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Terlepas format yang paling pas nantinya apakah dengan membentuk blok ekonomi tersendiri bersama-sama beberapa negara berkembang tertentu ala BRIC atau untuk sementara menyatukan aspirasi bersama dengan negara-negara yang tergabung dalam BRIC, namun kedua opsi tersebut harus menyeleraskan diri dalam kerangka kerjasama strategis dengan Rusia dan Cina.
Khususnya dengan Rusia, mengingat kenyataan bahwa saat ini Rusia merupakan Ketua G-20 dan sekaligus anggota G-8 yang memprakarsai kerjasama strategis dengan negara-negara berkembang di luar kerangka G-8, barang tentu Indonesia harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan seksama sebuah kerjasama strategis ala BRIC yang dimotori oleh Rusia.
Terkait hal tersebut, menarik menyimak sebuah artikel yang ditulis oleh Maria Monica Wihardja. Dalam artikelnya yang bertajuk Indonesia and Russia’s Presidency of G-20, mengidentifikasi beberapa isu yang kiranya bisa menjadi dasar kerjasama strategis Indonesia dan Rusia dalam kerangka G-20 (baca: www.eastasiaforum.org). Menurut Monica yang juga merupaka staf peneliti CSIS tersebut, Indonesia dan Rusia keduanya bergantung pada ekspor bahan mentah. Kedua negara juga pernah berhutang pada IMF dan sudah melunasi hutang-hutangnya. Bahkan kedua negara ini sudah menjadi negara peminjam (Pada dua hal ini, kami dari GFI memandang ini masih kontroversial). Namun kenyataan bahwa kedua negara merupakan eksportir bahan mentah, kami sependapat sepenuhnya. Dan harus jadi titik tolak dalam mempertimbangkan sebuah kerjasama strategis baik secara bilateral maupun dalam kerangka kerjasama ala BRIC. Monica juga beranggapan bahwa kedua negara menaruh prioritas utama pada Pembangunan Infrastruktur dan Konektivitas.
Kalau Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan program Master Plan Percepatan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di beberapa koridor provinsi di Indonesia, Rusia juga sedang giat-giatnya melaksanakan program investasi yang didukung pemerintah dalam rangka mendukung Pembangunan Sosial-Ekonomi di kawasan Timur Jauh Rusia (The Siberian Rusian Far East). Sebuah daerah yang selama ini diabaikan, namun saat ini disadari betul oleh pemerintah Rusia sebagai “Pintu Masuk” menuju kawasan Asia Pasifik. Dan lebih daripada itu, memiliki cadangan minyak dan gas alam yang terbesar di dunia.
Seperti yang jadi pokok bahasan GFI tentang kesiapan keketuaan Indonesia dalam APEC 2013 di Bali Oktober mendatang, para pemegang otoritas perekonomian dan kebijakan luar negeri harus menyerap inspirasi dari Rusia, karena melalui program Siberian Russian Far East tersebut, telah berencana untuk menciptakan integrasi regional melalui terbangunnya sistem transportasi yang bisa menghubungkan antara kawasan Timur Jauh Rusia dengan kawasan Eropa.
Selain itu, Rusia telah mampu memberi insentif untuk membangun infrastruktur dalam rangka menggalakkan persaingan. Seperti juga Indonesia, Rusia juga mengalami hambatan institusional (kelembagaan) dan regulasi, sehingga menghambat upaya Pembangunan Infrastruktur.
Yang paling strategis dari sudut pandang Geopolitik/Geostrategi, Rusia punya minat dan ketertarikan yang semakin besar dengan kawasan Asia Pasifik. Dalam beberapa decade terakhir, Rusia telah ikut serta dengan negara-negara tetangga di Asia Pasifik, membangun kerjasama multi-lateral dan integrasi ekonomi. Ini jelas merupakan bukti nyata adanya program kegiatan lintas perbatasan (cross border project) dengan mitra strategis dari negara-negara di kawasan Asia. Seperti proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Moskow dengan kawasan Timur Jauh Rusia dan Laut Jepang (Sea of Japan). Yang menembus juga Cina dan Korea Utara melalui rel kereta kereta api lintas perbatasan Korea (Inter-Korean Railway).
Bukan itu saja. Rusia baru-baru ini juga menyetujui rencana eksplorasi pipa gas melalui Korea Utara, yang bertujuan untuk memasok gas Rusia ke Korea Selatan.
Melalui serangkaian proyek lintas perbatasan ini, bisa dipastikan akan semakin meningkatkan nilai strategis Rusia secara geopolitik di kawasan Asia Pasifik.
Beberapa Agenda Strategis Kerjasama Indonesia-Rusia dalam Kerangka G-20:
Sumber : theglobal-review
|
Monday, February 18, 2013
KTT G-20 2013: Momentum Kerjasama Strategis Indonesia-Rusia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment